Selasa, 19 Juni 2012

REVOLUSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM; PERAN KAUM MUDA INTELEKTUAL MUSLIM, MENYATU DENGAN UMAT ATAU MENYATU DENGAN “NEGARA”


BAB I
PENDAHULUAN



Polarisasi dunia pendidikan semakin memasuki babak baru di era kehidupan masyarakat agrari menuju masyarakat modern. Bingkai itu semakin pelik dengan dibukanya berbagai perguruan tinggi dengan sekian banyak disiplin ilmu yang ditawarkan. Arus dinamisasi yang seperti ini seharusnya membawa sebuah penciptaan atas tatanan masyarakat yang eksklusif-emosional-pragmatis menuju masyarat inklusif-kritis-transformatif. Upaya peningkatan taraf kehidupan yang memiliki acuan keberagaman adalah sesuatu yang tidak mudah, maka fungsi dari pendidikan adalah mengembalikan fitrah kemanusiaan menuju sebuah tatanan demokratis.
Kaum muda adalah sebuah generasi pelanjut estafeta sebuah peradaban, agenda perubahan perubahan selaru menggelora dalam denyut nadinya. Untuk itu kekuatan intelektual adalah sebuah keharusan yang terpatri di pundak seorang pemuda. Dunia pendidikan formal yang menjadi wadah institusional untuk menggali ilmu tidak seharusnya memposisikan dirinya pada taraf “kemapanan”. Sehingga eksklusifisme pendidikan semakin menguat dan mengakibatkan akses untuk menikamtinya semakin sulit.
Bukan rahasia lagi bahwa dunia pendidikan Islam masih berada pada taraf on going process dan on going formation baik secara teoritis maupun praktis. Perguruan Tinggi Islam yang dari aspek pendidikan digawangi oleh Fakultas Tarbiyah, secara konseptual memerlukan pemikiran lebih mendalam di wilayah epistemologi. Sebuah pengetahuan atas ilmu pengetahuan hanya diketahui setelah mengetahui pengetahuan itu sendiri, prisnsip-prinsip, argumentasi-argumentasi, dan ketentuan-ketentuan persepsi sehingga mungkin untuk mendefinisikan kemungkinan-kemungkinan manusia dapat mengetahui atau tidak. Sehingga pengetahuan seseorang tidak ditegakkan pada kapabilitas minimal atau maksimal dari kapasitas indera dan rasionalnya.
Relefansi Pemikiran Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi:
Pergumulan antara Kebijakan Pendidikan dan Praktek Pendidikan.
Kita masih sering menemukan ketidak sesuaian antara kebijakan politik pendidikan dengan prakteknya dalam rutinitas perguruan tinggi, baik secara paradigmatik yang teraktualisasi dalam praktek belajar-mengajarnya. Terkesan seolah-olah sebuah dinamika pendidikan menjadi sangat sulit diobjektifikasi dari konsepsinya yang secara filosofis membentuk bangunan epistemologi dari proses pembuatan sebuah kebijakan pendidikan. Sehingga sinergitas antara keduanya mengalami out of control ditingkat mikro (transfer keilmuan dari dosen ke mahasiswa). Maka dari itu usaha untuk menemukan sebuah corak pemikiran yang sejalan antara konsepsi dasar dan prakteknya harus berjalan secara bersamaan tidak terkesan numerikal.
Pada umumnya, pandangan akademisi dan lebih-lebih lagi golongan awamnya, masih sulit memahami maksud diskursus filsafat. Jangankan terhadap filsafat Barat, seperti yang diusulkan Hasan Hanafi dan para filsuf yang lain terhadap diskursus filsafat Islam pun demikian pula adanya. Tanpa disadari, pemikiran masyarakat Muslim pada level historis-empiris, sesungguhnya mengalami banyak perubahan. Bahkan kadang sangat radikal. Tetapi begitu “perubahan-perubahan” itu dicoba dikonseptualisasikan lewat studi dan telaah akademik-filosofis, maka muncul bukannya sikap apresiatif terhadap hasil kajian tersebut, tetapi justru malah muncul istilah non partisipatoris.
Pada dasarnya cita-cita untuk membangun sebuah tatanan pendidikan yang sejalan antara kurikulum pendidikan dan prakteknya sungguh harus menjadi acuan dasar kita dalam frekuensinya membangun pendidikan itu sendiri. Dalam kerangka ini praktisi pendidikan masih sulit menentukan sebuah acuan yang bisa menjadi acuan dalam serangkaian aktifitas belajar mengajarnya. Oleh karena itu sudah saatnya kita menjadikan praktek “belajar-mengajar” menjadi sebuah iktiar mulia yaitu “belajar bersama”.
Satu-satunya arena yang menjadi hak lembaga-lembaga Islam ialah arena pendidikan (pendidikan rohani). Jadi target dari setiap lembaga-lembaga Islam itu adalah target pendidikan, dan karenanya tidak boleh mengejar target-target diluarnya seperti kekuasaan politik, dominasi ekonomi, superioritas fisik dan lain-lain. Karena tidak satu bidangpun yang khusus merupakan arena pendidikan, maka lembaga-lembaga pendidikan Islam itu bisa berupa; organisasi mahasiswa, organisasi pelajar, pers, organisasi pemuda, jama’ah masjid dan sebagainya.
Apa yang dibahasakan oleh Ahmad Wahib sebagai Pendidikan Rohani perlu kita sikapi sebagai sebuah kontribusi pemikiran yang cukup brilian dalam menjawab tantangan lembaga-lembaga Islam pada masanya. Perlu disadari bahwa kekuatan dalam pendidikan Islam adalah aspek spiritualnya yang begitu luar biasa. Kekuatan spiritual tentunya tidak harus kita maknai hanya sebatas rutinitas simbolik belaka dari sekian ritual yang diatur oleh syari’ah, namun lebih pada kesesuaian antara pola pikir dan pola laku. Sehingga kaum intelektual kita tidak lagi menjadi orang yang memiliki pengetahuan namun tak berilmu.
Corak Pendidikan Islam dan Peran Kaum Intelektual.

Menurut BAB I Ketentuan Umum pasal 1 ayat 1, Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; pendidikan adalah:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan susunan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Sedangkan Pendidikan Islam; menurut beberapa orang ahli pendidikan Islam berbeda-beda akan tetapi pada intinya memiliki tujuan yang sama; diantaranya:
a. Sayid Sabiq mendifinisikan: pendidikan Islam dengan mempersiapkan anak baik dari segi jasmani, akal dan rohaninya sehingga dia menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat, baik untuk dirinya maupun umatnya.
b. Athiyah Al Abrosyi: sesungguhnya maksud pendidikan Islam adalah mempersiapkan individu agar ia dapat hidup dengan kehidupan yang sempurna.
c. Anwar Jundi: sesungguhnya yang namanya pendidikan Islam, ialah menumbuhkan manusia dengan pertumbuhan yang terus-menerus sejak ia lahir sampai ia meninggal dunia.
Dari beberapa defenisi diatas telah jelas bahwa harus ada proses humanisasi dalam corak pendidikan kita, tidak hanya sebatas paradigmatik namun pembumian dari konsepsi tersebut haruslah menjawab persoalan keummatan. Berbicara pendidikan maka kita akan masuk pada sebuah konstruksi dominan yang terlanjur menjadi stigma di masyarajat dan secara integral telah terinternalisasi dalam frame berfikir kita, yaitu pendidikan selalu dilekatkan pada dunia yang oleh sistem dikonotasikan sebagai pendidikan formal. Maka wajar jikalau orang yang terdidik adalah orang yang sudah menempu jenjang pendidikan formal yang kami sebut diatas tadi.
Dominasi corak pendidikan yang seperti kami sebutkan diatas kemudian memposisikan kaum intelektualnya pada fase yang secara normatif mengalami kegamangan dalam menentukan posisi dan perannya untuk melakukan perubahan. Sehingga terlenalah kita dalam ruang dan waktu dimana orientasi dari pelekatan pendidikan untuk memanusiakan manusia tidak mampu kita transformasikan untuk menjawab persoalan keummatan. Islam itu anti terhadap kemiskinan tapi bukan berarti “memberantas” orang miskin melalui kebijakan politik pendidikan dalam kerangka kurikulum dan sistemnya secara monoton hanya mengakumulasikan materi semata.
Meminjam istilah Zamroni, bahwa pendidikan Islam di Indonesia masih merupakan impian belaka. Pendidikan Islam dalam realitas, baru merupakan: (a) Pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga Islam, (b) pendidikan agama Islam yang disampaikan di perguruan tinggi, dan (c) perguruan tinggi yang bertujuan menghasilkan sarjana dibidang ilmu-ilmu agama Islam. Perguruan tinggi Islam jumlahnya sangat banyak,tetapi dalam peta perguruan tinggi di Indonesia kebanyakan menempati posisi di pinggiran. Untuk meningkatkan kedudukannya, dalam jangka pendek perguruan tinggi Islam harus mampu memperbaharui kurikulumnya secara mendasar. Pendidikan tinggi Islam harus memiliki tipe ideal manusia seutuhnya, menurut Islam adalah al-insan al-kamil. Manusia yang memiliki pengetahuan danperilaku sebagaimana yang dimiliki Rasulullah atau setidak-tidaknya mendekati. Manusia yang terdiri atas jiwa dan raga, dengan pengetahuan yang dimiliki, jiwa bisa mengendalikan perilaku untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kelak. Tujuan utama adalah kebahagiaan di akhirat dan kebahagiaan di dunia sebagai kebahagiaan antara. Untuk mencapai tujuan itu seseorang harus memiliki ilmu pengetahua, memiliki kebijaksanaan (wisdom), berjiwa adil dan mampu mentransformasikan ilmu yang dimiliki kedalam amal perbuatan yang berguna tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi lingkungannya. Sosok manusia seutuhnya tidak akan statis, tetapi selalu dinamis sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakatnya.


