Selasa, 19 Juni 2012

WAYANG PURWA DAN NILAI YANG TERKANDUNG


Wayang merupakan hasil, cipta, rasa, karsa, dan karya manusia melalui proses penglaman spiritual secara berkepanjangan dan berkelanjutan. Pengamatan yang mendalam terhadap menunjukan bahwa wayang bukan sekadar seni biasa, tetapi karya seni yang agung. Wayang mampu memberikan suatu kepuasan batin kepada penikmatnya. Tidak hanya cerita wayangnya saja yang mengandung nilai-nilai tersembunyi dan bersfat filosofis, tetapi juga dalam pertunjukannya terdapat nilai-nilai berbentuk symbol dan etis.
Pergelaran wayang memakai logika dongeng atasa dasar nilai-nilai yang ada pada realita kehidupan manusia secara konkret. Wayang merupakan bentuk pandangan hidupa masyarakat yang ajeg. Oleh, karena itu, filsafat wayang berakar pada realitas nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia. Di dalamnya terdapat pesan moral dan nilai-nilai kehidupan yang berguna bagi masyarakat. Menggali sebagian dari nilai-nilai filosofi budaya Jawa dalam wayang purwa, karena wayang merupakan bahasa symbol bagi masyarakat khususnya masyarakat Jawa yang lebih bersifat sebagai pendidikan etika dan rohaniah.
Wayang merupakan perpaduan seni yang lengkap dari sastra lisan hingga teater. Pentas wayang kulit terus tumbuh berkembang di bumi Indoensia sebagai sumber budaya bangsa, khususnya yang menyenttuh etika kehidupan masyarakat. Pentas wayang kulit menyajkan aspek-aspek dan problem-problem kehidupan manusia baik yang individu, maupun yang masyarakat dalam bahasa melalui idiom simbolik yang langsung menyentuh jiwa secara penuh rasa (Amir, 1997: 9). Karakter dan kepribadian manusia dengan segala hakekat dan manifestasinya di dunia ini tersentuh dengan sangat halus dalam penampilan tokoh-tokoh dalam wayang . Penonton pun mau tidak mau sebagai penikmat akhirnya mencoba untuk menilai dan selanjutnya mengidentifikasikan diri dengan tokoh wayang yang ditampilkan secara simbolik.
Dalam pertukan wayang, yang paling mudah dicerna dan dapat ditangkap penonton dengan mudah adalah nilai keindahan seni yang ada pada wayang. Peraga tokoh-tokoh wayang dengan seni rupa yang indah, gerak wayang serasi dengan iringan gamelan. Lebih jauh dalam memahami wayang, maka sajian seni ini menyampaikan pesan yang mengacu pada pembentukan budi luhur atau akhlakul karimah. Mencermati mutu seni dan kandungan seninya, pantahlah dipelajari dan dimanfaatkan bagi keperluan dan kehidupan manusia. Kitadapat menikmati nilai-nilai yang terkandung pada wayang dari nilai etis dan filsafat.


