Senin, 18 Juni 2012

PERAN SERTIFIKASI DALAM MENINGKATKAN
PROFESIONALISME GURU

Oleh:

Dr. H. Endang Komara, M.Si. (Pembantu Ketua Bidang Akademik dan Ketua Program Magister Pendidikan IPS di STKIP Pasundan Cimahi)


Abstract

Republic of Indonesia constituent No.14, 2005 about Teacher and Lecturer presented the basis for them to get their rights as profession developer, it’s a guaranteed protection for them to covered by in humanity action by students and its sponsor, and society.
Teacher profession as a function to increase teacher prestige as a agent to increase the national education quality. While, the lecturer existence to be a profession that would be increasing the prestige of lecturer to develop science, technology and art for increasing the national education quality.
Thereby, the existence of teacher and lecturer profession will be as the implementer for system and realize the target of national education, it will be expected to get the students that religious human being to God, healthy, intellectual, capable, creative, self-supporting, and also become democratic citizen and responsible.
Certification is a process for giving the certificate to teacher and lecturer, and its as formal confession for teacher and professional education.

Key words: Guarantee of law, educator certificated, increasing the education and profession quality.

I. Pendahuluan

Agar para guru Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas memperoleh sertifikat pendidik, pemerintah akan mewajibkan para guru mengikuti uji kompetensi. Karena dengan diperolehnya sertifikat pendidik para guru yang sudah memiliki kualifikasi akademik, yaitu berijazah S-1 atau memiliki Akta IV itu dinyatakan sebagai guru profesional.
Menurut Undang-Undang Republik Imdonesia Nomor 20 Tahun 2003 Bab XVI Pasal 61 ayat (3) sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
Sebagai penghargaannya pemerintah akan memberikan tunjangan profesi setara gaji pokok (Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen). Dengan demikian, uji kompetensi ini memiliki peran yang sangat penting karena akan menjadi pintu masuk yang menentukan seseorang guru itu profesional atau tidak dengan segala implikasinya.
Menurut McAshan (1981:45) mengemukakan bahwa kompetensi itu adalah:
‘’… A knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which became part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, effective, and psychomotor behaviors’’
Menurut McAshan, kompetensi itu adalah suatu pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan atau kapabilitas yang dimiliki oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga mewarnai perilaku kognitif, afektif, dan psikomotoriknya. Dari pendapat tersebut di atas, maka jelas suatu kompetensi harus didukung oleh pengetahuan, sikap, dan apresiasi. Artinya, tanpa pengetahuan dan sikap tidak mungkin muncul suatu kompetensi tertentu.
Selama ini ada yang beranggapan bahwa mengajar bukanlah pekerjaan profesional. Hal ini disebabkan setiap orang bisa mengajar. Siapa pun bisa menjadi guru, asal saja ia menguasai materi pelajaran yang akan disampaikan kepada orang lain. Ada seseorang, walaupun ia tidak memahami ilmu keguruan, mereka dianggap sebagai guru. Apakah benar demikian? Apabila mengajar dianggap hanya sekadar proses penyampaian informasi, tentu saja pendapat tersebut ada benarnya. Konsep mengajar yang demikian, tuntutannya sangat sederhana, asal paham informasi yang harus diberikan pada siswa, maka ia dapat menjadi guru. Tapi mengajar tidak sesederhana itu. Tugas mengajar bukan hanya sekadar menyampaikan informasi, akan tetapi suatu proses mengubah perilaku siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, dalama proses mengajar, terdapat kegiatan membimbing siswa agar berkembang sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya, malatih keterampilan baik keterampilan intelekstual maupun keterampilan motorik sehingga siswa dapat hidup dalam masyarakat yang cepat berubah dan penuh persaingan, memotivasi siswa agar tetap semangat menghadapi berbagai tantangan dan rintangan, kemampuan merancang dan menggunakan berbagai media dan sumber belajar untuk menambah efektivitas mengajarnya, dan lain sebagainya. Dengan demikian seorang guru perlu memiliki kemampuan khusus, kemampuan yang tidak mungkin dimiliki oleh orang yang bukan guru. Menurut James M. Cooper (1990:2) mengemukakan bahwa: ‘’A teacher is aperson charged with the responsibility of helping others to learn and to behave in new and different ways’’. Oleh karena guru perlu memiliki kemampuan-kemampuan itulah, maka guru merupakan jabatan profesional, yakni jabatan yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu.

II. Kajian Teoritis
A. Peran Sertifikasi Guru
Landasan yuridis diberilakukan sertifikasi guru dan dosen antara lain: (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (2) peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; (3) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; (4) Draff Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang rencananya Oktober 2006 akan segera diberlakukan bahkan menurut Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas Dr. Fasla Djalal, Ph. D. (Pikiran Rakyat, 6 Oktober 2006 hal. 12) mengatakan bahwa: ‘’Awal Januari 2007 take home pay guru Minimal 3 juta”.
Tujuan sertifikasi dijelaskan oleh Samani (2006:10) adalah untuk menentukan tingkat kelayakan seseorang guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah dan sekaligus memberikan sertifikat pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan dan lulus uji sertifikasi. Dengan kata lain tujuan sertifikasi untuk meningkatkan mutu dan menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Menurut Fajar (2006: 3-4) manfaat uji sertifikasi guru dalam kerangka makro upaya peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan sebagai berikut: (1) melindungi profesi guru dari praktik-praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi guru itu sendiri; (2) melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional yang akan dapat menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumber daya manusia di negeri ini; (3) menjadi wahana penjaminan mutu bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan; (4) menjaga lembaga penyelenggaran pendidikan dari keinginan internal dan tekanan eksternal yang potensial dapat menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku; (5) memperoleh tunjangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi.
Prinsip-prinsip profesionalitas menurut UU No. 14/2005 Pasal 7 (1) antara lain: (a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme; (2) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia; (3) memiliki kualitas akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; (4) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (5) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas profesionalitas; (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (8) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan (9) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Pemberdayaan profesi guru/dosen menurut UU No. 14/2005 pasal 7 (2) diselenggarkan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.
Peranan sertifikasi menurut fajar (2006:8-10) yakni guru/dosen lebih memahami hak dan kewajibannya dalam (UU No. 14/2005 pasal 14 ayat 1 antara lain: (1) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; (2) mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; (3) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; (4) memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi; (5) memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan; (6) memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan; (7) memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas; (8) memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi; (9) memiliki kesempatan untuk berperan dalam menentukan kebijakan pendidikan; (10) memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau (11) memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
Draff RPP membahas mengenai penghargaan, perlindungan, dan cuti guru; sistem remunerasi guru; pengangkatan, pembinaan dan pengembangan guru; kompetensi, pendidikan profesi, dan sertifikasi guru; pengelolaan guru daerah khusus.
Draff RPP tentang penghargaan, perlindungan dan cuti guru menurut pasal 2 bahwa guru memiliki hak yang sama untuk mendapatkan penghargaan. Pasal 3 (1) guru yang mendapatkan penghargaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 adalah guru berprestasi, prestasi luar biasa, berdedikasi luar biasa, dan atau bertugas di daerah khusus. Pasal 4 (1) guru yang gugur dalam melaksanakan tugas pendidikan dan pembelajaran di daerah khusus memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pengargaaan. Pasal 8 guru berhak atas perlindungan hukum yang meliputi: tindak kekerasan, ancaman, perlakukan diskriminatif, intimidasi, perlakuan tidak adil dari serdik-ortu serdik-masyarakat-birokrasi-atau pihak lain. Pasal 10 guru berhak atas perlindungan profesi yang meliputi: pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang menghambat pelaksanaan tugas. Pasal 14 mengenai cuti antara lain: setiap guru berhak untuk memperoleh cuti; waktu 12 hari kerja (selama tidak mengganggu proses pembelajaran secara keseluruhan); cuti studi.
Draff RPP tentang sistem remunerasi guru yang meliputi bagian kesatu penghasilan guru; bagian kedua gaji pokok; bagian ketiga tunjangan profesi; bagian keempat tunjangan fungsional dan tunjangan khusus; bagian kelima maslahat tambahan. Penghasilan menurut UU No. 14/2005 pasal 15 meliputi: gaji pokok; tunjangan yang melekat pada gaji; penghasilan lain berupa: tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru berdasarkan prestasi. Tunjangan profesi RPP tentang sistem remunerasi guru pasal 7, 8, 9 antara lain: (1) Diberikan kepada guru yang diangkat pemerintah, pemda, atau masyarakat (satuan pendidikan) yang memiliki sertifikat pendidik; (2) setara dengan 1 x gaji pokok dengan ketentuan sebagai berikut: 0-4 tahun setara golongan III/a; 5-8 tahun setara golongan III/b; 9-12 tahun setara golongan III/c; 13-16 tahun setara golongan III/d; 17 tahun lebih setara golongan IV/a.
Tunjangan fungsional menurut RPP tentang Remunerasi Guru pasal 10 antara lain diberikan kepada guru yang diangkat pemerintah dan pemda sebesar 50% dari gaji pokok; dan diberikan kepada guru yang diangkat masyarakat (satuan pendidikan) sebesar 25%. Tunjangan khusus menurut pasal 11 dan 12 antara lain diberikan kepada guru yang bertugas di daerah khusus dan berhak atas rumah dinas yang disediakan pemda selama bertugas. Maslahat tambahan menurut pasal 13 antara lain: tunjangan pendidikan; asuransi pendidikan; bea siswa; penghargaan; kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra-putrinya; pelayanan kesehatan-asuransi kesehatan; dan bentuk kesejahteraan lainnya.
Darff RPP tentang pengangkatan, pembinaan, dan pengembangan guru antara lain: pembinaan dan pengembangan profesi dan karier; pembinaan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional; melalui pelatihan, pendidikan lanjutan, program magang, penugasan dalam jabatan, rotasi kerja, penelitian, kelompok belajar, belajar berprogram, belajar mandiri, dan metode lain yang sesuai.
Pengangkatan dilakukan oleh pemerintah atau pemda berdasarkan peraturan perundang-undangan, kebutuhan baik nasional maupun daerah; dilakukan secara demokratis, transparan dan akuntabel; guru yang diangkat pemerintah atau pemda dapat ditempatkan pada jabatan struktural berdasarkan prestasi kerja, kebutuhan, keahlian dan formasi.
Pemindahan antara lain guru yang diangkat pemerintah atau pemda dapat dilakukan atau provinsi/kabupaten/kota/kecamatan/satuan pendidikan; berdasarkan kebutuhan baik nasional maupun daerah; guru yang diangkat masyarakat (satuan pendidikan) berdasarkan kesepakatan kerja.
Draf RPP tentang kompetensi, pendidikan profesi dan sertifikasi guru. Cakupan kompetensi meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Kompetensi pedagogik antara lain memahami peserta didik, merancang pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran dan mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian: (1) mantap dan stabil, bertindak sesuai dengan norma hukum, norma sosial, bangga sebagai pendidik, konsisten dalam bertindak; (2) dewasa, menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja; (3) arif, menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat dan menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak; (4) berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan disegani; (5) berakhlak mulia dan menjadi teladan bagi peserta didik.
Kompetensi profesional yakni menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi; menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk menambah wawasan dan memperdalam pengetahuan/materi bidang studi. Kompetensi sosial antara lain mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik; mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan; mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.