BAB II
KOHERENSI ANTARA REVOLUSI PEMIKIRAN DAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Sebuah Sejarah.
Sebuah keyakinan diri dan kemampuan menghadapi masa depan sangat ditentukan oleh cara pandang (world view) dan corak berfikir kita untuk memberikan konfirmasi terhadap realitas. Jika Islam mengajarkan bahwa Allah SWT tidak akan merubah nasib sebuah kaum, sehingga mereka sendirilah merubah apa yang ada pada diri mereka. Maka tafsir yang paling sesuai dalam perubahan nasib sebuah kaum adalam perubahan cara berfikir, karena disadari atau tidak corak berfikir adalah sebuah hal yang sangat subtantif dalam diri kita. Untuk membentuk cara berfikir seseorang maka pendidikan sangat memiliki peranan penting dalam hal ini.
Max Weber menganggap bahwa keunggulan personal dalam maysarakat sangat menentukan, dan akan menampilkan ketokohan yang dimiliki kekuatan nilai (religius) dan kekuatan intelektual. Weber memandang bahwa agama adalah sesuatu penerimaan total manusia yang meliputi aspek kepercayaan (belief), upacara keagamaan (ritual), pengalaman keagamaan (experience), dan pencipta tatanan masyarakat (community). Lain halnya dengan Emile Durkheim memandang bahwa agama adalah pengungkapan ikatan-ikatan sosial (fungsional). Bentuk penghapusannya berupa kekuatan sosial dan masyarakat yang ideal. Agama itu merupakan inti bagi masyarakat, juga sebagai perilaku koloektif, yang bisa menimbulkan/mendorong terciptanya hubungan baik antara individu maupun antara group/kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Secara empiris dalam historiesiecal approach menunjukkan bahwa orang-orang Islam belum dapat mengetauin, menghayati dan melaksanakan ajaran Islamsepenuhnya. Mengapa antara doktrin dan dan kenyataan pengalaman sehari-hari umat Islam berbeda? Factor apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Lafran Pane mengkaji masalah ini dalam tulisannya tentang kondisi masyarakat Islam Indonesia, dan membaginya dalam 4 golongan. Pertama, adalah golongan awam, sebagai golongan terbesar yang melakukan agama Islam sebagai kewajiban yang diadatkan, seperti pada upacara keatian dan selamatan. Golongan ini tidak memiliki pegetahuan yang utuh terhadapa agama Islam. Kedua, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya, yang mengenal dan mempraktekkan agama Islam sesuai dengan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW seperti tersebut dalam hadits-hadits dan riwayat. Golongan ini tidak mencontoh Nabi Muhammad sebagai Rasul akan tetapi juga sifat dan kebisaaannya yang tidak lepas dari masyarakat Arab yang sangat berlainan budaya dengan Indonesia. Ketiga, para alim ulama yang terpengaruh oleh mistik dan beranggapan bahwa hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja. Kepentingan hidup di dunia diabaikan apalagi memperhatikan pengaruh perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesiadan dunia sekarang ini. Keempat, golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman sesuai dengan wujud dan hakekat agama Islam. Mereka berusaha suapaya agama Islam dapat diamalkan dalam masyarakat Indonesia sekarang.
Dari beberapa pendekatan diatas telah jelas bahwa sejarah pendidikan Islam begitu jelas mengalama kesenjangan sehingga tidak salah jika hari ini kita masih berada pada taraf on going process. Dari masa kemasa jika ingin dirunut secara proposisi aspek kolonialisasi juga berpengaruh pada sejauh mana keterbelakangan masyarakat pada waktu itu. Lalu kemudian kini masyarakat dihadapkan pada arus globalisasi yang terarah pada perwujudan segala aspek kepada logika “pasar” sehingga segala sesuatu baik itu pendidikan harus dilekatkan dengan kekuatan materi.
Sejarah kelam diatas seharusnya menjadi potret untuk kembali membangun sebuah pranata keilmuan dalam wadah pendidikan formal yang lebih humanis teosentris seperti apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Achmadi dalam bukunya “Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris. Aspek amal ibadah hanya dapat tertuang dengan massif jikalau polarisasi berkehidupan kita bersandar pada dinamisasi dunia dan akhirat. Sebuah alur yang sinergis untuk menjawab tantangan zaman dunia pendidikan yang telah masuk pada era modernisasi yang tanpa filtrasi dapat mengikis kebudayaan yang secara sosio-antropologis menjadi bagian penting daripada Bangsa dan Negara.
Arus budaya populer (popular culture) begitu pesatnya merasuk dan membentuk budaya konsumerisme menjadikan kita bergantung pada produk yang dijajahkan sehingga kita sudah tidak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Maka wajar jikalau Roem Topatimasang pernah berkata bahwa sekolah tidak hanya mencetak presiden, pegawai, akademisi dll. Namun sekolah juga memproduksi para koruptor, dan segala sesuatu yang kita konotasikan sebagai profesi yang tidak terpuji.
B. Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman serta Budaya Berfikir Baru yang Ingin Dikembangkan.
Apabila Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah adalah merupakan sebuah bangunan keilmuan, yang memiliki obyek kajian, metodologi, pendekatan dan kerangka teori, maka seperti halnya Ilmu-ilmu yang lain mestinya juga memiliki pembahasan tentang filsafat keilmuannya. Seperti halnya ilmu-ilmu keislaman yang memiliki the philosophy of science, ilmu-ilmu sosial memiliki the philosophy of sosial sciences, maka ilmu-ilmu keislaman aturannya juga memiliki the philosophy of Islamic sciences.
Filsafat ilmu-ilmu keislaman adalah corak dimana pencarian sebuah bangunan konsepsi akan termanifestasi sejalan dengan usaha yang dilakukan secara terus menerus. Corak berfikir seperti inilah secara sederhana bisa untuk sedikit dikembangkan sehingga mampu memberi ruang pada kontribusi pemikiran pendidikan Islam. Cara pandang kita harus dengan sinergis terarah pada pengayaan ilmu pengetahuan yang kita geluti dalam back ground disiplin ilmu masing-masing. Sehingga pergulatan wacana dalam khasanah perguruan tinggi tidak di hegemoni oleh satu disiplin ilmu saja. Bentuk konfigurasi dari upaya tersebut bisa kita bahasakan sebagai “gerakan pengetahuan”.
Bahasa gerakan pengetahuan akan menjadi pijakan dalam gerak aktifitas pengembangan corak berfikir yang dinamis dan sesuai dengan tuntutan zamannya. Gagasan ini tidak sedang ingin mendudukkan sekian banyak entities pengetahuan dalam sebuah akumulasi pengetahuan yang berorientasi pada penciptaan mazhab akumulasi pengetahuan. Namun lebih pada pengayaaan ilmu yang sedang dikembangkan oleh seseorang melalui disiplin ilmu yang digeluti.
Pada dasarnya pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (sosial and kultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan, karena itu secara metodologis bertumpu diatas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan menindas tersebut.
Pendidikan termasuk wilayah muamalah duniawiyah. Maka menjadi tugas manusia untuk memikirkannya terus menerus sirama dengan perubahan zaman. Prinsip-prinsip pendidikan Islam telah telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW, dan telah terlihat hasilnya karena beliau mampu mengkomunikasikan Islam agama fitrah dengan fitrah manusia. Islam sebagai sistem nilai dalam perjalannya harus mampu menjadi sumber daripada kebenaran itu sendiri. Poros ilmu, iman dan amal adalah tonggak fitrawi yang secara sadar ataupun tidak adadalam diri manusia.
Penindasan, ketidakadilan atau apapun nama dan apapun alasannya, adalah tidak manusiawi. Semua hal itu adalah sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Sebuah akar pemikiran pendidikan yang bercorak Islam sudah seharusnya memiliki keberpihakan sebagai eujud transformasi paradigmatik dalam tataran sosial. Implementasi dari model berfikir seperti inilah yang disebut sebagai kesesuaian antara pola pikir dan pola laku. Ada suatu hal yang perannya tidak kecil sulit dalam membuat filosofi sulit dibincangkan, yakni kenyataan bahwa secara tradisional telah didekati dalam sedikitnya tiga cara mendasar:
1) Sebagai sebuah proses aktif ‘berfilosofi pendidikan’ (educational philosophizing), menggunakan analisis problema atau pendekatan analitis
2) Sebagai sebuah pendekatan sistem formal dimana sistem -sistem mendasar dalam filosofi, misalnya realisme dan idealisme diterapkan ke dalam pendidikan
3) Dibalik kedok filosofi-filosofi pendidikan yang kurang lebih mengandung warna kedirian (keyakinan-keyakinan, prakiraan-prakiraan pribadi) orang yang berfilosofi itu.