1.1. Asal Usul Wayang

Ada sedikit kerancuan dalam menentukan asal-usul wayang, (Moeburman, 1960: 21: Brandon, 1970: 3). Bebarapa sarjana mengatakan wayang berasal dari India, mungkin karena cerita wayang lebih banyak berkisah tentang kerjaan Hindu-Budha, Ramayana misalnya. Ada juga yang mengatakan berasal dari Jawa (Indonesia). selain itu juga ada yang mengatakn perpaduan antara Hindu-Jawa. Ketidakjelasan ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, sedikitnya data valid tentang asal-usul wayang. Kedua, perbedaan setiap sarjana dalam mendekat masalah dalam penelitiannya. Ketiga, adanya unsure-unsur nonilmiah yang masuk kedalam penelitian. Keempat, perbendang paradigama tentang konsep “asal-usul”.
Miskinnya data mengakibatkan sulitnya menentukan apakah wayang berasal dari India, Indonesia, atau tempat lain. Andaikata berasal dari India bukti tentang ini tidak ada karena bentuk wayang Hindu selam ini tidak pernah diketahui. Andaikata berasal dari Cina, seperti kata Goslings (Amir, 1997:23) bukti tentang hubungan wayang Ying-Hi dengan penyembahan kepada nenek moyang mana pun tidak ada; atau jika berasal dari upacar keagamaan yang paling tua yang irip dengan upacara dewa di Irian Jaya, seperti kata Rassers (Amir, 1997:24) bukti tentang ini hamper tidak ada.
Tentang kapan munculnya wayang di Indonesia sampai saat ini masih menjadi bahan diskusi. Beberapa ahli menyatakan bahwa wayang sudah muncul sejak zaman prasejarah yang diperkirakan pada tahun 1500 sebelum Masehi (Mulyono, 1978b:3). Hal ini berdasarkan asumsi bahwa wayang merupakan tradisi asli bangsa Indonesia dan munculnya wayang sejalan dengan munculnya masyarakat di Nusantara ini. Namun demikian, pendapat ini kurang didukung bukti-bukti yang lengkap, masih berdasar dugaan.
Menurut bukti-bukti tertulis, wayang diperkirakan muncul pada tahun 840. Menurut prasasti Jaha yang dikeluarkan oleh Maharaja Sri Lokapala dalam sebuah piagam pembebasan Kuti disebutkan adanya pegawai yang disebut aringgit yang diartikan sebagai para aktor (Holt, 2000:428). Kata ringgit adalah padanan kata wayang sehingga kata aringgit diduga merupakan aktor pemain wayang. Hanya saja di sini belum jelas model permainan wayang tersebut.
Berita tentang adanya istilah wayang ditemukan dari prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Balitung pada tahun 907. Prasasti ini merupakan pengukuhan atas sebuah desa Sangsang sebagai sebuah perdikan (Holt, 2000:431). Di dalam prasasti tersebut ditemukan istilah “mawayang buat Hyang”. Disebutkan pula bahwa cerita-cerita yang diambil adalah cerita-cerita dari Ramayana dan Mahabharata.
Kaum pengikut pada antropologi struktural berpendapat bumi tempat berpijak akar-akar itu amat penting artinya bagi kehidupan sesuatu untuk budaya. Suatu budaya tidak dapat dipisahkan dari kultur yang menghidupinya karena ia mempunyai arti apabila berfungsi dalam struktur sosial masyarakat dari kultur itu (Koentraningrat: 376-82). Kalau kita memakai teori yang dikemukakan oleh Koenjtaraningrat dalam mencari asal-usul kebudayaan, tentunya wayang berasal dari Jawa karena wayang hidup dan berfungsi dalam masyarakat Jawa saja.


1.2. Definfi Wayang

wayang adalah sebuah kata bahasa Indonesia (Jawa) yang berarti “bayang” atau bayang-bayang yang berasal dari akar kata “yang” dengan mendapat awalan “wa” menjadi kata “wayang”. Di samping itu juga merupakan nama wuku (penangggalan ttujuh harian) (Zoetmulder dan Robson, 1982:1406). Padanan kata wayang dalam pengertian sebagai bentuk pertunjujjan adalah ringgit.
Kata-kata dalam bahasa Jawa mempunyai akar kata “yang” dengan berbagai variasi vokalnya antara lain adalah: “layang”. “dhoyong”, “puyeng”, “reyong”, yang berarti: selalu bergerak, tidak tetap, samar, dan sayup-sayup. Kata “wayang”, “humayang” pada waktu dulu berarti: memertunjukan bayang-bayang. Kemudian menjadi seni pentas bayang-bayang atau wayang.
Kata wayang setidaknya sudah ada sejak tahun 907 terbukti dengan disebutkannya istilah mawayang dalam prasasti dari zama Raja Balitung (Holt, 1967:128). Tuanya usia wayang, dalam sejarah perkembangan kata wayang telah mengalami banyak perubahan dan perkembangan.
Wayang kulit adalah wayang yang terbuat dari kulit binatang seperti kulit kerbau, sapi, dan kambing. Jenis wayang ini merupakan jenis wayang yang laing terkenal. Wayang kulit dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu:
1. wayang kulit purwa (cerita Ramayana dan Bharata-yudhha),
2. wayang gedhog (cerita Panji),
3. wayang madya (menceritakan Raja Jayabaya, Kediri), dan
4. wayang modern atau wayang wasana (akhir).
Wayang kulit purwa setidaknya sudah muncul pada zaman Airlangga terbukti dengan dideskripsikannya jenis wayang ini dalam Arjunawiwaha (Zoetmulder, 1985:264). Namun demikian, model pementasan wayang kulit di zaman Airlangga tersebut belum jelas benar. Istilah yang digunakan dalam Arjunawiwaha adalah ringgit sementara sebutan wayang purwa baru disebutkan dalam Serat Sastramiruda dari masa Paku Buwana IX yang bertahta 1863-1893 (Kusumadilaga, 1981: 158). Menurut serat ini, sebutan wayang purwa baru muncul pada masa kerajaan Demak 1893 (Kusumadilaga, 1981: 160).