B. Profesionalisme Guru
Guru profesional adalah guru yang mampu menerapkan hubungan yang berbentuk multidimensional. Guru yang demikian adalah guru yang secara internal memenuhi kriteria administratif, akademis dan kepribadian. Menurut Muhamad Nurdin (2004:20) persyaratan guru yang profesional adalah sehat jasmani dan rohani, bertakwa, berilmu pengetahuan, berlaku adil, berwibawa, ikhlas, mempunyai tujuan, mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan serta menguasai bidang yang ditekuninya.
Kesembilan syarat penting bagi guru profesional ini secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu persyaratan administratif, akademis dan kepribadian. Persyaratan administratif adalah persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang guru yang ingin menjadi profesional dalam kaitannya dengan persyaratan legal formal. Di Indonesia, persyaratan yang demikian ini (khususnya bagi lembaga pendidikan formal) menjadi sangat menentukan. Bahkan kualitas seseorang dapat dilihat dari ijazah serta sertifikat keilmuan yang dimilikinya. Dalam konteks keindonesiaan, persyaratan administratif merupakan alah satu persyaratan yang sangat penting. Persyaratan akademis adalah persyaratan yang harus dimiliki seorang guru yang ingin menjadi profesional dalam kaitannya dengan kapabilitas dan kualitas intelektual. Persyaratan akademis juga merupakan syarat yang sangat penting bagi seorang guru profesional. Persyaratan ini sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan yang dilaksanakannya. Kesuksesan pendidikan bukan hanya menjadi beban dan tanggung jawab murid sebagai pencari ilmu, akan tetapi justru gurulah yang memegang peran dominan. Karena jika guru secara akademis sudah tidak memadai, maka dengan sendirinya keterampilan untuk mengajar, kemampuan penguasaan materi pengajaran, dan bagaimana mengevaluasi keberhasilan murid tidak dimiliki secara akurat dan benar. Hal ini jelas sangat merugikan proses pendidikan yang bukan hanya berakibat fatal bagi seorang murid, melainkan bagi seluruh murid atau bahkan seluruh stakeholder pendidikan.
Persyaratan kepribadian adalah persyaratan yang harus dimiliki guru yang ingin menjadi profesional dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Guru adalah seseorang yang harus digugu dan ditiru, khususnya oleh murid. Sebagai seseorang yang harus digugu dan ditiru, dengan sendirinya mensyaratkan secara internal bahwa seorang guru harus memiliki kepribadian dan perilaku yang baik. Dalam hal ini bukan hanya dalam kaitannya dengan tradisi, kesopanan, dan unggah-unggah di masyarakat setempat, akan tetapi juga nilai-nilai keagamaan. Sebagai seorang guru yang profesional tidak ada alasan lain kecuali berakhlak yang mulia, baik dalam kaitannya dengan orang lain (murid dan masyarakat), diri sendiri, lingkungan (alam sekitar), dan tentunya dengan Allah swt. Berakhlak baik dengan Allah belum menjadi jaminan bahwa seoran guru telah berakhlak mulia dengan masyarakat, dengan dirinya atau dengan lingkungan. Demikian juga sebaliknya, berakhlak baik dengan dirinya belum tentu menjadi jaminan berakhlak mulia dengan lingkungan, masyarakat dan Allah swt.
Menurut Tatty S.B. Amran (1994:139) untuk mengembangkan profesional diperlukan KASAH adalah akronim dari Knowledge (pengetahuan), Ability (kemampuan), Skill (keterampilan), Attitude (sikap diri), dan Habit (kebiasaan diri). Menurut Muhammad Hatta (1954:5), yang dimaksud pengetahuan adalah sesuatu yang didapat dari membaca dan pengalaman. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan (analisis).
Pengetahuan menurut Saefudin Ansari (1991:45) dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu (1) pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan tentang hal-hal biasa, kejadian sehari-hari, yang selanjutnya disebut pengetahuan; (2) pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang mempunyai sistem dan metode tertentu, yang selanjutnya disebut ilmu pengetahuan; (3) pengetahuan filosofis, yaitu semacam ‘’ilmu’’ istimewa yang mencoba menjawab istilah-istilah yang tidak terjawab oleh ilmu-ilmu biasa, yang sering disebut sebagai filsafat; (4) pengetahuan teologis, yaitu pengetahuan tentang keagamaan, pengetahuan tentang pemberitahuan dari Tuhan.
Dalam pengembangan profesionalisme guru, menambah ilmu pengetahuan adalah hal yang mutlak. Kita harus mempelajari segala macam pengetahuan, akan tetapi kita juga harus mengadakan skala prioritas. Kenapa demikian? Karena dalam menunjang keprofesionalan kita sebagai guru, menambah ilmu pengetahuan tentang keguruan sangat perlu. Namun bukan berarti kita hanya mempelajari satu disiplin ilmu saja. Semakin banyak ilmu pengetahuan yang kita pelajari, semakin banyak pula wawasan kita tentang berbagai ilmu.
Ability (kemampuan) terdiri dari dua unsur, yaitu yang biasa dipelajari dan yang amaliah. Pengetahuan dan keterampilan adalah unsur kemampuan yang biasa dipelajari, sedangkan yang alamiah orang menyebutnya dengan bakat. Jika orang hanya mengandalkan bakat saja tanpa mempelajari dan membiasakan kemampuannya, maka dia tidak akan berkembang. Karena bakat hanya sekian persen saja menuju keberhasilan. Sedangkan orang yang berhasil dalam mengembangkan profesionalisme itu ditunjang oleh ketekunan dalam mempelajari dan mengasah kemampuannya. Oleh karena itu, potensi yang ada pada kita harus terus diasah.
Kemampuan paling dasar yang diperlukan adalah kemampuan dalam mengantisipasi setiap perubahan terjadi. Oleh karena itu, seorang guru yang profesional tentunya tidak ingin ketinggalan dalam percaturan global. Dengan demikian, ia harus mengantisipasi perubahan itu dengan banyak membaca supaya bertambah ilmu pengetahuannya. Menurut Jeannette Vos (2003:87), jika seoran guru ingin bertambah luas pengetahuannya, maka ia harus menggunakan dunia ini sebagai ruang kelasnya. Untuk mengembangkan profesionalisme guru supaya berpengetahuan luas tentunya dibutuhkan kemauan. Seperti sebuah ungkapan, ‘’kalau ada kemauan, pasti ada jalan’’, maka segala sesuatu harus ditunjang terlebih dahulu oleh kemauan keras supaya berhasil.
Keterampilan (skill) merupakan salah satu unsur kemampuan yang dapat dipelajari pada unsur penerapannya. Suatu keterampilan merupakan keahlian yang bermanfaat untuk jangka panjang. Keterampilan merupakan the requisite knowledge and abilityi. Sebetulnya banyak sekali keterampilan yang dibutuhkan dalam pengembangan profesionalisme, tergantung pada jenis pekerjaan masing-masing. Keterampilan mengajar merupakan pengetahuan (knowledge) dan kemampuan (ability) yang diperlukan untuk melaksanakan tugas guru dalam pengajaran. Menurut Nurdin (2004:144-146) bagi seorang guru yang tugasnya mengajar dan peranannya di dalam kelas, keterampilan yang harus dimiliki anatar lain: pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditur, perencana, supervisor, motivator, penanya, evaluator dan konselor. Sedangkan menurut Bafadal (1992:37) keterampilan yang harus dimiliki oelh seorang guru adalah: (1) keterampilan merencanakan pengajaran, (2) keterampilan mengimplementasikan pengajaran, (3) keterampilan menilai pengajaran.
Attitude (sikap diri) seseorang terbentuk oleh suasana lingkungan yang mengitarinya. Seorang anak pasti mulai belajar tentang dirinya melalui lingkungan yang terdekat, yaitu orang tua. Oleh karena itu, masa kecil adalah masa peniruan, di mana setiap gerak gerik yang dilihatnya akan dia tiru. Oleh karena itu, sikap diri perlu dikembangkan (tentunya yang baik). Salah satu contoh bila kita di rumah sangat ramah terhadap keluarga, besar kemungkinan di sekolah pun kita akan bersikap ramah terhadap anak didik dan teman sejawat. Dengan demikian, kita biasa melihat bahwa sikap diri merupakan kepribadian seseorang. Menurut Zuhairini (1991:186) kepribadian adalah hasil dari sebuah proses sepanjang hidup. Kepribadian bukan terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi terbentuk melalui perjuangan hidup yang sangat panjang. Apakah dia berkepribadian muslim, apakah seseorang itu berkepribadian baik atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab, semua itu sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Dengan demikian, faktor pendidikan sangat mempengaruhi kualitas kepribadian seseorang, yang di dalamnya ada guru yang juga mempunyai kepribadian yang baik.
Habit (kebiasaan diri) adalah suatu kegiatan yang terus menerus dilakukan yang tumbuh dari dalam pikiran. Pengembangan kebiasaan diri harus dilandasi dengan kesadaran bahwa usaha tersebut membutuhkan proses yang cukup panjang. Kebiasaan positif di antaranya adalah menyapa dengan ramah, memberi pujian kepada anak didik dengan tulus, menyampaikan rasa simpati, menyampaikan rasa penghargaan kepada kerabat, teman sejawat atau anak didik yang berprestasi dan lain-lain. Menurut AA Gym (2003:156) kebiasaan diri yang harus terus dilakukan di antaranya: beribadah dengan benar dan istiqamah, berakhlak baik, belajar dan berlatih tiada henti, bekerja keras dengan cerdas, bersahaja dalam hidup, bantu sesama dan bersihkan hati selalu.
Itulah beberapa kebiasaan diri yang harus dilakukan. Apabila seorang guru yang menjadi fublic figure di tengah-tengah anak didiknya, sudah barang tentu harus mempunyai kebiasaan yang baik, supaya anak didiknya memberikan penilaian terbaik kepada kita.
Guru sebagai social worker (pekerja sosial) sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Namun, kebutuhan masyarakat akan guru belum seimbang dengan sikap sosial masyarakat terhadap profesi guru. Berbeda bila dibandingkan dengan penghargaan mereka terhadap profesi lain, seperti dokter, pengacara, insinyur, dan sebagainya. Rendahnya pengakuan masyarakat terhadap guru, menurut Tabrani Rusyan (Nurdin, 2004:192), disebabkan beberapa faktor yaitu:
1. Adanya pandangan sebagian masyarakat bahwa siapa pun dapat menjadi guru dapat menjadi guru, asalkan ia berpengetahuan, walaupun tidak mengerti didaktik metodik.
2. Kekurangan tenaga guru di daerah terpencil memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai kewenangan profesional untuk menjadi guru.
3. Banyak tenaga guru sendiri yang belum menghargai profesinya sendiri, apalagi berusaha mengembangkan profesi tersebut. Perasaan rendah diri karena menjadi guru masih menggelayut di hati mereka sehingga mereka melakukan penyalah-gunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadi, yang hanya akan menambah pudar wibawa guru di mata masyarakat.