C. Pendidikan Islam serta Relevansinya dalam Penciptaan Peradaban Indonesia.

Membincang persoalan pendidikan Islam, pada dasarnya kita sudah terlanjur masuk dalam ranah konstruksi stigma pendidikan yang melekat dengan sebuah institusi keagamaan. Legitimasi dari supermasi institusi inilah yang kemudian menjadi sebuah kekuatan yang bersifat “mendua”, diatu sisi memeiliki kekuatan secara sistemik dan disis lain memiliki kekuatan doktriner. Sebuah keeniscayaan pengetahuan secara absolute sebenarnya membelenggu, kaerna terarah pada sebuah dinamika yang monoton semisal pembatasan masa belajar di perguruan tinggi. Pendidikan Islam harus mampu menampilkan sebuah eksperimentasi sains tidak hanya dalam kerangka wacana. Namun memiliki konfigurasi yang jelas dan sistematis.
Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Initerbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai ilmu ‘Aqâ’id (Ilmu Akidah-akidah,yakni Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhỉd (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushûl al-Dỉn (Ushuluddin, yakni Ilmu pokok –pokok Agama). Di negeri kita,terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut diatas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun bisaanya doktrin, seringkali juga dogmatis.
Orientasi sebuah pendidikan adalah pilar utama sebauh peradaban, aspek inilah yang seringkali secara akses begitu sulit dijangkau oleh sebagain besar masyarakat Indonesia. Dampak ini secara integral begitu kental terasa dimana sebuah tatanan masyarakat akan semakin kesulitan menentukan arah daripada sebuah pranata sosialnya. Maka wajar jikalau peradaban yang dicita-citakan semakin menjadi mimpi yang tak dapat ditemui di dunia empirik. Corak pendidikan kita disadari atau tidak telah memasuki babak baru dimana dari tahun ketahun baiaya pendidikan semakin meningkat. Dan konstruksi ini telah menjadi sebuah budaya baru dimana pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang mahal. Efek domino dari proses itu adalah keterbelakangan begitu derasnya merambah sebagian besar masyarakat Indonesia. Bisa diperkirakan bahwa potret demikian itu akan menghambat peradaban itu sendiri.
Munculnya banyak kekerasan dan kerusuhan di Indonesia beberapa tahun terakhir yang melibatkan sentiment keagamaan patut mengundang gugatan terhadap ketidak berdayaan pendidikan agama itu sendiri. Apa yang salah dengan sistem pendidikan agama di Indonesia selama ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membedakan “pendidikan” dan “pengajaran”. Pendidikan lebih dari sekedar pengajaran. Pengajaran dapat dikatakan sebagai proses transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai-nilai kepada anak didik dan pembentukan kepribadiannya dengan segala aspek yang dicakupnya. Pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan “tukang-tukang” atau spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisasinya yang sempit, yang karena itu, perhatian dan minatnya lebih bersifat teknis.
Azyumardi azra, seorang pemikir Muslim Indonesia dewasa ini, menegaskan bahwa perbedaan antara pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik disamping transfer ilmu dan keahlian. Dengan proses semacam ini, suatu bangsa atau Negara dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran, dan keahlian kepada generasi mudanya, sehingga mereka betul-betul siap menyongsong kehidupan. Dengan demikian pendidikan mengandung arti yang tidak hanya berupaya mencerdaskan anak bangsa, namun bertanggung jawab pada penciptaan sebuah peradaban. Pendidikan dengan segala bentuk pengetahuannya mampu menggerakkan dan mencerahkan seluruh elemen dari masyarakatnya. Untuk menopang cita-cita besar tersebut peran kaum intelektual muda Islam sebagai pioneer daripada perubahan merupakan sebuah keharusan untuk melakukan sebua revolusi pemikiran dalam konteks pendidikan Islam. Sehingga mampu bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang dirhidhoi oleh Allah SWT.


BAB III
IKHTIAR (KEMERDEKAAN MANUSIA) MENUJU IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

Islam sebagai agama lahir bersamaan dengan hadirnya manusia pertama, Nabi Adam a.s. Saat itu pula pendidikan Islam dimulai oleh Allah yang mendidik dan membimbing manusia pertama yaitu Adam sebagai subyek didik, dengan mengajarkan ilmu pengetahuan (nama-nama benda) (Q.S. al-Baqarah: 31), yang tidak diajarkan kepada makhluk lain termasuk kepada malaikat sekalipun. Selain itu Allah juga membikan bimbingan “norma kehidupan” untuk memelihara harkat dan martabat manusia (larangan mendekati pohon terlarang) (Q.S. al-Baqarah 35).
Pemaknaan kita terhadap Islam itu sendiri haruslah menyeluruh dan tidak parsial, sehingga nilai-nilai kebenaran yang terkandung didalamnya mampu kita fahami secara seksama. Islam sebagai sumber kebenaran adalah manifestasi dari kebenaran itu sendiri, sehingga kita tidak sedang memposisikan Islam itu sendiri sebagai bangunan Ideologi, namun hasil penalaran kritis terhadap sumber kebenaran itulah yang menjadi Ideologi. Hasil penalaran dari sekian banyak ikhtiar yang dilakukan merupakan sebuah upaya untuk menemukan corak Ideologi dari pendidikan Islam itu sendiri.
Istilah ideologi paling sering dihubungkan dengan dua pemikir besar; Karl Marx dan Karl Mannheim. Bagi Marx, ideologi-ideologi politik pun tak pelak lagi sebagian merupakan pembenaran bagi materi yang ada atau organisasi ekonomi masyarakat. Sementara konsep Mannheim tentang sebuah ideologi total (sebagai lawan dari konsepnya tentang sebuah ideologi tertentu) pada intinya sama dengan Marx, dan dalam bukunya Ideologi dan Utopia (Ideologi dan Khayal) ia minta perhatian terhadap kenyataan bahwa ideologi paling bisa dipahami dalam proses kesejarahan yang terbuka.
A. Gerakan Pengetahuan Sebagai Basis Perubahan
Sebuah diskursus yang dibangun dibawah nalar kritis senantiasa digawangi oleh kelompok muda progresif yang memiliki orientasi pada transformasi, bisa berupa gagasan maupun tindakan. Bahasa “gerakan pengetahuan” adalah sebuah gagasan yang tidak hanya memiliki etos perubahan namun penguatan ilmu pengetahuan pada basic demand masyarakatnya. Sebuah pengetahuan yang “menggerakkan” sehingga mampu membongkar bangunan kesadaran masyarakat yang terlanjur mapan oleh produk sains berupa materialisasi produk-produk yang menjadi kebutuhan primer masyarakat itu sendiri.
Dalam kehidupan masyarakat kontemporer arus westernisasi disatu sisi merupakan sebuah keharusan, dikarenakan corak berfikir yang juga harus modern. Asumsi ini menjadi sebuah tantangan yang seharusnya dijawab oleh genrasi muda intelektual Muslim. Pada dimensi keagamaan dominasi normatif selalu menjadi alur problematic dalam menentukan sikap penjabaran sebuah masalah. Persoalan kemiskinan semisal dijawab dengan “sabar”, konotasi ini kemudian tidak ditopang oleh sebuah usaha yang progresif-revolusioner. Konsepsi normatif seharusnya dihadapkan pada konteks yang secara ril dihadapai oleh masyarakat itu sendiri.
Ketika konsep pendidikan Islam tidak dihadapkan pada persoalan-persoalan empiris-sosiologis dan hanya bergulat pada persoalan normatif maka pendidikan Islam bisa terjebak pada ideologi positivisme yang cenderung menafikan arti penting kritik atas realitas sosial. Dibawah kekuasaan positivisme, pendidikan Islam bisa berhenti aktivitasnya dalam mengonstruksi language of criticue (Giroux, 1993), yaitu sebagai media kritik terhadap realitas sosial. Jika ini terjadi, pendidikan Islam disangsikan punya peran yang signifikan dalam membentuk kehidupan public, politik, dan kultural serta melegitimasi bentuk-bentuk tertentu kehidupan sosial.
Pada prisnsipnya sebuah ideologi pendidikan Islam adalah dasar bagi segala aktifitas baik berupa kurikulum dan kebijakan pendidikan itu sendiri. Khasanah keilmuan akan terlihat coraknya jikalau dia memiliki bangunan ideologi yang termanifestasikan dalam gerak proses di dunia pendidikan formal. Akumulasi gagasan dari prosesi itulah yang kita sebut sebagai gerakan pengetahuan, bukan menjadikan semua disiplin ilmu menjadi sebuah mazhab baru atau cabang ilmu pengetahuan baru. Namun lebih pada pengayaan etos disiplin ilmu pengetahuan yang digeluti oleh masing-masing kita.
Fazlur Rahman mengingatkan umat Islam agar mewaspadai akibat dari fragmentasi ilmu pengetahuan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa fragmentasi ilmu pengetahuan telah mengakibatkan manusia menjadi robot, yakni makhluk menkanis dan pribadi terpecah-pecah (split personaliry). Rahman berusaha mengembalikan manusia pada pribadi yang sebenarnya, yaitu kepribadian yang utuh (integrated personality). Sampai disini dapat disimpulkan bahwa karakteristik pengetahuan menurut Fazlur Rahman ada tiga, yaitu (1)Pengetahuan diperoleh melalui observasi dan ekperimen (2) Pengetahuan selalu berkembang dan bersifat dinamis,dan (3) Pengetahuan merupakan kesatuan organic. Ketiga karakteristik pengetahuan menurut rahman itu, secara sederhana, dapat diskemakan sebagai berikut.

Serangkaian kerangka diatas dapatlah menjadi sebuah pijakan awal kita dalam menentukan corak ideologi yang akan kita gunakan dalam aktifitas keilmuan. Dengan menjadikan Islam sebagai sumber nilai atau sumber kebenaran maka jelaslah begitu kaya dan luasnya khasanah keislaman yang masih bisa dicapai oleh umat Islam dan genrasi mudanya untuk menjawab tantangan zamannya. Perubahan adalah sebuah keharusan dari hasil kontekstualisasi daripada keilmuan yang diperoleh darimanapun, keniscayaan perubahan itulah menjadi sebuah fase perjuangan yang dilakukan secara terus menerus, salah satu ruang yang bisa digunakan untuk mengekspresikan ikhtiar itu adalah sebuah wadah yang tadi kita bahasakan sebagai “gerakan pengetahuan”.
B. Fitah Manusia dan Kecendrungannya Kepada Kebenaran (Hanief) dalam Membangun Peradaban.

1. Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan

Sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu; Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (hanief) (Q.S. ar-Rum ; 30). Hati nurani adalah pemancar keinginan kepada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang Mutlak atau yang Terakhir, Yaitu Tuhan yang Maha Esa (Q.S. adz-Dzariyat ; 56). Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Telah dijelaskan diatas bahwa fungsi manusia secara fitrawi adalah selalu cinta akan kebenaran. Bentuk kecintaan itulah secara ekplisit senantiasa mewarnai dan membingkai setiap ruang gerak manusia sejati dalam berkehidupan dengan masyaraktnya yang plural dan harus menjadi sebuah gejala masyarakat intelektual muslim yang meng-Indonesia. Tindakan yang senantiasa progresif diengan tidak hanya menyandarkan diri pada postulat-postulat nilai namun mencoba melakukan kontekstualisasi dalam penciptaan sebuah peradaban yang menyatukan kaum intelektual dengan masyarakat tidak hanya “Negara”. Asumsi Negara yang kami maksud adalah sebuah pencapaian ruang kekuasaan melalui politik an sich belaka. Sudah saatnya genarasi menjadi pembaharu dengan kekuatan pengetahuannya.