2.1. NILAI-NILAI DALAM WAYANG PURWA
Untuk ke sekian kalinya wayang kulit purwa diketengahkan dan didiskusikan oleh para penggemarnya. Apa yang didiskusikan sebenarnya bukan masalah baru, tetapi bersifat penyegaran dan peningkatan dari persoalan masa lalu. Bahkan persoalan wayang ini pernah menjadi meeting of ind di harian Berita Yudha selama kurang lebih 6 bulan antara penulis Bapak Dr. Seno Sastra Amijaya dan Drs. Santosa pada tahun 1962-1963 dengan judul “Wayang dalam Ujian”.
Wayang Purwa sebagai bentuk seni drama klasikal tradisional yang mampu menggerakkan kalbu penonton dan banyak menarik perhatian para seniman maupun para sarjana. Pedalangan contohnya, banyak mengandung segi peri kehidupan manusia dan aneka ragam manfat simbolik kejiwaan, hiburan dan pendidikan atau penerangan.
Pada umumnya para penulis dan pecinta wayang telah bersepakat bahwa pedalangan wayang kulit purwa bukan hanya sekadar pertunjukan hiburan, tetapi lebih bersifat kejiwaan. Kesepakatan tersebut memberikan predikat sebagai bentuk seni klasik tradisional. Tidak jarang ada juga yang memberikan predikat berlebihan sebagi suatu seni klasik tradisonal adiluhung, yaitu suatu nilai budaya yang dihayati dan dijunjung tinggi sepanjang masa oleh satu generasi ke generasi berikutnya,
Predikat tersebut memberikan pengertian bahwa wayang adalah suatu bentuk seni pentas tradisi yang berdimensi dan berfungsi ganda, yang masing-masing dimesi di dalam pedalangan disebut unsure pendukung daripada nilai pedalangan secara seutuhnya.
Adapun unsur-unsur dan nilai yang terkandung adalah:

1. Nilai Hiburan

2. Nilai Seni

3. Nlai Pendidikan dan Penerangan

4. Nilai Pengetahuan

5. Nilai rohani, mistik, dan filsafat


2.2. Nilai Hiburan
Wayang kulit mendapat tempat dalam hati rakyat Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Ternyat sampai saat ini masih tetap digemari. Juga merupakan hiburan rakyat yang paling ringan, apalagi yang berbentuk wayang orang. Hal ini dapat dilihat dari perhatian para penonton di setiap pertunjukan wayang kulit. Baik dikampung-kampung, di desa-desa maupun di kota-kota hamper 80% dari mereka yang hadir tetap duduk semalam suntuk (kurang lebih 9jam). Bagi para penggemar wayang kulit, duduk sambil mengantuk semalam suntuk melihat pertunjukan wayang adalah dirasakan sebagai suatu kenikmatan.