Berdasarkan pendapat di atas nampak jelas bahwa guru merupakan suatu jabatan atau profesi yang menuntut suatu keahlian khusus. Memang tidak setiap orang bisa menjadi guru, karena harus didukung dengan komponen-komponen yang menunjang profesi tersebut, seperti kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Juga untuk menjadi guru dibutuhkan keahlian khusus, maka ia harus lulus pendidikan keguruan atau pendidikan profesi dan harus lulus ujian sertifikasi, baik ujian tertulis, kinerja maupun portfolio.
Peran guru dalam pembelajaran seperti dijelaskan oleh Dr. Wina Sanjaya, M.Pd. (2005:13) sebagai perencana, peran sebagai pengelola, dan peran guru sebagai evaluator. Peran guru sebagai perencana pembelajaran sangat menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 memberikan peluang kepada guru untuk melaksanakan pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa serta kondisi daerah masing-masing. Oleh karena itu dalam proses penyusunan perencanaan, guru dituntut agar memahami kebutuhan dan kondisi daerah setempat, di samping memahami karakteristik siswa. Melalui pemahaman itu selanjutnya guru mendesain pembelajaran yang sesuai dengan kondisi lapangan dan kebutuhan.
Guru sebagai pengelola pembelajaran tujuannya agar terciptanya kondisi lingkungan belajar yang menyenangkan bagi siswa, sehingga dalam proses pembelajaran siswa tidak merasa terpaksa apalagi tertekan. Oleh karena itulah, peran dan tanggung jawab guru sebagai pengelola pembelajaran (manager of learning) menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, baik iklim sosial maupun iklim psikologis. Iklim sosial yang baik ditunjukkan oleh terciptanya hubungan yang harmonis baik antara guru dan siswa, guru-guru atau antar guru dan pimpinan sekolah; sedang hubungan psikologis ditunjukkan oleh adanya saling kepercayaan dan saling menghormati antarsemua unsur di sekolah. Melalui iklim yang demikian, memungkinkan siswa untuk berkembang secara optimal, terbuka dan demokratis.
Guru sebagai fasilitator, tugas guru adalah membantu untuk mempermudah siswa belajar. Dengan demikian guru perlu memahami karakteristik siswa termasuk gaya belajar, kebutuhan kemampuan dasar yang dimiliki siswa. Melalui pemahaman itu guru dapat melayanidan memfasilitasi setiap siswa. Sebagai seorang fasilitator guru harus menempatkan diri sebagai orang yang memberi pengarahan dan petunjuk agar siswa dapat belajar secara optimal. Dengan demikian yang menjadi sentral kegiatan pembelajaran adalah siswa bukan guru. Guru tidak berperan sebagai sumber belajar yang dianggap serba bisa dan serba tahu segala macam hal.
Guru sebagai seorang evaluator tidak kalah pentingnya dengan peran yang lain. Dilihat dari fungsinya evaluasi bisa berfungsi sebagai formatif dan sumatif. Evaluasi formatif berfungsi untuk melihat berbagai kelemahan guru dalam mengajar. Artinya hasil dari evaluasi ini digunakan sebagai bahan masukan untuk memperbaiki kinerja guru. Evaluasi sumatif digunakan sebagai bahan untuk menentukan keberhasilan siswa dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian peran guru sebagai seorang evaluator, menunjukkan ke dalam dua hal, yaitu peran untuk melihat keberhasilannya dalam mengajar dan peran untuk menentukan ketercapaian siswa dalam menguasai kompetensi sesuai dengan kurikulum.

III. Pembahasan
A. Peran Sertifikasi Guru
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XVI Pasal 61 ayat (3) sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
Lebih lanjut menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Bab IV Pasal 8 pasal 13 bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Sejalan dengan pasal di atas, Gordon (1988) menjelaskan beberapa aspek yang harus terkandung dalam kompetensi sebagai berikut:
a. Pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan seseorang untuk melakukan sesuatu, misalnya akan dapat melakukan proses berpikir ilmiah untuk memecahkan suatu persoalan manakala ia memiliki pengetahuan yang memadai tentang langkah-langkah berpikir ilmiah.
b. Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh individu.
c. Keterampilan (skill), adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas yang dibebankan.
d. Nilai (value), adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga akan mewarnai dalam segala tindakannya.
e. Sikap (attitude), yaitu perasaan atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar.
f. Minat (interest), yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan.

Dari uraian di atas, maka kompetensi bukan hanya ada dalam tatanan pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambarkan dalam pola perilaku. Artinya seseorang dikatakan memiliki kompetensi tertentu, akan tetapi bagaimana implikasi dan implementasi pengetahuan itu dalam pola perilaku atau tindakan yang ia lakukan. Dengan demikian, maka kompetensi pada dasarnya merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Pemerintah hendaknya serius dalam melaksanakan Uji Kompetensi terhadap para guru TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK. Karena tanpa keseriusan, mereka yang tak berkompeten, tak berkualitas, dan tak berhak tidak bakal memperolehnya sertifkat itu. Hal itu dengan mempertimbangkan dua alasan menurut Y. Yuparsa A (dalam Kompas Senin, 10 Juli 2006 hal. 13): ‘’Pertama, sekalipun wajib diikuti setiap guru, sertifikasi ini juga merupakan bagian dari upaya mencapai tujuan pendidikan nasional. Kedua, implikasi uji kompetensi dalam proses sertifikasi ini adalah meningkatnya pendapatan guru dalam rangka meningkatkan kesejahteraan guru.
Oleh karena itu, uji kompetensi yang baik harus dilaksanakan berlandaskan nilai dan semangat kecermatan atau validitas, bijak serta adil. Cermat atau valid maksudnya instrument uji kompetensi mampu menentukan guru yang memang benar-benar layak untuk memperoleh sertifikat pendidik sebagai guru profesional. Dikatakan demikian karena memang yang bersangkutan cakap atau kompeten sebagai pendidik.
Dengan mempertimbangkan sasaran seperti itu, instrument tes berupa pilihan ganda tak akan mampu menggali potensi guru sesungguhnya. Instrumen pilihan ganda hanya menggali sisi permukaan kognitif dangkal yaitu ingatan, pemahaman dan penerapan. Sisi-sisi psikomotorik dan afeksinya? Padahal kompeten dan profesional esensinya jelas terkutat dalam duo dan satu itu: kognitif dan afektif.
Secara konseptual, untuk menguji kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan kompetensi profesional, tidak cukup hanya dengan instrument uji tulis semata. Pemerintah perlu pula mengembangkan alat uji lain yang mampu menembus pengetahuan dan potensi guru dari sisi kepribadian, sosial, dan psikologisnya. Misalnya bentuk psikotes, angket, wawancara, pengamatan bahkan dengan simulasi.
Prinsip bijak maksudnya, sekalipun para guru wajib mengikuti uji kompetensi, selayaknya pemerintah juga mempertimbangkan bahwa pemenuhan kesejahteraan hidup para guru merupakan sebuah keniscayaan yang wajib dilakukan. Sebab, kelayakan untuk menjadi seorang guru profesional sebenarnya sudah dimiliki yakni dengan mengantongi sertifikat kelulusan dari LPTK. Dengan demikian, model uji kompetensi yang dikembangkan bukan hanya untuk menguji, melainkan sebagai bagian dari upaya pembinaan dan pengembangan sehingga para guru layak menyandang sertifikat guru profesional versi sertifikasi.
Prinsip berkeadilan terkait dengan siapa yang diprioritaskan untuk diikutsertakan dalam proses sertifikasi ini, mengingat pemerintah merencanakan menentukan para guru yang dapat mengikuti proses sertifikasi ini. Agar prosesnya berkeadilan, sebaiknya pemerintah merancang sistem yang transparan untuk mengatur orang yang diberi kesempatan ikut proses sertifikasi. Mungkin sebaiknya, guru-guru yang terlebih dahulu diprioritaskan mengikuti proses sertifikasi ialah mereka yang masa kerjanya lama, kemudian diurut rancang sehingga mencapai batas satu masa uji.
Prinsip berkeadilan juga berlaku dengan tidak membedakan status guru. Apakah guru PNS, guru swasta, guru honor, atau guru bantu. Maka sudah selayaknya pemerintah memberikan pelayanan yang sama dalam proses sertifikasi ini. Termasuk memberi kesempatan kepada para guru honorer, guru bantu, guru swasta yang kompeten untuk memiliki sertifikasi pendidik itu. Akan menjadi tidak adil jika sertifikasi hanya memberi kesempatan kepada guru-guru yang berstatus pegawai negeri sipil atau PNS saja. Padahal, boleh jadi peran guru swasta, guru honorer, dan guru bantu jauh lebih besar dibandingkan dengan para PNS itu.