Seseorang layak memiliki sesuatu atau suatu kondisi ketika kepemilikannya berjalan harmonis dengan kebaikan tertinggi. Kita dapat dengan mudah melihat bagaimana semua kelayakan ini menjadi persoalan tindakan moral, karena ini menjelaskan kondisi segala hal (yang menjadi bagian dari kondisi seseorang) didalam konsep kebaikan tertinggi, yaitu partisipasi di dalam kebahagiaan. Dari sini disimpulkan bahwa orang tidak boleh memandang moral itu sendiri sebagai doktrin kebahagiaan, yaitu sebagai satu instruksi tentang bagaimana memperoleh kebahagiaan. Moral hanya berkaitan dengan rasional (conditio sine qua non). Kebahagiaan dan tidak terkait dengan sarana untuk mencapainya. Namun ketika moral (yang hanya memaksakan kewajiban dan tidak menyediakan aturan bagi harapan-harapan egois) sepenuhnya dijelaskan, dan suatu harapan moral telah dimunculkan untuk mencapai kebaikan tertinggi (membawa Kerajaan Tuhan kepada kita), yang merupakan satu harapan yang didasarkan atas hukum dan sesuatu yang tidak memberi tempat kepada pikiran egois, dan ketika demi harapan ini langkah menuju agama telah dilakukan – maka etika yang dapat disebut sebagai doktrin kebahagiaan, karena harapan akan terciptanya hal ini mula-mula muncul dari dalam agama.
Akal budi manusia secara praktis akan selalu bersandar pada realitas dimana dia berada, hasil objektifikasinya bersamaan dengan nilai-nilai normatif yang diyakininyalah akan memberikan konfirmasi terhadap realitas. Pola yang sinergis antara tingkah laku dan fikiran akan membawa kita pada proses penalaran dari teks normatif ke konteks objektif. Melalui agama manusia akan mencapai puncak kebaikan tertinggi yang secara fitrawi telah tergariskan melalui postulat-postulat agama yang diyakini. Atas dasar kepercayaan terhadap pencipta alam semesta manusia mampu menjabaekan sekian banyak hal yang ada di alam raya ini.
Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan psikisnya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individual dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat, hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama umat manusia. Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rohani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik ataupun dunia akhirat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (al-Bayyinah: 5).
2. Melalui Pendidikan Islam menuju Peradaban Madani
Dijelaskan diatas bahwa secara integral tidak seharusnya kita melakukan dikotomi antara kehidupan individual dan kehidupan komunal, atau dengan istilah lain bisa kita sebit dengan independensi etis dan independensi organisatoris. Melalui tingkah laku individu secara bersamaan juga harus mampu memberikan efek positif bagi kehidupan komunal. Inilah yang kita sebut sebagai aktualisasi daripada tauhid itu sendiri. Motif keebnaran haruslah bersandar pada relasi antara individu dan masyarakat sehingga untuk menopang peradaban bangunan kesadaran tidak hanya berangkat dari kaum intelektualnya saja namun bersinergis antara transformasi kepada masyarakat sebagai people power.
Mengutip apa yang disebutkan oleh Michel Foucault dalam bukunya Kegilaan dan Peradaban. Jika kegilaan menjadi kebenaran pengetahuan, ini disebabkan pengetahuan merupakan sesuatu yang absurd, dan meski mengalamatkan dirinya sendiri kepada buku-buku agung mengenai pengalaman, ia telah kehilangan jalannya dalam debu buku-buku dan debat-debat yang malas; proses belajar menjadi sebuah kegilaan melalui akses yang sama dari kekeliruan belajar.
O vos dosiores, qui grandia nomina fertis, Respicite antiques patris, jurisque peritos. Non in candidulis pensebant dogmata libris, Arte ses ingénue sitibundum pectus albant.
(Wahai kalian orang-orang terpelajar yang menyandang nama besar, Lihatlah kembali kepada bapa-bapa pendahulu yang belajar dalam hukum. Mereka tidak menimbang-nimbang dogma dalam cahaya buku-buku putih, Namun memuaskan kehausan hati mereka dengan kemampuan alaminya.)
Pendidikan pada dasarnya menjadikan manusia sebagai sebuah entitas yang mampu secara individu maupun komunal untuk memberikan manfaat kepada sesamanya. Proses pemanusiaan manusia adalah sebuah keniscayaan dalam dinamika ini, etos pendidikan Islam harus senantiasa menghadap pada pola relasi atau interaksi yang harmonis dan secara gamblang mampu menjadi sebuah efek daripada perubahan. Pola-pola pendidikan harus juga mengarah pada proses humanisasi seutuhnya sehingga hasil objektifikasi normatif yang dilakukan secara eksistensi mampu ditemuakan dalam dunia realita.
Manusia yang fana di dunia ini membentuk suatu spesies yang didefinisikan dalam suatu difinisi spesies: binatang dan differentia (pembeda) spesifik yang rasional (keberakalan); jenisnya diambil dari bentuk fisik di alam materi, sedang differentia-nya diambil dari bentuk jiwa. Tapi jiwa-jiwa manusia, setelah pada awalnya sebua bermula dari satu spesies, akan menjadi berbeda dalam hakikat mereka, sesuai dengan modus keberadaan lain dan keadaan alami fundamental kedua.
Kesesuaian ditas adalah fitrah yang secara implicit mencakup esensi manusia dalam mewujudkan eksistensinya dalam pergulatan empirik, jika dispesifikasi pada dunia pendidikan Islam, maka peran seorang individu sangat berarti bagi penciptaan sebuah peradaban. Kesadaran yang berangkat dari pengetahuan yang menggerakkan dan mampu memberikan sebuah transforasi pencerahan dalam tataran masyarakatnya. Pendidikan Islam, adalah sebuah wadah yang harus degerakkan melalui kekuatan pengetahuan kaum muda intelektual muslim yang progresif dan dinamis dalam menjawab tantangan zamannya. Konfigurasi dari penalaran panjang inilah yang secara sinergis dan kontiniuitas akan membentuk sebuah peradaban yang berangkat dari dunia pendidikan Islam sebagai khasanah atas segala kebutuhan ummat dan negaranya.
C. Quo Vadis Pendidikan Islam; Mengisi Peradaban dengan Gerakan Pengetahuan
Gejolak dan geliat peradaban ketika telah mencapai masa kejayaannya perlu dituangkan sebuah gagasan-gasan yang menjadi tonggak aspiratif atas segala bentuk pengisian dan pegarahan masyarakat madani. Sebuah masnyarakat yang tentunya senantiasa menyandarkan kesadaran spiritualnya pada model transendensi Ilahiyah. Maka stigmatisasi yang awalnya selalu dihegemoni oelh dunia pendidikan formal yang secara sistemik menjadikan masyaraktnya sulit menjangkau akses untuk menikmati, mampu menjadi sebuah penciptaan taman-taman belajar yang betul-betul bermuara pada pola masyarakat kompetitif dan siap dengan persaingan disegala lini.
Pencapaian cita-cita ini adalah aspek yang secara proses memang cukup panjang dan pergulatan itu sebenarnya menjadi mata rantai kehidupan dan hukum alam yang senantiasa harus selalu diprakarsai oleh genrasi ke genrasi selanjutnya. Masyarakat dimana dominasi kelas sudah tidak menjadi tapal penghalang untuk berkreasi dan penghalang produktifitas, masyarakat yang tiada lagi ibu kesulitan mencarikan pendidikan yang bermutu namun relative mampu dijangkau oleh kalangan manapun. Sebuah cita-cita yang membetuhkan konsistensi dan komitmen yang sungguh-sungguh tidak sederhana. Kenyataan inilah yang menjadi tantangan dimana peradaban telah muncul dan menjelma menampakkan dirinya untuk menopang masyarakatnya.
Persoalan keadilan merupakan salah satu persoalan pokok yang disadari ummat manusia semenjak mereka mulai berfikir. Segera setelah umat manusia menginjak pola kehidupan bernegara (yang dimulai oleh bangsa Sumeria dilembah Mesopotamia sekitar lima ribu tahun yang lalu) masalah keadilan dalam pemerintahan banyak menyibukkan para pemikir, khususnya para pemimpin agama yang saat itu merupakan satu-satunya kelas literati dalam masyarakt. Para ahli sejarah mendapatkan bahwa cita-cita keadilan ummat manusia itu pertama kalinya secara hukum mewujud nyata dalam Hukum dan Kodeks Hamurabi (codec of hammurabi). Maka Babilonia merupakan negeri pertama kali mengenal sistem kehidupan sosial berdasarkan hukum yang tema pokoknya ialah keadilan.
Arah pendidikan Islam harus mengarah pada penciptaan tatanan yang senantiasa menyandarkan dirinya pada sebuah etos humanisasi transcendental yang tidak hanya berupaya membengun humanisasi transcendental yang tidak hanya berupaya membengun humanisasi transcendental yang tidak hanya berupaya membengun spiritualitas melalui ritual keagamaan belaka namun etos humanisasi yang mampu berarti bagi individu dan komunal masyarakat.
Pola pengisian peradaban yang tampak pada proses penciptaan masyarakat melalui gerakan pengetahuan yang digalakkan oleh kaum intelektual muda muslim adalah sebuah upaya yang tidak hanya berjalan berdasarkan pergulatan gagasan belaka, namun ada proses pendampingan yang secara spesifik menjadikan mahasiswa menyatu dengan ummat, sebagai bagian integral dirinya dengan ummat dan secara universal adalah masyarakat Indonesia tentunya. Karena sadar atau tidak dinamika yang seperti ini adalah sebuah gejala yang dapat membengun dan mengisi peradaban itu sendiri.
Pendidikan Islam harus diarahakan pada pola relasi antara manusia yang anti diskrimninasi. Pendidikan Inklusif adalah sebuah upaya untuk menopang cita-cita besar ini. Pendidikan Inklusif (inclusive education) belum banyak menjadi perhatian dalam diskursus pendidikan. Padahal di belahan bumi manapun selalu ada orang-orang yang ter-eksklusi dari pendidikan mainstream yang ada. Di Australia dan Kanada, suku aborigin, atau di Kanada disebut dengan the First Nation, punya sejarah yang kelam dan memalukan. Mereka dipaksa masuk kedalam sekolah orang kulit putih dalam rangka asimilasi, sehingga nanti ketika keluar sekolah mereka berpikir, bertindak dan berprilaku seperti orang kulit putih. Identitas bahasa, kultural , dan nilai-nilai mereka menjadi hilang. Hanya dimasa sekarangklah kesadaran akan pendidikan inklusif tumbuh.
Inklusifitas pendidikan Islam adalah jawaban dari sekian banyak persoalan keummatan yang selama ini menjerat ummat yang tidak hanya secara sistemik namun juga akses untuk menikmati pendidikan itu sendiri. Semoga saja mampu menjawab persoalan yang ada.