2.3. Nilai Seni
Seni pedalangan mencakup beberapa sub unsure seni, sehingga apabila hanya dilihat dari segi seni saja, maka wayang merupakan suatu ramuan dan paduan seni yang harmonis menjadi satu kesatuan drama yang sangat mengesankan. Wayang Purwa disebut juga “saptamuka” karena terdiri dari beberapa unsure:
• Seni Drama:
Pada hakekatnya wayang kulit adalah seni drama dan tiap lakon wayang kulit selalu mengandung paling sedikit motif pokok sebagai inti dari drama yang semuanya ini sangat menarik para ahli filsafat dan ahli kebatinan.
• Seni Lukis/Rupa:
Sunggiringan dan tatawarna pada kulit yang tersusun sedemikian rupa dan harmonisnya adalah cirri keindahan dan teknik lukis pada wayang.
• Seni Pahat
Bentuk dan wujud wayang dibuat dari kulit kerbau yang sudah mengalami proses pengeringan seperlunya, kemudian ditatah “jilimet” sedimikian rupa sehingga mewujudlan tokoh wayang yang dimaksud.
• Seni Sastra
Satra yang ada pada wayang terlihat dari bahasa pedalangan yang indah layaknya mendongeng. Lalu, cerita wayangnya juga merupakan bagian nilai sastra pada wayang.
• Sastra Suara
Suara dalang, nyanyian swarawati dan bunyi gamelan adalah paduan suara dan menajdi kenimatan serta nilai tersendiri yang mengesnakan di mata penggemar.
• Seni Karawitan
Gending-gending tersebut mempunyai sifat luhur, luwes, wingit, regu, gembira, bagus, dan memberikan rasa semangatserta nikmat pendidikan jiwa untuk menikmati estetis, bersama dengan lakon merupakan ilustrasi mistik.
• Seni gerak
Gerak wayang yang dibuat dari selembat kulit dapat digerakkan sedemikian ruap sehingga seperti sungguh-sungguh hidup dan menggambarkan gerak yang dimaksud.
Semua cabang kesenian di atas di dalam pewayangan masing-masing tidak menonjol dan berdiri sendiri, tetapi bersatu sehingga merupakan korelasi dan kesatuan yang indah dan selaras. Masing-masing unsure tersebut dalam penampilan tidak diperkenankan untuk menonjol, tetapi harus seimbang sehingga menjadi serasi dan indah. Makna kesatuan yang bulat itulah yang manjadikan wayang sebagai seni yang indah dan adiluhung karena adanya banyak unsure yang tergabung di dalamnya.
Paduan seni rupa yang antara lain berupa wanda, sungging, seni pahat yang berupa tatahan “jilimet”, seni drama yang berupa lakon cerita, seni suara yang berupa suluk. Ada-ada, ntawecana, sindenan, seni karawitan yang berupa gending-gending dengan ngrangin lemah gemulai berirama, kemudian disinggit.
Wayang kulit purwa adlah sautu hasil seni rupa ekspresif-dekoratif-realistis yang suda ada di tingkat puncak. Artinya telah banyak orang yang mencoba mengubah atau setidaknya menandinginya. Beberapa tokoh seni rupa, anatar lain sutradara kusnadi dalam ceramahnya pada “Seminar Ilmu dan Budaya UGM Yogyakarta 1956” menyatakan pendapatnya sebagai berikut:
“Dalam keinginan member wujud kepada tokoh-tokoh dalam cerita asli, lahirlah krucil yang dibuat dari kayu dan hanya tangannya yang dari kulit, dan wayan Beber yang melukiskan fragmen-fragmen lakon diatas foto museum Sonobudoyo dengan komposisi yang hidup sekali. Wayang Golek yang setengah realistis atau primitive, reliitis menggambarkan dongeng-dongeng Arab. Dalam menerima sastra klasik India Mahabrata dan Ramayana, tercipta seni wayang kulit suarakrrta, Yogyakarta,dan Bali. Dengan catatan bahwa wayang kulit di Bali melukiskan corak relief candi-candinya sebagai pangkal.melukiskan bentuk eksprsif-dekoratif yang masih cukup kemiripannya dengan bentuk yang realistis. Lain dengan wayang kulit di Jawa Tengah yang mngelamai stillering yang berturut-turut samapai menjadibentuk yang sedikit lagi persamaannya dengan manusai biasa.”
Perkembangan dan kemajuan seni wayang Purwa tidak hanya mneyentuh bentuknya saja, tetapi juga mengenai tata cara pengturam pemangggungan wayang itu. Tata sampingan yang teratur, warna kelir yang merah membara, penyusunan gamelan yang teratur pula menambah harmonis dan indah dipandang.