B. Profesionalisme Guru
Pembangunan dalam bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Guru adalah pendidik profesional dengan utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Untuk meyakinkan bahwa guru sebagai pekerjaan profesional maka syarat dan ciri pokok pekerjaan profesional menurut Dr. Wina Sanjaya, M.Pd. (2005:142-143) sebagai berikut:
a. Pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
b. Suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalam bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya, sehingga antara profesi yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas.
c. Tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademik sesuai dengan profesinya, semakin tinggi pula tingkat keahliannya dengan demikian semakin tinggi pula tingkat penghargaan yang diterimanya.
d. Suatu profesi selain dibutuhkan oleh masyarakat juga memiliki dampak terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap setiap efek yang ditimbulkan dari pekerjaan profesinya itu.

Apakah pekerjaan guru telah memenuhi kriteria sebagai pekerjaan profesional maka ciri dan karakteristik dari proses mengajar sebagai tugas profesional guru menurut Sanjaya (2005:143-144) sebagai berikut:
>1) Mengajar bukanlah hanya menyampaikan materi pelajaran saja, akan tetapi merupakan pekerjaan yang bertujuan dan bersifat kompleks. Oleh karena itu dalam melaksanakannya, diperlukan sejumlah keterampilan khusus yang didasarkan pada konsep dan ilmu pengetahuan yang spesifik. Artinya, setiap keputusan dalam melaksanakan aktivitas mengajar bukanlah didasarkan kepada pertimbangan subjektif atau tugas yang dapat dilakukan sekehendak hati, akan tetapi didasarkan kepada suatu pertimbangan berdasarkan keilmuan tertentu, sehingga apa yang dilakukan guru dalam mengajar dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang guru profesional diperlukan latar belakang pendidikan yang sesuai, yaitu latar belakang pendidikan keguruan.
>2) Sebagaimana halnya tugas seorang dokter yang berprofesi menyembuhkan penyakit pasiennya, maka tugas seorang guru pun memiliki bidang keahlian yang jelas, yaitu mengantarkan siswa ke arah tujuan yang diinginkan. Memang hasil pekerjaan seorang dokter atau profesi lainnya berbeda dengan hasil pekerjaan seorang guru. Kinerja profesi non keguruan seperti seorang dokter biasanya dapat dilihat dalam waktu yang singkat. Namun tidak demikian dengan guru. Hasil pekerjaan seorang guru seperti mengembangkan minat dan bakat serta potensi yang dimiliki seseorang, termasuk mengembangkan sikap tertentu memerlukan waktu yang cukup panjang sehingga hasilnya baru dapat dilihat setelah beberapa lama, mungkin satu generasi. Oleh karena itu kegagalan guru dalam membelajarkan siswa berarti kegagalan membentuk satu generasi manusia.
>3) Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan bidang keahliannya, diperlukan tingkat pendidikan yang memadai. Menjadi guru bukan hanya cukup memahami materi yang harus disampaikan, akan tetapi juga diperlukan kemampuan dan pemahaman tentang pengetahuan dan keterampilan yang lain, misalnya pemahaman tentang psikologi perkembangan manusia, pemahaman tentang teori perubahan tingkah laku, kemampuan mengimplementasikan berbagai teori belajar, kemampuan merancang, dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar, kemampuan mendesain strategi pembelajaran yang tepat dan lain sebagainya, termasuk kemampuan mengevaluasi proses dan hasil kerja. Oleh karena itulah seorang guru bukan hanya tahu tentang what to teach, akan tetapi juga paham tentang how to teach. Kemampuan semacam itu tidak mungkin datang dengan sendirinya, akan tetapi hanya mungkin didapatkan dari satu proses pendidikan yang memadai dari satu lembaga pendidikan yang khusus yaitu lembaga pendidikan keguruan.
>4) Tugas guru adalah mempersiapkan generasi manusia yang dapat hidup dan berperan aktif di masyarakat. Oleh sebab itu tidak mungkin pekerjaan seorang guru dapat melepaskan dari kehidupan sosial. Hal ini berarti, apa yang dilakukan guru akan memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat. Sebaliknya semakin tinggi derajat keprofesionalan seseorang, misalnya tingkat pendidikan keguruan seseorang, maka semakin tinggi pula penghargaan yang diberikan masyarakat.
>5) Pekerjaan guru bukanlah pekerjaan yang statis, akan tetapi pekerjaan yang dinamis, yang selamanya harus sesuai dan menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itulah guru dituntut peka terhadap dinamika perkembangan masyarakat, baik perkembangan kebutuhan yang selamanya berubah, perkembangan sosial, budaya, politik termasuk perkembangan teknologi.

Menurut Charles E. Johnson (dalam Sanjaya, 2005:145-146) bahwa kompetensi merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian suatu kompetensi ditunjukkan oleh penampilan atau unjuk kerja yang dapat dipertanggung jawabkan (rasional) dalam upaya mencapai suatu tujuan.
Sebagai suatu profesi, terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu meliputi kompetensi pribadi, kompetensi profesional dan kompetensi sosial kemasyarakatan.
a. Kompetensi Pribadi
Guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal. Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan (yang harus digugu dan ditiru). Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies), di antaranya: (1) kemampuan yang berhubungan dengan pengalaman ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya; (2) kemampuan untuk menghormati dan menghargai antarumat beragama; (3) kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan norma, aturan, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat; (4) mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru misalnya sopan santun dan tata karma dan; (5) bersikap demokratis dan terbuka terhadap pembaruan dan kritik.
b. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyesuaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting. Oleh sebab langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu, tingkat keprofesionalan seorang guru dapat dilihat dari kompetensi sebagai berikut: (1) kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan, misalnya paham akan tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional, institusional, kurikuler dan tujuan pembelajaran; (2) pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan, misalnya paham tentang tahapan perkembangan siswa, paham tentang teori-teori belajar; (3) kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya; (4) kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran; (5) kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar; (6) kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran; (7) kemampuan dalam menyusun program pembelajaran; (8) kemampuan dalam melaksanakan unsur penunjang, misalnya administrasi sekolah, bimbingan dan penyuluhan dan; (9) kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.
c. Kompetensi Sosial Kemasyarakatan
Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, meliputi: (1) kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional; (2) kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan dan; (3) kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok.

IV. Penutup
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal berikut:
A. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
B. Kompetensi guru meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
C. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi juga sertifkasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan dan akuntabel.
D. Pengembangan profesional diperlukan knowledge (pengetahuan), ability (kemampuan), skill (keterampilan), attitude (sikap diri), dan habit (kebiasaan).
E. Kompetensi profesional guru meliputi: kompetensi pribadi, kompetensi profesional dan kompetensi sosial kemasyarakatan.


DAFTAR PUSTAKA

Amran, Tatty S.BB. 1994. Kiat Wanita Meniti Karier. Jakarta: Pustaka Binaman Presindo.

Fajar, Arnie. 2006. Peranan Sertifikasi Guru dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru. Dalam Makalah Seminar Nasional Sosialisasi Sertifikasi Guru dalam memaknai UU No. 14 Tahun 2005. Bandung: Disdik Jawa Barat.

Jalal, Fasli. 20006. Gaji Guru Naik Mulai Januari 2007: Take Home Pay Minimal Rp. 3 Juta. Dalam Pikiran Rakyat 6 Oktober 2006 hal. 12.

Nurdin, Muhamad. 2004. Kiat menjadi Guru Profesional. Jogjakarta: Prisma Sophie.

Samani, Muclas dkk. 2006. Mengenai Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya: SIC.

Sanjaya, Wina. 22005. Pembelajaran dalam Impelementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Prenada Media.

Sardiman, A.M. 22001. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Surayin. 2004. Tanya Jawab Undang-Undang Republik Inodneia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Bandung: Yrama Widya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen. 2006. Jakarta: Eka Jaya.