BAB IV
KESIMPULAN DAN PENUTUP

Tan Malaka pernah berucap tentang hukum perang yang berbunyi: “Dengan kodrat terpusat, dengan tepat dan dengan sekonyong-konyong, kita pecahkan gelang rantai pertahanan musuh yang lemah, dengan maksud memecah-belahkan hubungan organisasinya, dan akhirnya menghancur leburkan musuh itu”.
Sebuah ungkapan yang begitu berkobar dan menyala-nyala yang dicibirkan oleh sosok “pejuang tanpa tanda jasa” Tan Malaka. Adalah sebuah keniscayaan dalam bertindak dan bergerak selalu ada aral yang melintang kiranya inilah yang kita sebut sebagai musuh. Begitu juga bentuk nyata pendidikan Islam dalam pergulatan pemikirannya, senantiasa berdialektika dalam diskursus peradaban barat dan timur. Persoalan yang sangat mendasar adalah mampukah secara militansi dan segala kemampuan membendung hegemoni dalam dunia pendidikan?. Kenyataan diatas adalah sebuah refleksi panjang dari sekian banyak ketertinggalan dalam dunia pendidikan Islam kita.
Kekuatan pemikiran akan mencapai puncak kegemilangannya jikalau itu jua ditopang oleh semangat dan progresifitas yang tinggi untuk mejadi bagian dari kaum intelektual muda muslim yang revolusioner. Makna pendidikan sudah seharusnya tidak kita maknai hanya sebatas proses belajar-mengajar di lingkungan bangku sekolah saja. Stigma yang berkembang dalam nuansa seperti ini harus dibongkar dan didekonstruksi kembali, bahwa pendidikan adalah sebuah upaya secara esensial mengembalikan kodrat fitrawi kemanusiaan seseorang. Sebuah tatanan yang memang mampu berpartisipasi dalam penempatan masyarakat yang berpendidikan. Disinilah letak pendidikan Islam yang harus bersifat universal dan mampu diakses oleh siapapun.
Pemikiran pendidikan Islam menyatu dengan ummat atau menyatu dengan “Negara” adalah sebuah konotasi yang selama ini melekat dalam generasi yang juga digodok melalui pola pendidikan Islam. Kecendrungan kekuasaan yang berlebihan pada out put pendidikan akan berakibat pada pola konsentrasi politik yang dimaknai hanya sebatas seni perebutan kekuasaan, bukan menjadikan ruang politik menjadi sebuah wadah transformasi social oleh kaum muda intelektual muslim sejati.
Alur konstruksi berfikir akan selalu melekat pada ruang dan waktu dimana ia berada, sehingga harus ada keberpihakan yang jelas dalam demarkasi yang begitu pelik ini, keberpihakan yang begitu hakiki pada kaum mustadafin. Disinilah pentingnya gerakan pengetahuan dijadikan sebagai basis perubahan dalam sekian dimensi kehidupan masyarakat modern yang sangat dekat dengan arus produksi informasi yang menggejala disegala lini.
Dunia pendidikan Islam adalah tonggak dasar dimana basic demand masyarakat mampu terejawantah dalam aktifitas belajar dan mengabdi kepada masyarakat. Tonggak utama pilar ini merupakan bagian yang cukup mendasar dalam meonpang dan merealisasikan pemikiran dalam dunia pendidikan Islam yang humanis dan universal. Praktek pendidikan Islam juga seharusnya merasuk dalam dimensi aspek kehidupan masyarakat. Sehingga proses perubahan itu menjadi sesuatu yang akan digerakkan oleh masyarakat itu sendiri dalam dinamika diskursus dari wacana menuju gerakan.
Segalah musuh harus dihadapi dengan kekuatan intelektual dan eksistensi sebuah pendidikan Islam menjadi arus gerak people power secara bersamaan dan saling mengisi untuk menjawab tantangan zaman. Sehingga cita-cita terwujudnya masyarakat adil makmur yang dirhidhoi oleh Allah SWT dapat tercapai dalam kehidupan yang nyata.
Demikianlah segelumit gagasan-gagasan ini kami, semoga mampu memberikan sebuah hal yang berarti untuk bersama-sama membangkitkan kembalai kejayaan peradaban Islam melalui pendidikan Islam. Sebuah masa keemasan yang dicita-citakan oleh siapapun yang menyandang predikat muslim. Masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan karya ilmiah ini, untuk itu kami sangat membuka ruang dialog untuk kembali bersama-sama berdiskusi dan membuka ruang belajar bersama
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan bagi semua pihak yang telah membantu dan mendukung proses pembuatan karya ilmiah ini. Dan kepada almamater tercinta sebagai ruang belajar dan menimba ilmu, semoga ke depan banyak hal yang bisa dilakukan dalam menjawab persoalan keummatan. Tidak hanya sibuk dengan kemapanan dan kemegahan gedung sehingga integrasi keilmuan hanya mampu kita temui melalui jembatan penghubung antar fakultas. Sudah saatnya UIN Sunan Kalijaga dan Fakultas Tarbiyah khususnya memberaniklan diri untuk terbuka dan mampu diakses oleh semua elemen dengan kekuatan yang berangkat dari potensi yang ada dalam dirinya.
Buat Himpunan tercinta, semoga lebih progresif dan militan dalam membangun sebuah otokritik demi kemaslahatan bersama dan mampu menjadi pioneer digarda depan perubahan. Peran dan fungsi mahasiswa adalah pencipta sebuah perubahan dan penyambung estafeta perjuangan bangsa dari generasi ke generasi, sehingga corak pendidikan Islam mampu menemukan karakter dan kewibawaannya melalui kualitas yang dimiliki serta potensi yang ada padanya. Yakin usaha sampai. Wallahu a’lam bissawab.


DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, M. Amin. (2006). Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Achmadi. (2008). Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azhari, Kautsar dalam Th. Sumartana, dkk. (2005). Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei.
F. O’Neill, William. (2001). Ideology-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freire, Paolo. (2007). Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Foucault, Michel. (2002). Kegilaan dan Peradaban, Madness and Civilization. yogyakarta: Ikon Teralitera.
Hanafi, Hasan. (2004). Islamologi 1: Dari Teologi Statis ke Anarkis. Diterjemakan dari buku “Dirasat Islamiyah, BAB I dan BAB II”: Yogyakarta: LKiS.
Kant, Immanuel. (2005). Kritik atas Akal Budi Praktis. Judul asli “Critique of Practical Reason”. The Liberal Arts Press, New York 1965. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Madjid, Nurcholish. (2000). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Malaka, Tan. (2000). Gerpolek: Gerilya – Politik – Ekonomi. Jakarta: Djambatan.
Nuryatno, M. Agus. (2008). Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.
Raharjo, Toto. et, al., (eds). (2005). Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Masour Fakih, Roem Topatimasang, Toto Raharjo/Penyunting – Russ Dilts/Kontributor. Yogyakarta: INSIST Press.
Shadra, Mulla. (2001). Kearifan Puncak (Hikmal al-Arsyiah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutrisno. (2006). Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wahib, Ahmad. (1995). Catatan harian, Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka LP3ES Indoneisa.
ABSTRAK
Ada selentingan menarik yang mengatakan bahwa mahasiswa perguruan tinggi Islam, saat ini banyak yang meletakkan diskursus agama sebagai kajian dan bukan pengajian, terutama di kalangan para aktivis intelektual dan terpelajarnya. Peletakan sebuah issue yang menempatkan rasionalitas intelektual tampak terpisah dari sisi moral-etis yang dibawa agama itu sendiri. Defferensiasi ini memang tuntutan dunia keilmuan (sains) yang bebas nilai di satu sisi, tapi di sisi lain tak ayal membuat sebagian mahasiswa dan kaum elit intelektual, memisahkannya sama sekali dengan dunia intelektualitas yang banyak dituntut dari sebuah lembaga akademik.
Dari itu tidak sedikit pula para mahasiswa hanya menjadikan hal keislaman yang memuat etika moral hanya diletakkan pada pertarungan konsep yang mengisi ruang-ruang diskusi yang digelar. Moral-etika acapkali digagas sebagai aturan yang menuntun sebagian sikap masyarakat belaka, bahkan sebagian mahasiswa memisahkannya dengan masalah kebahagian, rasionalitas dan pengobatan rohani. Karenanya, perlu sebuah upaya bersama melihat dengan jernih persoalan moralitas intelektual ini dalam konteks dinamika era transisi.
PENDAHULUAN
Tulisan ini berangkat dari sebuah keheranan dan kerisauan penulis saat membaca ‘Surat Pembaca’ di harian nasional. Intinya begini: “Bangsa kita terpuruk. Rakyat dililit kesulitan ekonomi, pemimpin semakin egois, dan masyarakat dilanda dekadensi moral. Sampai kapan kondisi ini dibiarkan? Ke mana para intelektual bangsa ini?” Pertanyaan terakhir inilah yang membuat penulis tercenung dan berusaha mencari akar permasalahan yang sebenarnya, lalu berusaha menemukan formulasi baru untuk merekonstruksi tradisi intelektual dan moral etis dalam kehidupan sehari-hari.
Mengapa harus intelektual? Agaknya si penulis surat pembaca itu tak berlebihan jika berasumsi kalau saja para intelektual berfungsi sebagaimana mestinya, bisa jadi bangsa ini selamat dari keterpurukan. Seperti diungkapkan oleh Vaclav Havel[1], kaum intelektual itu merupakan hati nurani bangsa. Intelektual adalah mereka yang membaktikan hidupnya untuk berfikir demi kepentingan umum.
Saat dipenjarakan oleh Mussolini pada dekade 1930-an, Antonio Gramsci menuliskan gagasan-gagasan cemerlangnya. Gagasan-gagasan itu pada beberapa kurun berikutnya muncul dalam karyanya berjudul, Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci (1971). Salah satu gagasan cemerlangnya adalah diskursus yang dikembangkannya mengenai konsep intelektual. Gramsci membagi intelektual ke dalam dua kategori: tradisional dan organik. Menurutnya, intelektual tradisional merupakan kategori yang bisa dikenakan kepada figur intelektual menara gading yang melakukan kongsi dan aliansi dengan kaum penguasa. Karena itu, intelektual kelompok ini cenderung konservatif terhadap perubahan sosial. Sebaliknya, kata Gramsci, intelektual organik merupakan kategori yang bisa dipakai untuk mendeskripsikan figur atau kelompok intelektual yang mendedikasikan dirinya untuk perjuangan menuju kebaikan kelompok sosial masyarakatnya. Kaum intelektual yang demikian ini sejatinya muncul secara alamiah dari dalam diri dan seiring dengan pergerakan masyarakat, bukan dipaksakan untuk merepresentasikan kepentingan masyarakatnya. Atau, dalam bahasa Gramsci, muncul dari kelompok pekerja (the working class). Karena itu, mereka cenderung revolusioner dan tidak konservatif.[2]
Akan tetapi, tulisan ini tidak berusaha untuk menjabarkan konsep-konsep intelektual menurut Gramsci atau para pakar yang lain, melainkan akan memperbincangkan fungsi intelektual dan kaitannya dengan moralitas, yang akhir-akhir mengalami krisis. Hal ini juga tidak lain, karena berbicara tentang moralitas kaum intelektual merupakan “menu” yang menarik sekaligus menggelitik. Menarik, karena secara sosiologis, kaum intelektual jelas menempati posisi vital, identik dengan kaum elit, yang pada tataran idealitas sejatinya harus mempu membawa perubahan di tengah-tengah masyarakat. Menggelitik, karena faktanya sering berbicara lain. Antara idealitas dengan realitas memang cenderung berdiri secara diametris. Apa yang terjadi ditengah-tengah kehidupan seringkali menimbulkan paradoks yang membingungkan. Lihatlah, betapa berbagai kasus megakorupsi yang marak di lingkaran kekuasaan, yang didalamnya “dihuni” oleh para elit politisi dan kaum intelektual dengan kualifikasi pendidikan yang membangakan, kata Kmaruddin Hidayat dalam sebuah talk show di salah satu stasiun televise swasta, ternyata tidak tahan uji saat mereka masuk lingkaran kekuasaan.[3]
Bobroknya moralitas kaum elit politik, yang rata-rata diperankan oleh kalangan inetelek makin memperkuat tesis klasik EF Schumacher dan Fritjof Capra, bahwa krisis ekonomi, social, lingungan hidup berakar dar krisis moralitas bangsa itu sendiri. Korupsi, misalnya, kita temukan di mana-mana, di sekitar kita, setiap hari, setiap detik. Korupsi ada dimeja birokrasi, di partai politik, di lapangan olahraga, di lembaga pendidikan, di kantor-kantor swasta dan bahkan di lembaga agama.[4]
Tidak ada sektor yang tidak terjamah korupsi. Suap, sogok, pelicin, semir, uang jasa, uang dengar, uang terima kasih, uang lelah, atau apalah namanya. Setiap hari terjadi d tengah-tengah lingkungan kita dan tak terpisahan dengan keseharian kita. Korupsi selalu menghadang di mana-mana. Mulai dari pengurusan KTP sampai mengurus pemakaman.
INTELEKTUAL DAN KEBENARAN
Bung Hatta menyebut intelektual adalah mereka yang memiliki karakter dan teguh pendirian, lepas dari kepentingan diri, golongan, atau partai, lepas dari kedudukan, pangkat atau harta. Oleh karena itu, mereka harus tegas atas kebenaran, sebab ilmu yang menjadi ciri khasnya senantiasa mencari kebenaran. Mereka juga bersifat terbuka terhadap kebenaran yang lebih benar, yang datang dari pihak lain.
Namun demikian, keberpihakan intelektual terhadap kebenaran seringkali mendapat tantangan, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, masyarakat intelektual terbatas, dan dalam arti tertentu, diatur oleh hukum profesionalnya sendiri. Konstruksi pemahaman yang terbentuk terhadap kegiatan intelektual selama ini adalah kerja yang berkaitan dengan menulis (jurnal, surat kabar, majalah, internet) memberi kuliah, dan menerbitkan buku, serta tak lupa berburu gelar dan ijazah. Kegiatan ini kemudian menjadi semacam ideologi yang dirutinkan.
Regulasi internal dan kontrol yang sedemikian ketat, serta di dalamnya mengandung ketentuan apa yang patut dan yang tidak patut, menyebabkan perubahan yang terjadi dalam dunia akademis cenderung lebih konservatif. Sebagaimana tesis Pierre Bourdieu, tentang kehidupan universitas di Prancis yang terangkum dalam Homo Academicus, bahwa untuk sukses di dunia akademis, orang lebih harus menyesuaikan diri daripada menjadi penemu cara-cara baru. Singkatnya, waktu yang seharusnya digunakan untuk mengejar ilmu pengetahuan, justru disita untuk mengejar karir akademis belaka.
Kemudian, secara eksternal, perubahan sosial masyarakat yang dinamis senantiasa diiringi oleh silih bergantinya kekuasaan dalam lingkup kenegaraan. Akibatnya, relasi intelektual dengan kekuasaan seringkali membawa problem yang dilematis. Berbagai momen pergantian kekuasan telah memaksa intelektual untuk menganut dan memasukkan – dalam istilah Julien Benda – gairah-gairah politik ke dalam aktivitas intelektual mereka. Pembungkaman tradisi kekritisan intelektual berlangsung terus-menerus sejalan dengan ritme pergantian kekuasaan. Kondisi ini melahirkan dikotomi antara intelektual murni, yaitu yang terus menerus melakukan hal yang sama, dan intelektual plus-organik yang berhubungan langsung dengan penguasa-penguasa, dan kelas tertentu, yang memanfaatkan mereka untuk memperbesar kontrol dan kekuasaan.[5]
Tak heran, panggilan intelektual sebagai garda otonomi moral akhir-akhir ini terus menemukan relevansinya, terutama di Indonesia. Otonomi moral yang dimaksudkan adalah sikap dan perilaku yang dipimpin oleh hati nurani. Bukan kepentingan penguasa, kelompok atau organisasi, apalagi kepentingan etnis tertentu. Karena otonomi moral inilah, intelektual senantiasa ditarik atau menarik diri dalam dunia birokrasi ataupun pengelolaan pembangunan negara selama ini. Misalnya dengan menjadi menteri ataupun staf ahli pemerintahan. Pertanyaannya adalah, ketika modal, kekuasaan, dan negara menjadi bagian dari kompetisi intelektual, mungkinkah para intelektual tersebut mempertahankan otonomi moral dan komitmennya terhadap kebenaran ilmu pengetahuan? Atau akankah intelektual hanya sekedar sebagai alat?