2.3. Nilai Pendidikan dan Penerangan
Wayang kulit purwa adalah suatu kesenian yang masih hidup mendarah daging di hati rakyat Indonesia terutama suku Jawa dan mempunyai resonansi dalam masyarakat terutama masyarakat desa. Banyak jenis wayang, tetapi wayang purwa lah yang mendapat perhatian dan benar-benar mempunyai resonansi dalam masyarakat Indonesia. unsure-unsur pendidikan dan ajaran batin (estetiks) serta ajaran lahir (etis) yang sesuai dengan peradaban, kesusilaan, politik dan kepahlawanan, sepertti nyata terlihat dalam lakon-lakon Harjuna Sasrabahu, Ramayana.
Dr. Hazim Amir dalam penelitian menemukan 20 nilai etis yang terkandung dalam wayang:

1. Kesempurnaan sejati

2. Kesatuan sejati

3. Kebenaran sejati

4. Kesucian sejati

5. Keadilan sejati

6. Keagungan sejati

7. Kemercusuruan sejati

8. Keabadian sejati

9. Keteraturan mikrokosmos sejati

10. Kebijaksanaa sejati

11. Kenijaksanna makrokosmos sejati

12. Realita dan pengetahuan sejati

13. Kesadaran dan keyakinan sejati

14. Kekasihsayangan sejati

15. Ketanggungjawaban sejati

16. Kehendak, niat, dan tekad sejati

17. Keneranian, semangat, dan pengabdian sejati

18. Kekuatan sejati

19. Kekuasaan, kemandirian, kemandirian sejati

20. Kebahagiaan sejati


2.4. Nilai Ilmu Pengetahuan
pada permulaan abad XIX pedalangan wayang kulit purwa telah banyak menarik perhatian para sarjana Indonesia pada umumnya dan sarjan barat pada khususnya. Para sarjana tersebut telah menyoroti salah satu dimensi, misalnya: Ilmu Pengetahuan sehingga tidak mnegherankan bahwa mulai abad XIX wayang juga menjadi objek ilmu pengetahuan dalam bidang sastra budaya.
Wayang kulit menjadi ilham atau seni pedalangan bagi cendekia dan para ahlimerupakan sumber ilham dan di antaranya ilmu: sejarah, etnologi, filsafat, antropologi, bahasa kesusastraan dan lain sebagainya.


2.5. Nilai Filsafat, Simbolik, dan Rohani

Filsafat Posisi

Dalam upaya menggali serta memahami filsafat wayang, perlu diketahui posisi seni budaya wayang dalam kajian filsafati. Posisi ini penting agar wayang dapat didudukkan dan dikaji pada proporsi yang tepat. Posisinya dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu,

1. Budaya wayang adalah hasil dari akulturasi budaya yang telah berlangsung sejak lama dan akan terus berkembang dimasa-masa mendatang. Sangat besar pengaruh budaya Jawa, Hindu dan Bali, juga mendapat pengaruh dari budaya nusantara serta budaya global. Wayang itu terbuka dalam mengantisipasi perkembangan keadaan karena pada dirinya ada kekuatan "hamot, hamong, hamemangkat" yaitu kemampuan untuk menerima pengaruh luar untuk disaring dan
di olah guna memperkuat budaya wayang. Oleh karena itu, budaya wayang itu dinamis dari zaman ke zaman. 2. Dihadapkan pada pengertian filsafat, budaya wayang yaitu unsure falsafahnya dapat dimasukkan dalam pengertian filsafat sebagai pandangan hidup. Bertolak dari filsafat sebagai pandangan hidup itu dapat disusun filsafat sebagai ilmu filsafat. Ilmu filsafat bertumpu pada kemampuan rasio yaitu akal atau cipta untuk menganalisa sedalam dalamnya tentang sesuatu. Ketika kemampuan akal manusia belum mampu mengetahui sesuatu maka
lantas meloncat dengan menciptakan simbol-simbol sebagai gambaran realita yang tinggi atau high reality. Karena itu wacana filsafat wayang adalah simbol-simbol perwujudan high reality.
Dengan demikian, maka wayang adalah produk alkulturasi budaya yang didalamnya mengandung filsafat dalam pengertian pandangan hidup. Filsafat wayang diperoleh dari proses penalaran dan intuisi guna mencapai kebenaran dalam bentuk simbol-simbol.