Zuhaiirini, dkk. 1992. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
GURU BERSERTIFIKASI VERSUS PROFESIONALISME GURU :
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN SERTIFIKASI GURU
(TEACHER SERTIFICATED VERSUS TEACHER PROFESSIONALISM :
CRITICAL REVIEW TO EXERCISE TEACHER SERTIFICATION)
Hasbullah
Jurusan Pendidikan Teknik Elektro FPTK UPI
Jl. Dr. Setiabudhi 207 Bandung 40154
email : hasbullahmsee@yahoo.com
Abstract
Teacher sertification issue that is recently many discussed and so much confiscating attention of the teachers course not simply trend as of eye, but has is compulsion and requirement for all profession area. Equally professionality and expertise of someone will only worth when can show expertise certificate or profesional is owned it. Teacher sertification is one of governmental effort in increasing quality of teacher so that study in school becomes increasingly with quality. In practicing it, exercise of teacher certification there are trend orients dissociates between teachers which " professional" and has not amateur. And so do in exercise of sertification still many found existence of some variations from its. Not to mention this sertification also still opening opportunity merely increasing earnings than quality of teaching. Sertification test for teacher must be comprehended as a medium to reach purpose of that is quality of teacher, not simply becoming teacher having certificate. Sertification is not itself purpose. correct awareness and understanding about essence sertification will bear correct activity and elegan, that anything done is to reach quality.
Key words : teacher certification, profesi, professionalism
Pendahuluan
Pembicaraan tentang profesionalisme guru saat ini menjadi sesuatu yang mengemuka ke ruang publik seiring dengan tuntutan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Oleh banyak kalangan, mutu pendidikan Indonesia dianggap masih rendah karena beberapa indikator antara lain: Pertama, lulusan dari sekolah dan perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dimiliki. Bekal kecakapan yang diperoleh di lembaga pendidikan belum memadai untuk digunakan secara mandiri, karena yang terjadi di lembaga pendidikan hanya transfer of knowledge semata yang mengakibatkan anak didik tidak inovatif, dan tidak kreatif, bahkan tidak pandai dalam menyiasati persoalan-persoalan di seputar lingkungannya. Kedua, Peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index) masih sangat rendah, demikian pula mutu akademik sekolah di Indonesia. Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108. Mutu akademik di bidang IPA, Matematika dan Kemampuan Membaca sesuai hasil penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2003 menunjukan bahwa dari 41 negara yang disurvei untuk bidang IPA Indonesia berada pada peringkat 38, untuk Matematika dan kemampuan membaca menempati peringkat 39 (Octavianus: 2007) Keempat, sebagai konsekuensi logis dari indikator-indikator diatas adalah penguasaan terhadap IPTEK dimana kita masih tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Guru (dosen) akhirnya menjadi salah satu faktor yang menentukan dalam konteks meningkatkan mutu pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, karena guru adalah garda terdepan yang berhadapan langsung dan berinteraksi dengan siswa dalam proses belajar mengajar. Mutu pendidikan yang baik dapat dicapai dengan guru yang profesional dengan segala kompetensi yang dimiliki. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
merupakan sebuah perjuangan sekaligus komitmen untuk meningakatkan kualitas guru yaitu kualifikasi akademik dan kompetensi profesi pendidik sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana S1 atau D4. Sedangkan kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Dengan sertifikat profesi, yang diperoleh setelah melalui uji sertifikasi lewat penilaian portofolio (rekaman kinerja) guru, maka seorang guru berhak mendapat tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok (Dirjen PMPTK, 2007). Intinya, Undang-Undang Guru dan Dosen adalah upaya meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatan kesejahteraan mereka. Persoalannya sekarang, bagaimana persepsi guru terhadap uji sertifikasi? Bagaimana pula kesiapan guru untuk menghadapi pelaksanaan sertifikasi tersebut ? dan adakah suatu garansi bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu? Bagaimana agar sertifikasi bisa meningkatkan kualitas kompetensi guru?" Analisa terhadap pertanyaan-pertanyaan ini mesti dikritisi sebagai sebuah feed back untuk pencapaian tujuan dan hakekat pelaksanaan uji sertifikasi itu sendiri.
Kritisi terhadap Pelaksanaan Sertifikasi Guru
Tinjauan Sertifikasi Guru
Dalam kaitannya dengan sertifikasi guru, maka dapat kita kaitkan dengan certification yang berarti diploma atau “pengakuan secara resmi kompetensi seseorang untuk memangku sesuatu jabatan profesional“ (Depdikbud 1983). Apabila pengertian ini dihubungkan dengan sertifikasi guru, maka sertifikasi yang dipahami di lingkungan pendidikan sampai saat ini dapat diartikan sebagai surat bukti kemampuan mengajar yang menunjukkan bahwa pemegangnya memiliki kompetensi mengajar dalam mata pelajaran, jenjang, dan bentuk pendidikan tertentu seperti yang diterangkan dalam sertifikat kompetensi tersebut (P3TK Depdiknas, 2003). Secara lebih konkrit, sertifikasi guru adalah tanda bukti kewenangan mengajar, Sebagai salah satu bentuk pengakuan resmi, maka dalam melaksanakan program sertifikasi guru seyogianya memiliki suatu standar tertentu yang merupakan kompetensi minimal yang harus dimiliki lulusannya, yaitu suatu standar yang ditetapkan bersama oleh LPTK dan kelompok profesi yang akan memakai lulusan tersebut.
Sistem sertifikasi guru sebagai unsur penjaminan mutu mutlak memerlukan sistem penilaian yang akurat, cepat, hemat biaya, efektif dan bersifat memberdayakan. Pengembangan itu harus bertitik tolak juga kepada kecenderungan munculnya standar kompetensi guru dan hirarki kompetensi menurut pengklasifikasian guru menjadi Standar Kompetensi. Sertifikasi Guru merupakan proses pengujian kompetensi sebagai dasar pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan sebagai guru. Sertifikasi guru diperoleh melalui uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan terakreditasi atau lembaga sertifikasi Profesi. Dengan demikian tujuan sertifikasi guru adalah untuk menentukan kelayakan seorang guru. Peserta sertifikasi guru terdiri atas para guru sebidang atau serumpun yang telah memiliki sertifikasi guru sebagai profesi. Guru yang ingin mengikuti sertifikasi guru diwajibkan untuk mendaftarkan diri dengan menyerahkan berkas persyaratan administratif kepada penyelenggara uji kompetensi. Kemudian peserta mengikuti uji kompetensi untuk semua mata uji yang diwajibkan sesuai dengan standar kompetensi guru. Bila peserta memenuhi persyaratan kelulusan yang telah ditetapkan, kepada yang bersangkutan diberikan sertifikat kompetensi guru.
Profesionalisme Guru
Profesionalisme guru merupakan tuntutan kerja seiring dengan perkembangan sains teknologi dan merebaknya globalisme dalam berbagai sektor kehidupan. Suatu pola kerja yang diproyeksikan untuk terciptanya pembelajaran yang kondusif dengan memperhatikan keberagaman sebagai sumber inspirasi untuk melakukan perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan. Guru sebagai tenaga pendidikan secarasubstantif memegang peranan tidak hanya melakukan pengajaran atau transfer ilmu pengetahuan (kognitif), tetapi juga dituntut untuk mampu memberikan bimbingan dan pelatihan. Di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 ditegaskan pada pasal 39 bahwa: ”Tenaga pendidikan selain bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan,
pengembangan, pelayanan dalam satuan pendidikan, juga sebagai tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses serta menilai hasil pembelajaran, bimbingan dan pelatihan.Sebagaimana pengertian profesional yang terdapat dalam UU Guru dan Dosen dapat diartikan sebagai berikut: ”Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi” (Depdiknas,2005:2).
Sementara prinsip profesionalitas guru dan dosen UU No.14 tahun 2005 pasal 7 ayat 1, merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut; 1) Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; 2) Memiliki kualifikasi akademik atau latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; 3) Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; 4) memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; 5) Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; 6) Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; 7) Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan 8) Memiliki organisasi profesi yang mempunyaikewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Secara akademis, seorang guru profesional ia memiliki keahlian atau kecakapan akademis atau dalam bidang ilmu tertentu; cakap mempersiapkan penyajian materi (pembuatan silabus; program tahunan, program semester) yang akan menjadi acuan penyajian; melaksanakan penyajian materi; melaksanakan evaluasi atas pelaksanaan yang dilakukan; serta mampu memperlakukan siswa secara adil dan secara manusiawi. Berdasarkan berbagai kajian di atas, ada beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang guru profesional, yaitu : 1) Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; 2) Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; 3) Bertindak obyektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status social ekonomi perserta didik dalam pembelajaran; 4) Menjunjung tinggi peraturan perundangundangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan 5) Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Tuntutan terhadap guru untuk senantiasa mengikuti perkembangan sains, teknologi dan seni merupakan tuntutan profesi, sehingga guru dapat senantiasa menempatkan diri dalam perkembangannya. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi akibat kemajuan teknologi yang memberikan banyak peluang untuk setiap orang menjadi guru bagi dirinya sendiri, artinya ia bisa mengakess aneka jenis informasi sebagai pengetahuan baru. Guru lebih diposisikian sebagai partner belajar, memfasilitasi belajar siswa sesuai dengan kondisi setempat secara kondusif. Dalam kerja profesional, guru dituntut untuk bisa melayani siswa sebagai subyek belajar dan memperlakukannya secara adil, melihat keberbedaan sebagai keberagaman pribadi dengan aneka potensi yang harus dikembangkan. Maka hubungan antara guru dengan siswa merupakan pola hubungan yang fleksibel, ada kalanya guru menempatkan diri sebagai patner belajar siswa, saat yang lain sebagai pembimbing, dan berposisi sebagai penerima informasi yang belum diketahuinya. Di inilah pembelajaran berlangsung dalam sebuah orkestrasi pembelajaran yang melihat segala sesuatu di sekitar guru sebagai pembelajar potensi untuk mencapai kesuksesan belajar .
Ukuran kesuksesan kerja profesional bagi seorang guru dapat dilihat dari target yang ingin dicapai dalam pembelajaran, serta kemampuan mengoptimalkan fasilitas belajar dan kondisi setempat. Persiapan pembelajaran menjadi sesuatu yang wajib dikerjakan, dan pelaksanaan aplikasi dalam kelas berpijak kepada persiapan yang telah dibuat dengan menyesuaikan terhadap kondisi setempat atau kelas yang berbeda. Kepedulian untuk mengembangkan kemampuan afektif, emosional, sosial dan spiritual siswa, sesuatu yang vital untuk bisa melihat kelebihan atau keunggulan yang terdapat dalam diri anak. Peserta didik diberi kesempatan untuk mengembangkan diri dan menemukan aktualisasi sehingga tumbuh rasa percaya diri.Secara implikatif sikap