INTELEKTUAL DAN KEKUASAAN
Ruang yang telah diubah kaum intelektual menjadi kekuasaan, memungkinkan dan merangsang pertarungan dengan kekuatan lain yang menghasilkan political discourse untuk terus menerus direproduksi, dipertarungkan, dihancurkan, dan kemudian dibentuk diskursus baru lagi secara sosial dan politik.[6] Dengan demikian, di saat bangsa kita berada dalam jeratan neo-liberalisme yang berhasil menghancurkan semua bentuk struktur kolektif dengan logika pasarnya, kita terus menerus menyaksikan proses dehumanisasi dan pemiskinan terjadi di dalam masyarakat. Di sisi lain, otonomi moral intelektual sebagai hati nurani bangsa, terus bergulat mempertahankan kebenaran ilmu pengetahuan melawan kekuasaan dan modal.
Tabir yang menyelimuti selingkuh antara pengetahuan dan kekuasaan terkuak saat kita membaca Michel Foucault, khususnya tema “kebenaran” sebagai konsep yang selalu diidentikkan dengan tujuan mulia intelektual dalam menghasilkan pengetahuan. Fokus tentang kebenaran di sini bukan soal pertanyaan apa itu kebenaran, tetapi bagaimana kebenaran menjadi sebuah politik (politics of truth). Ini hal lumrah jika kekuasaan dipahami tidak dalam makna represif, tetapi sebagai jaringan produktif yang mengalir di sela-sela relasi sosial seperti dijelaskan Foucault. Melalui jaringan ini kelompok intelektual memainkan kekuasaan dengan dinamis, lewat pengetahuan yang dihasilkannya dalam berbagai wujud. Pada titik ini kita sampai pada kesimpulan, intelektual adalah ruang produksi pengetahuan yang sarat kepentingan dan bias-bias sosial, politik, dan budaya. Intelektual bukanlah seorang malaikat yang selalu berpijak pada “kebenaran”, karena “kebenaran” sendiri adalah konstruksi politik. Ilmu pengetahuan adalah hasil kesepakatan. Dengan cara pandang ini, intelektual sebenarnya tidak pernah berkhianat. Sebab dia senantiasa berada dalam wilayah wacana kekuasaan yang tidak mengenal konsep pengkhianatan[7].
Implikasi dari pemahaman tersebut, tema pemihakan intelektual kepada rakyat menjadi kurang atau tidak relevan. Pertama, karena tuntutan pemihakan ini memberi stigma inferior pada rakyat dan menafikan kemungkinan potensi intelektual dan kecendekiawanan yang ada pada rakyat. Kedua, yang lebih penting, justru tema-tema “pemihakan” harus dicermati karena dapat dengan mudah dimanipulasi untuk melegitimasi kekuasaan.
Fenomena terlibatnya kaum intelektual di pusaran kekuasaan juga tidak perlu digusarkan. Sebab, masyarakat telah sedemikian kompleks, konsekuensinya lahan garap intelektual juga semakin luas. Kompleksitas masyarakat melahirkan pandangan yang mendukung beragam gerakan sosial (sipil, politik, lingkungan, ekonomi, budaya, gender). Pilihan Intelektual untuk bekerja di sektor Non Goverment Organization atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah konsekuensi dari arus demokratisasi yang menuntut kesadaran dan keterbukaan berbagai lapisan kelas sosial masyarakat. Kehadiran intelektual di sana diharapkan mampu membangun kesadaran transformatif dari kelompok masyarakat, untuk bergabung dengan gerakan civil society mewujudkan kemandirian dan menghapus berbagai macam ketidakadilan.
MORALITAS INTELEKTUAL : SEBUAH GERAKAN
Namun demikian, hambatan utama justru datang dari institusi pendidikan tinggi yang seharusnya mencetak intelektual-intelektual hati nurani bangsa. PT ternyata hanya mampu menjadi pengabdi kapitalisme. Sama seperti ketika mengharap otonomi moral intelektual yang berada di kekuasaan, rasanya sulit pula mengharap lahirnya intelektual dengan kesadaran transformatif dari pendidikan tinggi yang demikian kapitalistik. Jalan tengah yang bisa diambil dalam mendamaikan intelektual dari pergulatan kekuasaan, modal, dan otonomi moral adalah dengan konsep free-floating intelligentsia, dari Karl Manheim. Ia menyatakan bahwa intelektual seharusnya adalah mereka yang berada pada lapisan sosial yang relatif bebas dari kepentingan kelas ekonomi tertentu dan mampu bertindak sebagai kekuatan politik kreatif dalam masyarakat modern. Intelektual memiliki tugas sejarah, memberi cermin kepada publik agar dapat merefleksi diri, sehingga dapat memilih jalan dan cara yang tepat bagi tindakannya. Netral namun tidak terasing. Independen, namun bukan berarti tidak menjalin hubungan dengan institusi sosial yang lain, termasuk negara dan modal asing.
Pernyataan di atas sepertinya paralel dengan tesis Paul Jhonson, jurnalis dan sastrawan Kristen konservatif dalam bukunya Intellectual yang terbit pertama kali 1988. Menurutnya, sebuah insttusi yang baik saja, belum tentu mampu mencetak rang-orang baik. Apalagi yang terjadi lebih parah dari itu: orang-orang yang bermoral buruk tentu saja tidak akan memimpin manusia ke tempat yang lebih baik. Betapapun hebat pemikirannya, betapapun kuat rasionalitasnya. Sebab, selain memiliki potensi berpikir yang besar, manusia adalah makhluk yang juga mengalami evolusi perilaku dengan cara keteladanan.[8]
Kaum intelektual, seperti diungkapkan Jakoeb Oetama, harus merumuskan sesuatu untuk menjadi feasible dan lebih workable serta lebih bermakna dan berdampak pada relasinya dengan kekuasaan, modal, kebudayaan dan juga pada sosoknya yang lain yakni sosok masyarakat. Bangkitnya lagi suatu keharusan membangun dan mengembangkan masyarakat madani, membuka peluang yang lebih cocok bagi kaum intelektual untuk mendekatkan pemikiran dan analisisnya ke masyarakat. Untuk menjaga moralitas ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh intelektual, diperlukan gerakan menempatkan moral diatas ilmu.
Gerakan ini setidaknya harus dijalankan secara sistemik dan kultural oleh pendidikan tinggi. Sekurang-kurangnya PT harus memfokuskan perhatian pada empat hal. Pertama, mengupayakan para intelektual tetap berdiri dan bertindak sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan inovasi pemberdayaan masyarakat. Kedua, penjaga integritas setiap ilmuwan dan cendekiawan agar tetap bertindak sebagai pelopor pengembangan ilmu pencerahan.
Ketiga, mengingatkan kembali pentingnya moral dan memperluas koridornya dalam gerak langkah pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, gerakan ini akan memberikan perhatian khusus pada cakupan pembicaraan moral, bukan hanya bersifat horizontal antara ilmuwan/cendekiawan dengan manusia lain atau masyarakat lainnya, tetapi juga bersifat vertikal, kepada Tuhan dan Agamanya.
ME-WIHDATUL WUJUD-KAN MORAL INTELEKTUAL
Dari berbagai paparan di atas, muncul sebuah sintesa awal yang barangkali bisa dijadikan pijakan alternativ di tengah pergulatan moral-intelektual, yakni dengan me-wihdatul-wujud-kan nilai-nilai moralitas dengan fungsi intelektual. Dengan begitu diharapkan mampu menjadi jembatan yang menyelaraskan nilai-nilai moralitas dengan komitmen intelektual dalam menjalani kehidupan.[9]
Menurut para filosof etika Muslim, tujuan dari etika adalah memperoleh kebahagiaan,[10] seperti tercermin dalam karya al-Farabi, Tahshil al-Sa‘adah. Mengkaitkan etika dengan kebahagiaan merupakan hal yang penting, karena setiap orang mengenyam kebahagiaan, dan etika bisa membawanya menuju kebahagiaan. Etika terkait dengan masalah baik dan buruk, benar dan salah. Etika ingin agar manusia menjadi baik, karena hanya dengan menjadi baiklah seseorang akan menjadi bahagia. Alasannya, orang baik adalah orang yang sehat mentalnya, dan orang sehat mentalnya bisa mengenyam pelbagai macam kebahagiaan rohani. Sama halnya, orang yang sehat fisiknya bisa mengenyam segala macam kesenangan jasmaninya, seperti merasakan pelbagai macam rasa makanan atau minuman yang disantapnya. Terkadang kita mengalami “mati rasa”, tidak bisa membedakan rasa manis, asin atau pahit ketika kita flu atau menderita penyakit sejenisnya. Itu terjadi karena fisik kita sakit.
Sebaliknya, bila fisik kita sehat, maka bukan saja kita bisa membedakan aneka rasa, bahkan dapat membedakan tingkat rasa, seperti kemanisan, kurang manis, atau tidak manis. Demikian pula, kalau jiwa kita sakit, misalnya ketika kita mengidap penyakit iri. Kita yang biasanya merasa bahagia dengan penghasilan kita yang biasa, tiba-tiba, karena rasa iri, kita tidak merasa bahagia kala tetangga kita lebih beruntung dari kita. Jadi, dalam hal ini penyakit iri (hasad) bisa menghapus rasa bahagia yang selama ini kita rasakan. Dengan ilustrasi di atas, mudah-mudahan menjadi jelas betapa kalau jiwa kita sehat ––dengan kata lain kita baik dan berakhlaq karimah–– maka kita akan merasakan dan mencapai kebahagiaan yang kita dambakan.
Sementara itu, ilmu dan rasionalitas juga memainkan peranan penting dalam etika, terutama dalam upaya kita mencapai kebahagiaan. Rasionalitas atau “akal” menempati posisi yang krusial dalam etika Islam. Nashir al-Din al-Thusi (w.1274), menyebut rasionalitas sebagai kesempurnaan (entelechy) manusia. Dalam rasionalitas terdapat perbedaan esensial antara manusia dan hewan;[11] dan rasionalitas jualah yang dapat menghantar manusia menuju kebahagiaan. Adalah keliru, menurut Miskawayh (w.1030), untuk berasumsi bahwa manusia bisa memperoleh kebahagiaan dan kebaikan tanpa memperhatikan fakultas kognitif, mengesampingkan prinsip rasionalitas (akal), dan berpuas diri dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan akal.[12]
Akal biasanya hanya dipandang memiliki fungsi kognitif belaka. Tetapi, menurut visi etika yang benar (seimbang), akal atau rasionalitas manusia juga punya fungsi manajerial (tadbir). Dengan fungsi kognitifnya, akal mampu membangun ilmu pengetahuan teoritis yang sangat diperlukan untuk menerangi jalan hidup manusia. Tetapi, akal juga mempunyai fungsi mengatur. Al-Razi (w. 925), dalam bukunya al-Thibb al-Ruhani (Pengobatan Rohani), mengatakan bahwa “akal bukan saja merupakan daya yang memungkinkan seseorang memahami dunia sekelilingnya (memiliki ilmu pengetahuan), tetapi juga merupakan “prinsip yang mengatur” pada jiwa, yang berkat keunggulannya dapat menjamin terkekangnya hawa nafsu dan penyempurnaan akhlak.”[13]