Tujuan
Dalam posisinya sebagai pandangan hidup, filsafat wayang mempunyai tujuan yang berbeda dengan filsafat barat. Filsafat barat bertujuan mencari kearifan atau wisdom, "kawicaksanan", sedangkan filsafat wayang mencari kesempurnaan atau perfection, "kasampurnan". Namun kedua tujuan itu akhirnya sampai dimuara yang sama yaitu pada kebenaran dan kenyataan.
Inilah yang disebut "kasunyatan", maksudnya yang nyata dan benar. Karena memiliki tujuan mencari kesempurnaan atau "nggayuh kasampurnan" itu, maka metoda atau cara yang ditempuh juga lebih menekankan pada perenungan. Mencapai kesempurnaan hidup ditempuh melalui upaya yang sungguh-sungguh mendekatkan diri pada Yang Maha Sempurna yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Substansi & Aplikasi
Falsafah atau filsafat wayang dapat dipahami secara utuh pada Pergelaran Wayang, bukan hanya ceritra wayang, melainkan wayang yang dipergelarkan atau dipentaskan secara lengkap. Digelar secara utuh dalam kelengkapan pelaku serta peralatan, waktu dan lakon atau cerita. Dalam setiap pergelaran wayang akan tampil,
1. Wayang sebagai teater total. Setiap lakon wayang digelar dalam pentas total, utamanya ketotalan kualitatif yang dinyatakan dalam bentuk lambang-lambang. Ceritera wayang dan semua peralatannya secara efektif mengekpresikan keseluruhan hidup manusia. Penonton
disuguhi hiburan yang menarik, juga diajak untuk berfikir dengan kemampuan penalaran, rasa sosial dan filosofis. Karena memang pergelaran wayang itu merupakan suatu gambaran perjalanan kerohanian guna memahami hakekat hidup serta proses mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Wayang dapat disimak dalam tiga aspeknya yaitu estetika, etika dan falsafah. Estetika adalah aspek keindahan seninya yang mencakup semua unsur garap pakeliran, etika adalah kandungan moral yang disampaikan, sedangkan falsafah adalah hakekat makna dari pergelaran wayang itu.
Pergelaran wayang sebagai obyek kajian filsafat adalah simbol kehidupan manusia dijagad raya ini. Didalamnya penuh dengan hasil perenungan filsafat yang mengetengahkan pandangan hidup terhadap kebenaan dan realita. Yang mudah difahami adalah aspek estetikanya yaitu keindahan seni multidimensional yang digelar, selanjutnya dapat disimak kandungan nilai-nilai moral dalam semua aspek kehidupan, selanjutnya baru bisa mencapai kandungan falsafahnya yaitu makna dan tujuan pergelaran wayang. Falsafah inilah yang sebenarnya menumbuhkan nilai-nilai moral untuk seterusnya nilai-nilai ini menjiwai dan mewarnai estetikanya, sehingga wayang bias menjadi sajian seni yang indah. Seni "adiluhung" maksudnya memiliki mutu seni yang tinggi serta mengandung falsafah yang berharga. Semakin cermat dan mendalam memahami dan merenungkan makna pergelaran wayang itu, kian terungkap falsafah yang dikandungnya dan dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan hidup manusia. Manusia memahami jati dirinya, sebagai hamba Allah yang pandai bersyukur, sehingga hidupnya tenteram dan bahagia. Filsafat wayang diharapkan dapat memberi jawaban atas pandanganpandangan mendasar tentang kebenaran dan realita yang mengarah pada pencapaian kesempurnaan hidup.



KESIMPULAN

Wayang sebagai salah satu kebudayaan Indonesia memiliki kandungan nilai yang begitu tinggi. Kebudayaan Indonesia yang telah menjadi warisan dunia ini menjadi pandangan hidup bagi orang-orang Jawa. Di dalamnya terdapat nilai shingga filsafat.




DAFTAR PUSTAKA


Amir, Hamzah. Cet.3, 1997. Nilai-nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Dojosupadmo,Sri Mulyono. Cet.3, 1989. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang: Sebuah Tinjauan Filosofis. Jakarta: Haji Masagung.
. Cet.4, 1979. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Gunung Agung.
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropolog. Jakarta: Rineka Cipta

http://dhitos.wordpress.com/2006/08/27/sumbangan-filsafat-dalam-pengembangan-wayang/
http://sudarjanto.multiply.com/journal/item/1/Filsafat

0 komentar:

Posting Komentar