profesionalisme, guru dibutuhkan dalam upaya strategis untuk terlaksana dan tercapainya tujuan Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang dimulai dari implikasi dalam kelas. Lebih jauh lagi akan berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang berlangsung dalam sekolah. Suatu sistem yang mencerminkan amanat Undang- Undang untuk memanusiakan manusia, terciptanya pendidikan yang demokratis dan berwawasan kebangsaan. Berkembangnya potensi manusia Indoensia yang bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tanpa lupa mengembangkan kecerdasan kognitif, afektif dan psikomotriknya.
Pelaksanaan Sertifikasi Guru
Dari hasil riset lapangan, banyak guru mengatakan bahwa sertifikasi profesi guru sangat baik dan dapat mengangkat derajat dan wibawa para guru di Indonesia. Tetapi, dalam penerapannya ada hal yang perlu diperhatikan yaitu : [1] kebanyakan guru di Indonesia setelah menjadi pengajar tidak memperdalam pengetahuannya. Artinya, banyak guru kita masih rendah dalam kompetensi pengajaran, [2] harus dipertimbangkan model yang bagaimana yang tepat untuk guru-guru di Indonesia, dan kesiapan para guru untuk disertifikasi, [3] perlu dilakukan pelatihan-pelatihan sebelum sertifikasi dilaksanakan dan perlu dipikirkan tindak lanjut bagi guru yang tidak lolos sertifikasi, [4] apabila kebijakan sertifikasi tersebut dilakukan secara ”mentah” dan ”instan”, tanpa sosialisasi dan pelatihan-pelatihan akan merugikan para guru yang sudah cukup lama mengabdi.
Pandangan lain diperoleh dari para guru, yaitu penghargaan terhadap guru belum sebanding dengan beberapa profesi lain [seperti profesi dokter, dan lain-lain]. Hal ini menjadi permaslah mendasar bagi profesi guru itu sendiri, yaitu: Pertama, persoalan yang mendasar adalah kebanyakan guru yang belum memenuhi kualifikasi minimal untuk mengajar, baik dari segi ilmu maupun keterampilan. Kedua, penghasilan guru yang kurang memadai apabila dibandingkan dengan penghasilan profesi lain dan hal ini berimbas pada profesi guru itu sendiri kurang diminati.
Ketiga, banyak guru yang tidak memiliki standar kualifikasi yang dituntut oleh masyarakat. Menurut mereka, bahwa seorang guru – berbeda dengan profesi dokter, akuntan, dan pengacara – sangat banyak bekerja dengan mengandalkan keterampilan berelasi. Guru banyak dituntut untuk bekerja dalam suatu tim kerja, berinteraksi secara intensif setia hari dengan siswa dan berkomunikasi dengan orang tua siswa. Keempat, guru kurang dihargai, karena pekerjaan yang diembannya dianggap kurang membutuhkan keterampilan yang sangat khusus dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi profesional
Menurut salah satu anggota Komisi X DPR RI Angelina Sondakh yang dikutip oleh Suara Merdeka (2007), dikatakan bahwa proses sertifikasi guru sampai saat ini belum bejalan dengan baik, hal itu dikarenakan mekanismenya belum sesuai dengan harapan, sehingga masih perlu perbaikan. Selain itu, pemberian intensif guru juga belum berjalan sesuai harapan. Ketakutan dan pesimisme peserta sertifikasi guru dalam jabatan, ternyata bukan isapan jempol belaka. Ada sebagian kalangan mengatakan bahwa sertifikasi guru ada kecenderungan berorientasi memisahkan antara guru yang “profesional” dan belum (amatir). Dengan kata lain ada guru yang mendapat tunjangan profesi dan ada yang tidak mendapatkannya. Hal ini sudah menjadi kenyataan, di beberapa tempat terjadi adanya kecemburuan secara horisontal antar guru yang berhasil lolos sertifikasi dan yang belum . Jika hal ini tidak segera diatasi maka akan merambat pada konflik yang berkepanjangan, oleh karena itu butuh solusi segera.
Kesenjangan pelaksanaan sertifikasi guru antara pegawai negeri sipil atau PNS dan honorer terlalu jauh. Selain itu, sertifikasi ini juga masih membuka peluang sekadar meningkatkan pendapatan daripada kualitas mengajar. Kekhawatiran itu muncul ketika terbuka kemungkinan tindakan tidak terpuji dalam sertifikasi. Dalam sebuah seminar ”Guru Menggugat Sertifikasi” di Makassar,(Suara Merdeka, 6 april 2007), di hadapan sekitar 500 guru, Suparman mengingatkan, pelaksanaan sertifikasi cenderung melenceng dari niat semula mewujudkan sosok guru profesional. Sekarang di kalangan guru muncul kultur dan kegemaran baru, yakni sebagai kolektor piagam dan sertifikat dari forum ilmiah dan pelatihan. Bila hal itu terjadi, tentu saja pelaksanaan sertifikasi jauh dari tujuan sebenarnya yaitu meningkatkan kompetensi dalam kegiatan belajarmengajar, predikat profesional hanya Berdasarkan fakta yang ada dilapangan, ternyata masih banyak guru yang ternyata belum faham akan pelaksanaan sertifikasi guru. Banyak hal yang mesti dicermati oleh
guru peserta sertifikasi. Karena itu, sosialisasi dari pihak Dinas Pendidikan sungguh diperlukan. Kurangnya sosialisasi, terutama menyangkut cara pengisian dan penyusunan portofolio, mengakibatkan banyak terjadi kesalahan. Celakanya, kesalahan pengisian portofolio karena ketidaktahuan itulah yang acapkali menjadi faktor penyebab ketidaklulusan.
Ke depan, Dinas Pendidikan di tiap kabupaten dan kota perlu memperketat pemberkasan dokumen sertifikasi. Jangan sampai peserta gagal (meraih poin sedikit) akibat ketidaklengkapan portofolio. Untuk dokumen karya ilmiah (penelitian, buku dan modul), portofolio harus lengkap dan diketahui atasan langsung. Hanya saja tidak semua sertifikat mesti dilampirkan karena untuk komponen tertentu (seperti pengalaman organisasi, dan keterlibatan dalam forum ilmiah) skornya dibatasi maksimal 100. Karena khawatir guru sering meninggalkan kelas untuk mengikuti berbagai forum seminar dan sebagainya, sehingga murid jadi terlantar. Belum lagi pasca sertifikasi pada akhir tahun 2007, sejumlah ratusan guru belum menerima tunjangan meskipun telah menyelesaikan program sertifikasi sejak akhir tahun lalu (Suara Merdeka, 20 Mei 2008). Mereka resah karena tunjangan yang besarannya mencapai sekitar satu kali gaji pokok itu masih belum jelas pembayarannya. Sementara itu, berdasarkan perjanjian, seharusnya tunjangan sertifikasi itu dapat diterimakan satu bulan kemudian, namun kenyataannya belum jelas kabarnya.
Pengalaman di lapangan, menunjukan bahwa di mata guru, uji sertifikasi adalah sebuah ” revolusi” untuk peningkatan gaji guru. Di sisi lain sertifikasi guru adalah suatu political will pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas guru yang sangat besar kontribusinya bagi peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Miskonsepsi semacam ini, membuat para guru dapat menghalalkan segala cara dalam membuat portofolionya dengan memalsukan dokumen prestasi atau kinerjanya, seperti yang terjadi di beberapa tempat (pengalaman Penulis sebagai asesor). Dalam konteks ini diperlukan kejelian dari tim penilai portofolio untuk melakukan identifikasi dan justifikasi. Semua penyimpangan harus diungkap atas nama kualitas, dengan melakukan cross check di lapangan.
Uji Sertifikasi bagi guru mesti dipahami sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan yaitu kualitas guru. Sertifikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman yang benartentang hakekat sertifikasi akan melahirkan aktivitas yang benar dan elegan, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka proses belajar kembali mesti dimaknai dalam konteks peningkatan kualifikasi akademik yaitu mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru, sehingga mendapatkan ijazah S1 / D4. Ijazah S1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar seperti jual-beli ijazah, melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapat tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru yang mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana diisyaratkan dalam standard kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan pintas guna memperoleh sertifikat profesi kecuali dengan mempersiapkan diri dengan belajar yang benar dan tekun berkinerja menyongsong sertifikasi. Idealisme, semangat dan kinerja tinggi disertai rasa tanggung jawab mesti menjadi ciri guru yang profesional.
Dengan kompetensi profesional, guru akan tampil sebagai pembimbing (councelor), pelatih (coach) dan manejer pembelajaran ( learning manager) yang mampu berinteraksi dengan siswa dalam proses transfer pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang baik. Semangat untuk tetap belajar (bukan hanya mengajar) akan membantu guru untuk mengupgrade pengetahuannya, sehingga dapat menyiasati kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peluang pemanfaatannya untuk memajukan proses belajar di kelas. Sertifikasi guru adalah amanat Undang-undang bagi semua guru di Indonesia yang jumlahnya sekitar 2,8 juta baik negeri maupun swasta, jadi bukan sesuatu yang mesti diperebutkan oleh guru. Semua akan kebagian, asalkan telah memenuhi persyaratan. Marilah kita terus tingkatkan kompetensi dan profesionalisme kita, sehingga dapat meraih prestasi dan prestise dibidang pendidikan, untuk selanjutnya dapat berdiri sejajar dan bersaing dengan negara-negara lain. Semoga.
Kesimpulan
Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru. Sertifikasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai suatu tujuan, yakni keberadaan guru yang berkualitas. Oleh karenanya, semenjak awal harus ditekankan khususnya di kalangan pendidik, guru, dan dosen, bahwa tujuan utama adalah kualitas, sedangkan kualifikasi dan sertifikasi merupakan sarana untuk mencapai kualitas tersebut.
Guru profesional adalah guru yang mampu melaksanakan tugas profesinya dengan baik, yakni memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial. Pelaksanaan sertifikasi guru demi tercapainya tujuan utama, yakni perbaikan kulitas, menciptakan guru yang profesional, maka upaya perbaikan dan sosialisasi pelaskaanaan uji serertifikasi dan peningkatan kompetensi guru harus dilakukan secara baik, terencana dan berkelanjutan dan bersinergis.
Sertifikasi guru merupakan proses yang dapat mengangkat harkat dan wibawa guru. Namun, sertifikasi guru jangan sampai dipandang sebagai satu-satunya jalan yang menjamin kualitas guru. Sangat tidak tepat apabila pemerintah memaksakan program ini menjadi program yang ”instan”, sementara lingkungan kerja guru tidak mendukung penggunaan maksimal kompetensi. Jika program ini dipaksakan secara ”instan”, maka sulit diharapkan sebuah perubahan yang signifikan akan terjadi pada wajah pendidikan di Indonesia.
Daftar Pustaka
Dudung A, 2008. Tinjauan Kritis Terhadap Sertifikasi Guru SMK melalui Penilaian Portofolio. Makalah disajikan pada Seminar International ”Revitalisasi Pendidikan Kejuruan dalam Pengembangan SDM Nasional”, UNP Padang
Rosid. 2007. Sertifikasi Guru http://www.suaramerdeka.com/harian/ 0801/21/opi03.htm
Syafrudie H.A. 2004. Sertifikasi dan profesionalisasi lulusan LPTK dalam rangka peningkatan daya saing lulusan.Makalah disajikan pada Seminar Nasional Sinergi Pendidikan Tinggi yang diselenggarakan oleh FT UM pada tanggal 5 Juni 2004.
Sudibyo, Bambang dan Hamid Awaludin, 2005, Pandapat Akhir Pemerintah Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Guru dan Dosen, Disampaikan pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang R.I. Nomor. 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen.
Paulson, F.L and Meyer, CA. 1991. What Makes a Portofolio a portolio, Educational Leadership
Paul S, George,1995. What Is Portofolio Assessment really and How Can I Use it in My Classroom? Gainesville, FL: Teacher Education Resource.
Undang-Undang RI Nomor. 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
………….www.wikipedia.org.id/wiki/guru
............. (2007). Sertifikasi Guru. Jakarta: Direktur Jenderal PMPTK.
...........http://www.suaramerdeka.com/beta 1/index.php
--------- http://www.suaramerdeka.com/beta1/index.php?fuseaction