Nafsu yang mampu dikekang keekstrimannya oleh keunggulan akal —atau yang dalam termonologi psikologi modern disebut mental faculties—terdiri dari tiga: (1) al-nafs al-syahwiyah (nafsu sahwat); (2) al-nafs al-ghadlabiyah (nafsu kemarahan) dan (3) al-nafs al-nuthqiyah (nafsu rasional). Para pemikir etika Muslim percaya bahwa kebahagiaan atau kesempurnaan bisa dirasakan ketika terjadi keseimbangan (equilibrium) di antara ketiga fakultas (al-nafs) tersebut. Tetapi, karena keseimbangan ini baru bisa tercapai, bila akal telah melaksanakan peran “manajerial”nya, yakni telah melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap nafsu-nafsu manusia, maka akal atau prinsip rasionalitas ini merupakan syarat yang paling fundamental bagi tercapainya tujuan etika yaitu “kebahagiaan” atau yang sering juga disebut “kesempurnaan” manusia.
Kini, kita beralih menuju ilmu dan kaitannya dengan etika. Etika, menurut para filosof Muslim, merupakan salah satu bagian filsafat praktis, seperti halnya ekonomi dan politik.[14] Sebagai ilmu praktis, etika merupakan aplikasi dari ilmu-ilmu teoritis atau yang biasanya kita sebut ilmu pengetahuan (‘ilm). Dikatakan bahwa ilmu berkenaan dengan pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya (obyektif), sementara filsafat praktis (termasuk etika) berkenaan dengan pengetahuan tentang tindakan-tindakan voluntir, sejauh mereka mendorong tercapainya kebahagiaan manusia.
Dengan bentuk yang sederhana, hubungan ilmu dan etika (‘amal) dapat dianalogikan dengan relasi mutualistik antara “pelita” dan pejalan kaki. Ilmu, kata Nabi, adalah cahaya (al-‘ilm nur) dan tentunya seredup apapun, cahaya sangat diperlukan oleh pejalan kaki yang sedang melakukan perjalanan tertentu di malam hari yang gelap. Sebagaimana cahaya bisa membuat bagian-bagian yang gelap dan remang-remang menjadi terang, dapat dilihat dengan jelas. Demikian juga, ilmu dapat menerangi jalan yang sedang ditempuh oleh si pejalan kaki. Dengannya si pejalan kaki dapat mengetahui lubang-lubang atau jurang yang dijumpai dalam perjalanannya, sehingga ia dapat menghindari, supaya tidak terjerembab dan selamat sampai tujuan. Tetapi, kalau cahaya rembulan saja tidak diperolehnya, kunang-kunang pun tidak menunjukkan jalan, sedangkan malam sedang selap gulita, maka siapa yang akan menjamin bahwa ia akan sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Kedua aspek ini, yaitu intelektualitas (‘ilm) dan moral ethic (amal) tak dapat dipisahkan dalam Islam, orang yang mempunyai kapabelitas tinggi dalam keilmuan belum tentu akan membikin ia menjadi baik, jika ia tidak dipergunakan (al-‘ilm bila ‘amal), begitu pula sebaliknya ia tidak akan bisa mengetahui dan mencapai hakikat moral ethic (‘amal) tanpa mengetahui ilmunya. Jadi seharusnya ilmu dan amal dalam Islam adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Karena kebenaran kognitif akan kurang berarti tanpa pencapaiannya dalam segi afeksi dan psikomotorik[15]. Sekalipun si pejalan kaki memiliki senter, tetapi kalau tidak digunakan, maka keberadaan senter (simbol ilmu) tersebut tidak ada gunanya. Itulah barangkali mengapa Nabi kita mengatakan bahwa ilmu yang tidak diamalkan, tidak ada gunanya, seperti pohon yang tidak berbuah.[16] Demikian juga, amal saja tanpa ilmu, tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan. Karenanya al-Farabi (w. 950) mengatakan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai ketika terjadi perpaduan antara ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis, dengan kata lain antara ilmu dan amal. Pernyataan ini sekaligus merupakan kritik al-Farabi terhadap Aristoteles yang percaya bahwa ilmu dapat membawa manusia menuju kebahagiaan.
PENUTUP
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa urgensi moralitas dalam konstelasi kehidupan beragama, bergangsa dan bernegara menampati posisi paling strategis dalam membangun masyarakat yang dinamis dan religus. Salah satu karakter utama intelektual adalah komitmennya terhadap proyek rekonstruksi (membangun kembali) atau rethinkhing (pemikiran kembali) segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat dan peradaban. Terutama apabila dehumanisasi semakin kentara dalam masyarakat. Karena itu, intelektual selalu akrab dengan perubahan dan sekaligus terlahir sebagai motor penggerak perubahan itu sendiri. Sementara itu, apabila masa transisi atau “masa yang baru” tiba, intelektual juga diharapkan konsisiten dengan kejujuran, keintelektualan, keyakinan, dan kekritisan tersebut.
Moralitas pada dasarnya memiliki visi universal dan seharusnya bisa diaplikasikan bagi segenap manusia di setiap tempat dan waktu. Dengan demikian, penegakan moral merupakan kebutuhan yang sangat krusial dalam rangka mengawal transisi bangsa, hingga tetap dalam jati dirinya sebagai bangsa yang religius dan berbudaya. Berpijak pula pada pandangan Hegel dan Thomas Hobbes, maka negara sebagai pemegang kekuasaan penuh, juga harus menegakkan supremasi hukum bagi setiap pelanggaran moral, termasuk budaya korupsi di segala sendi kehidupan kebangsaan yang menjadi musuh bangsa bersama. Dengan begitu, menciptakan komunitas intelektual yang santun, radikal dan kritis adalah hal yang sangat penting. Sehingga, gerakan masyarakat sipil menjadi lebih berhati nurani dan bermakna bagi seluruh bangsa.
Langkah yang bisa ditempuh, sebagaimana telah dipaparkan penulis di atas, salah satunya adalah dengan memposisikan moralitas dan intelektualitas sebagai dua entitas yang kompromistis, integratif alias tawhidi. Sehingga yang terjadi adalah keseimbangan antara dimensi epistemologis dan aksiologisnya. Paradigma yang terbagun di tubuh kaum intelektual adalah pemberdayaan masyarakat dengan nilai-nilai moralitas, bukan dengan pemanfaatan masyarakat dengan kedok intelektualitas. Begitulah barangkali yang dapat digambarkan, bagimana pentingnya me-wihdatul wujud-kan moral-intelektual di tengah masyarakat, utamanya kaum intelektual secara massif dan proporsional.
DAFTAR PUSTAKA
al-Razi, Muhammad bin Zakaria. 1995. Pengobatan Rohani. Bandung: Mizan.
Dakhidae, Daniel. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Januari: Gramedia Pustaka Utama.
Djuraid, Dhimam Abror. 2007. Globalisasi, Modernisasi, Hibridasi: Catatan Mingguan Seorang Wartawan. Cetakan 1, Maret. Surabaya: Pustaka Eureka.
Edward W. Said. 1993. Representations of the Intellectual: The 1993 Reith Lectures. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Peran Kaum Intelektual, Perpustakaan Freedom..
Hilmy, Masdar. 2008. Islam Profetk: Substansiasi Niali-nilai Agama dalam Ruang Publik. Cet-1. Yogjakarta: IMPULSE.
Kertanegara, Mulyadi. Membangun Karakter Keilmuan IAIN, dipubilkasikan di: http://www.ditpertais.net/artikel/mulyadi01.asp
Majid Fachry. 1991. Ethical Theories in Islam. Leiden: E.J. Bill.
Muzakki, Akh. Ulama’ dan Fungsi Intelektual Organik dalam Harian Republika, Jumat 30 Januari 2009
Nurdi, Herry. Moralitas Para Pemikir Barat dalam Jurnal ISLAMIA Vol. III No. 2, Rubrik Resensi.
Santoso, Listiyono. 2007. Epistemologi Kiri: Seri Pemikiran Tokoh. dalam Parchiano, Novella. Sejarah Pengetahuan Michel Foucault. Cetakan-V, Desember. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Soleh, A. Khudari. 2004. Wacan Baru Filsafat Islam. dalam Keatuan Realitas: Pemikiran Ibnu Arabi. Cetakan-1, Februari. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thusi, Nashir al-Din. 1964. The Nasirean Ethics, terj. G. M. Wickens. London: George Allen dan Unwin Ltd.
Internet :
http://www.ditpertais.net/artikel/mulyadi01.asp (dupdate tanggal 18 Februari 2008. 9:34 WIB.)
http://id.wikipedia.org/wiki/Vaclav_Havel (diupdate tanggal 18 Februari 2008. 10:15 WIB)
Catatan Kaki:
________________________________________
[1] Havel adalah pendiri Charta 77, organisasi anti-komunisme di Cekoslowakia. Setelah Revolusi Beludru, yang menandai jatuhnya komunisme di Cekoslowakia pada 1989, ia menjadi pemimpin partai demokrasi Občanské fórum. Pada 1989 ia menjadi Presiden Cekoslowakia berikutnya dan pada 1993 menjadi Presiden Ceko yang perama – sebuah jabatan yang dipegangnya hingga 2003 saat beralih ke tangan Vaclav Klaus. Selengkapnya, lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Vaclav_Havel
[2] Akh Muzakki. Ulama’ dan Fungsi Intelektual Organik dalam Harian Republika, Jumat 30 Januari 2009
[3] Masdar Hilmy, Islam Profetk: Substansiasi Niali-nilai Agama dalam Ruang Publik. Cet-1. Yogjakarta: IMPULSE. 2008. 8.
[4] Dhimam Abror Djuraid, “Korupsi” dalam Globalisasi, Modernisasi, Hibridasi: Catatan Mingguan Seorang Wartawan. Cetakan 1, Maret. Surabaya: Pustaka Eureka. 2007. 157-158
[5] Selengkapnya, lihat: Edward W. Said, Representations of the Intellectual: The 1993 Reith Lectures. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Peran Kaum Intelektual, Perpustakaan Freedom. 1993.
[6] Lihat, Daniel Dakhidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Januari: Gramedia Pustaka Utama. 2003
[7] Untuk membaca pemikiran Michel Foucault, lihat Novella Parchiano, Sejarah Pengetahuan Michel Foucault dalam Listiyono Santoso (Ed.) Epistemologi Kiri: Seri Pemikiran Tokoh. Cetakan-V, Desember, Yogyakarta: Ar-Ruz Media. 2007. 163
[8] Lihat Herry Nurdi, Moralitas Para Pemikir Barat dalam ISLAMIA Vol. III No. 2, Rubrik Resensi. 97
[9] Tentang Wihdatul Wujud, bisa dibaca di: A. Khudari Soleh, Keatuan Realitas: Pemikiran Ibnu Arabi dalam Wacan Baru Filsafat Islam. Cetakan-1, Februari. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.148
[10] Mulyadi Kertanegara, Membangun Karakter Keilmuan IAIN, dipubilkasikan di: http://www.ditpertais.net/artikel/mulyadi01.asp
[11] Nashir al-Din Thusi, The Nasirean Ethics, terj. G. M. Wickens. London: George Allen dan Unwin Ltd. 1964. 49.
[12] Majid Fachry, Ethical Theories in Islam. Leiden: E.J. Bill. 1991. 120.
[13] Muhammad bin Zakaria al-Razi, Pengobatan Rohani. Bandung: Mizan.1995. 30.
[14] Nashir al-Din Thusi, Nasirean Etics, 28.
[15] Merujuk pada teori Bloom tentang tiga aspek pencapaian dalam pendidikan.
[16] Hadits tersebut berbunyi: “al-Ilm bila ‘amal ka al-Syajar bila Tsamar” (ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah).

0 komentar:

Posting Komentar