A. Pendahuluan
Kontroversi penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) di SMP dan SMA masih terus berlanjut. Kedua belah pihak, pemerintah dan anggota masyarakat, tetap berpegang pada argumentasinya masing-masing. Bahkan pemerintah telah menetapkan UN terus dilaksanakan mulai dari tingkat SD. Bagaimana akhir dari kontroversi tersebut?
“Anjing menggonggong, kapilah tetap berlalu”. Itulah peribahasa yang paling pas untuk menggambarkan kontroversi penyelenggaraan ujian nasional (UN) di negeri kita tercinta ini. Masyarakat luas dari berbagai kalangan, mulai dari para siswa, orang tua siswa, praktisi pendidikan, pengamat pendidikan, akademisi (ahli pendidikan), sampai pada anggota legislatif (DPR), memrotes, dan tidak setuju dengan penyelenggaraan UN. Sekalipun dengan perspektif dan kepentingan yang berbeda, namun mereka sepakat bahwa dampak dari penyelenggaraan UN ini lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya. Para siswa merasa tertekan dan cemas yang berlebihan takut tidak lulus; para orang tua merasa khawatir dengan nasib dan masa depan anaknya; para praktisi pendidikan merasakan penyelenggaran UN menimbulkan diskriminasi terhadap sejumlah mata pelajaran; para pengamat dan akademisi menilai UN tidak sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan dan mengesampingkan aspek pedagogis dalam pendidikan; sedangkan sebagian anggota legislatif yang menolak menilai pelaksanaa UN berdasarkan PP No.19/2005 bertentangan dengan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), dan hanya menghambur-hamburkan biaya.
Namun demikian, meskipun hampir semua stakeholders menolaknya, Pemerintah tetap berjalan dengan rencananya untuk menyelenggarakan UN bagi siswa tingkat SLTA, SLTP, bahkan untuk tahun 2008 ini ditambah untuk siswa SD. Pemerintah seakan tidak mendengar dan tidak peduli dengan berbagai argumentasi yang dikemukakan oleh masyarakat luas. Upaya untuk mendorong motivasi belajar siswa dan meningkatkan kualitas pendidikan kita adalah alasan yang dilontarkan oleh Pemerintah untuk tetap menyelenggarakan UN. Logika yang pernah dikemukakan oleh Yusuf Kalla pada saat masih menjabat sebagai Menko Kesra adalah “Saya melihat, rendahnya mutu pendidikan di Indonesia karena murid/mahasiswa di Indonesia tidak mau belajar. Mengapa tidak mau belajar, karena merasa tidak perlu belajar. Mengapa merasa tidak perlu belajar, karena belajar atau tidak belajar mereka akan tetap naik kelas/lulus,” Pada saat beliau sudah menjadi Wakil Presiden, beliau semakin kuat semangatnya untuk tetap menyelenggarakan UN. Dengan nada yang sama, beliau mengatakan: “Sejak Ujian Nasional diterapkan tahun 2003 dengan standar kualitas dinaikkan 0,5 persen per tahun, dalam empat tahun ini banyak anak-anak lebih semangat belajar karena takut tidak lulus. Anak-anak juga stres. Tetapi buat saya, 100 anak stres lebih baik dari pada sejuta anak bodoh, Selamatkan bangsa ini dari kebodohan. Jadikan bangsa ini pintar,” (Kompas, 7 Juli 2007). Sementara Burhanuddin Tolla, Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional menyatakan “Dengan menggelar ujian nasional mulai dari SD bisa mendorong terjadinya perubahan perilaku siswa, guru, dan masyarakat. Semua jadi bersemangat untuk belajar karena harus mempersiapkan diri agar bisa lulus. Ini yang terjadi saat UN SMP dan SMA dilaksanakan” (Kompas, 9 November 2007).
Di Amerika Serikat sendiri tes sejenis UN memang pernah dilakukan. Bahkan pada tahun 1997, tercatat dunia pendidikan Amerika Serikat menghabiskan dana sebesar US$ 200.000.000 per tahun untuk tes di sekolah-sekolah negeri (public school) (Tilaar, 2006) Namun hasil dari ujian akhir tersebut digunakan untuk melakukan pemetaan terhadap permasalahan pendidikan nasional dalam rangka menyusun kebijakan pendidikan nasional bukan untuk menentukan kelulusan siswanya.
B. Dampak Ujian Nasional Terhadap Kualitas Pendidikan Kita
Berbagai keberatan yang dilontarkan oleh stakeholders terhadap penyelenggaraan UN bukan tanpa alasan. Kepeduliannya terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan menjadi perhatiannya yang serius. Berdasarkan kajian teoritik dan fakta empirik tampak jelas bahwa UN berdampak negarif terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan. Apabila kondisi ini terus berlanjut dikhawatirkan kualitas pendidikan kita akan semakin merosot dan tujuan pendidikan nasional kita akan sulit untuk diwujudkan, dan pada akhirnya kondisi masyarakat dan bangsa ini tidak akan pernah berubah, terus berada dalam keterpurukan.
Berbagai dampak negatif yang nyata terjadi di sekolah sebagai akibat diterapkannya UN di sekolah, diantaranya:
☺ Terjadinya disorientasi pendidikan di sekolah
Mata pelajaran yang di-UN-kan tidak seluruh mata pelajaran. Pada tiga tahun terakhir pada tingkat SMP dan SMA, hanya mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Memang untuk tahun 2008 direncanakan untuk tingkat SMA akan ada penambahan mata pelajaran dan berbeda antara jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Untuk SMA jurusan IPA, akan ditambah mata pelajaran Fisika, Kimia, dan Biologi; Untuk jurusan IPS akan ditambah mata pelajaran Ekonomi, Geografi, dan Sosiologi, dan untuk jurusan Bahasa akan ditambah mata pelajaran Sastra Indonesia, Bahasa asing lain, dan Antropologi/Sejarah Budaya. Selain itu, pada tahun 2008 juga akan dilaksanakan UN untuk tingkat SD, dengan mata pelajaran yang diuji adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA.
Pembatasan mata pelajaran yang diujikan dalam UN, berakibat pada fokus proses pembelajaran di sekolah hanya ditekankan pada penguasaan mata pelajaran tersebut, sedangkan mata pelajaran lain dianggap hanya sebagai pelengkap. Hal ini menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pengabaian terhadap mata pelajaran lain. Para siswa dan bahkan orang tua lebih memusatkan perhatiannya terhadap mata pelajaran yang akan di UN-kan, terutama pada siswa kelas akhir.
Disorientasi juga terjadi pada arah dan tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Dengan adanya UN, maka pembelajaran cenderung hanya mengembangkan ranah kognitif, pada penguasaan pengetahuan, dan mengesampingkan ranah lain yang sebenarnya tidak kalah pentingnya untuk menghasilkan individu-individu yang utuh dan berkarakter, yaitu ranah afektif dan psikomotorik.
☺ Proses pembelajaran yang tidak bermakna
Untuk mempersiapkan para siswanya menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN, para guru biasanya menggunakan metode pembelajaran drill, dimana para siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga akan keluar dalam ujian. Melalui metode ini guru mengharapkan para siswa terbiasa menghadapi soal ujian, dan menguasai teknik-teknik dan trik mengerjakan soal yang dihadapi. Pembelajaran dengan model ini jelas tidak bermakna, karena apa yang dipelajari bersifat mekanistik, bukan pada penguasaan konsep yang esensial. Pembelajaran seperti ini tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi indikator kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai melalui pembelajaran.
☺ Upaya-upaya yang tidak fair
Tuntutan kelulusan yang tinggi, baik terhadap persentase/jumlah siswa yang dinyatakan lulus, maupun besarnya nilai yang diperoleh para siswa, mendorong sekolah untuk melakukan berbagai upaya untuk mencapainya. Tuntutan seperti ini sekaligus berdampak pada terbentuknya citra dan prestise sebuah sekolah. Sekolah yang mampu meluluskan siswanya dengan prosentase yang tinggi dengan nilai UN yang tinggi, dinilai sebagai sekolah yang berkualitas dan unggul. Setiap sekolah menginginkannya dan berbagai upaya dilakukan untuk mencapai posisi tersebut. Namun sayang, tidak sedikit oknum guru dan kepala sekolah melakukan upaya-upaya yang tidak terpuji. Untuk mewujudkan itu, tidak jarang upaya-upaya yang tidak fair dilakukan oleh oknum guru dan kepala sekolah untuk mencapai target kelulusan yang setinggi-tingginya. Sekolah membentuk “Tim Sukses” untuk mendapatkan kelulusan 100% supaya memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan (SPM Kepmendiknas 053/U/2001) (Salamudin, 2005); Guru memberi ‘contekkan’ kepada siswa adalah suatu upaya yang sering dilakukan untuk mendongkrak nilai para siswanya dan prosentase kelulusan di sekolah. Kasus di beberapa sekolah, guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika, bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa. (Ade Irawan, Kontroversi Ujian Nasional. http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod= publisher&op= viewarticle&artid=3764) Kondisi seperti ini jelas jauh dari nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan yang seharusnya menjadi bagian yang harus dikembangkan secara serius di sekolah. Bila ini berlanjut, bisa dibayangkan manusia-manusia seperti apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan (formal) kita. Manusia yang berkembang dalam suasana yang serba tidak jujur.
☺ Hanya ranah kognitif yang terukur
UN yang menggunakan bentuk soal multiple choise hanya akan dapat mengukur hasil belajar pada ranah kognitif. Mengacu pada ranah kognitif dari Bloom, tingkatan berpikir yang mampu terukur melalui bentuk soal MC hanya sampai pada tingkat berpikir aplikasi. Kondisi seperti ini mendorong para siswa belajar dengan menghafal. Belum lagi, ranah afektif dan psikomotorik yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran yang juga harus diukur ketercapaiannya, tidak dilakukan. Sulit diharapkan dapat diukur dengan menggunakan UN, yang sifatnya masal dan dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas. Sekali lagi kondisi ini akan berakibat pada pembelajaran di sekolah hanya pada pengembangan kecerdasan intelektual, sementara kecerdasan lainnya (multiple intelegence Gardner) akan tidak mendapatkan perhatian yang memadai.
☺ Keputusan yang tidak fair
Selama ini hasil UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Proses belajar yang dilakukan siswa selama 3 tahun di SLTP dan SLTA, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian yang dilakukan beberapa jam saja. Ketidaklulusan siswa dalam UN bisa jadi bukan karena faktor ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena faktor kelelahan mental (mental fatique), karena stres pada saat mengerjakan ujian atau karena kesalahan pengukuran yang biasa terjadi pada setiap tes (false negative).
Ketidak adilan juga bisa dilihat dari proses pembelajaran yang dialami siswa di satu sekolah dengan sekolah lainnya yang jauh berbeda. Para siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan situasi dan kondisi yang sangat jauh berbeda diuji dengan cara dan alat yang sama. Di satu sisi, siswa belajar di sekolah yang memiliki fasilitas yang lengkap dan dilayani oleh SDM yang jumlah dan kualitasnya sangat memadai. Jelas, hasil belajar siswa yang belajar di sekolah seperti ini, sangat mungkin mencapai hasil yang optimal. Namun di sisi lain, di sekolah ‘nan jauh di sana’, sebagian besar siswanya menjalani proses pembelajaran yang serba seadanya. Bahkan gedungnya pun hampir roboh. Bagaimana mungkin para siswanya dapat belajar dengan baik untuk mendapatkan hasil belajar dengan nilai yang baik dengan kondisi seperti itu. Tanpa dilakukan pengujian secara nasional pun, yang memakan biaya puluhan milyar (untuk tahun 2008, UN SD saja akan memakan biaya sebesar Rp 96 milyar), sudah dapat dibaca kualitas macam apa yang bisa dihasilkan dari model sekolah seperti itu.
☺ Menutup akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin
Di samping sebagai persyaratan untuk kelulusan, hasil UN juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sekolah-sekolah yang berkualitas dan ‘favorit’ akan menjadi tujuan para siswa, yang berakibat pada terjadinya persaingan yang ketat antarsiswa. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain berusaha mendapatkan nilai UN yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan impian itu, dengan mempertimbangkan karakteristik model UN yang akan dihadapi para siswa berusaha menambah waktu belajar tambahan dengan mencari guru privat atau mengikuti bimbingan belajar adalah pilihan yang selama ini dianggap tepat. Upaya ini tentu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mampu, karena upaya tersebut menuntut biaya yang tidak sedikit. Siswa miskin hanya bisa berusaha keras atas kemampuannya sendiri. Kondisi akhir sudah bisa ditebak mereka yang miskin akan kalah bersaing untuk dapat masuk ke sekolah berkualitas.
C. Kedudukan dan Peran Evaluasi dalam Pembelajaran
Mencermati berbagai dampak negatif yang muncul sebagai akibat dilaksanakannya UN, perlu dilakukan kajian secara komprehensif, baik menyangkut aspek akademis/pedagogis, yurudis formal, maupun kajian empirik, untuk melihat bagaimana seharusnya kita menempatkan ujian sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan dalam proses pembelajaran di sekolah. Hal ini penting agar peran dan fungsi ujian berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan diselenggarakannya evaluasi dalam suatu proses pembelajaran.
Salah satu fungsi evaluasi yang utama adalah evaluasi dilaksanakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan. Hal in terlihat jelas dalam model evaluasi yang dikemukakan oleh Tyler (Lewy, 1997)
Educational Objectives
Learning Experiences
Examination of Achivement
(c)
(b)
(a)




Model tersebut memperlihatkan hubungan antara tujuan pendidikan, pengalaman belajaran, dan evaluasi hasil belajar yang saling berkaitan. Di samping untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan, dari model tersebut juga dapat ditafsirkan, bahwa evaluasi hasil belajar berkaitan dengan pengalaman belajar aktual siswa.
Bila model di atas diterapkan dalam melaksanakan evaluasi tingkat nasional maka ujian nasional seharusnya dilakukan untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Bila kita lihat tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Melihat rumusan tujuan ini, jelas bahwa pendidikan kita hendak menghasilkan orang-orang yang utuh, yang bukan hanya menguasai pengetahuan (berilmu) tetapi yang paling penting adalah menghasilkan manusia-manusia yang memiliki karakter luhur sebagai manusia yang beradab.
Untuk mengukur hasil pendidikan sebagaimana digambarkan di atas, maka diperlukan instrumen evaluasi yang variatif dan komprehensif; tidak cukup hanya dengan menggunakan instrumen evaluasi dalam bentuk tes tetapi juga diperlukan dalam bentuk non-tes. Karena evaluasi dalam bentuk tes hanya dapat mengukur penguasaan pengetahuan yang masuk dalam ranah kognitif. Apalagi bentuk tes yang digunakan hanya dalam bentuk tes pilihan ganda (multiple choise). Sementara untuk mengetahui perkembangan dan keberhasilan pencapaian tujuan pada ranah psikomotorik dan afektif diperlukan alat evaluasi dalam bentuk non tes. Dan ini tidak (mungkin) dilakukan dengan UN, karena untuk melakukan itu harus dilakukan secara berkelanjutan.
Pembatasan aspek yang dievaluasi melalui UN, yang hanya mengukur prestasi akademik yang nota bene hanya mengukur penguasaan pengetahuan, berakibat pada proses pembelajaran yang terjadi di sekolah pun menjadi berfokus pada pengembangan ranah kognitif. Aspek-aspek afektif, seperti berakhlak mulia, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab menjadi terabaikan. Telah terjadi disorientasi proses pendidikan. Pendidikan di sekolah telah melupakan fungsi pendidikan yang sesungguhnya, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Disorientasi pembelajaran, sebagai akibat dari penyesuaian dengan tuntutan UN juga terjadi pada fokus perhatian para siswa dan orang tua terhadap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Mata pelajaran yang di-UN-kan mendapatkan prioritas utama dan sekaligus mendapat porsi yang lebih besar dalam proses belajar siswa. Seolah-olah hanya ketiga mata pelajaran itu saja yang penting. Padahal penetapan mata pelajaran yang ditetapkan di sekolah didasarkan pada kebutuhan pencapaian tujuan pendidikan yang lebih luas.
Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya melalui pengembangan pendekatan dan strategi pembelajaran. Berbagai pendekatan dan strategi pembelajaran telah dikenalkan, diujicobakan dan juga dilatihkan pada para guru, seperti pendekatan CBSA, Keterampilan Proses, sampai pada PAKEM. Berbagai inovasi tersebut memang dilakukan untuk meningkatkan kualitas proses belajar yang dialami siswa, karena proses belajar yang berkualitas pada akhirnya akan mendorong mutu hasil belajar siswa. Dengan pendekatan dan strategi pembelajaran yang inovatif diharapkan akan terjadi proses pembelajaran yang menyenangkan, menstimulasi pengembangan potensi diri siswa, jauh dari tekanan dan stres, dan mendorong siswa belajar menemukan, sebagaimana dikatakan Whitehead, the child should experience the joy of discovery. (Whitehead, 1942). Model pembelajaran seperti inilah sebenarnya yang diharapakan terjadi sehingga pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yaitu pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif; pasal 4 ayat (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; serta pasal 4 ayat (4) yang menyatakan Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Namun sayang, berbagai upaya tersebut kembali kandas pada saat akan dilaksanakan di kelas. Bukan karena para guru tidak mampu melaksanakan berbagai pendekatan tersebut, tetapi karena terbentur dengan tuntutan dan ukuran keberhasilan belajar yang menggunakan nilai UN. Guru lebih suka menggunakan pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan nilai UN. Strategi pembelajaran yang di dalamnya menggunakan metode drilling dianggap efektif untuk mengkondisikan proses belajar siswa agar siap dan mampu menghadapi UN dengan baik. Demikian juga dengan siswa, mereka akan belajar sesuai dengan apa yang akan diujikan dalam ujian. Bila soal-soal dalam ujian menuntut mereka untuk hafal banyak hal, maka proses belajar yang dilakukannya adalah dengan cara menghafal. Hal ini sebenarnya telah diingatkan oleh Soedijarto berdasarkan hasil penelitiannya dalam rangka penyusunan disertasi Doktornya, pada tahun 1981. Penelitiannya menemukan bahwa sistem evaluasi (dalam arti frekuensi dan bentuk tes) merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kualitas proses belajar, (Soedijarto, 1993) yang pada gilirannya tentunya yang pada gilirannya akan berpengaruh juga terhadap mutu hasil belajar. Secara lebih spesifik B.S. Bloom mengatakan students will attempt to learn what they anticipate will be emphasized in the evaluation instrument on which they expect to be judged, graded, and certified (Soedijarto, 1993).
Bila kita kaji dari sudut pandang yuridis formal penyelenggaraan UN, terdapat sejumlah catatan yang perlu mendapat perhatian serius. UU No. 20 Tahun 2003 pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Sementara pasal 59 ayat 1 menyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Kedua pasal ini telah membagi tugas yang jelas antara pendidik dan pemerintah dalam penyelenggaraan evaluasi pendidikan di sekolah. Pendidik bertugas mengevaluasi proses dan hasil belajar, sedangkan pemerintah bertugas mengevaluasi pengelolanya, baik pada satuan jalur, jenjang maupun jenis pendidikannya. Mengacu pada aturan ini, jelas penyelenggaraan UN sebagaimana dilakukan selama ini telah mengambil alih tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab pendidik. Pelanggaran ini sebenarnya sudah dinyatakan oleh Ketua DPR RI Agung Laksono. Ia menyatakan bahwa UN bertentangan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, sehingga pemerintah seharusnya meninjau pelaksanaan ujian tersbut (Republika, 8 Mei 2007).
D. Kesimpulan
Dilihat dari aspek akademis-pedagogis, yuridis formal, maupun pengalaman empiris, Ujian Negara (UN) selayaknya untuk segera ditinggalkan. UN telah membawa dampak negatif yang sangat luas terhadap penyelenggaran pembelajaran di sekolah. Proses belajar yang dialami para siswa menjadi sangat parsial, hanya mengembangkan aspek kognitif, sementara ranah afektif dan psikomotorik terabaikan. Suasana belajarnya menjadi sangat menegangkan membuat siswa cemas berlebihan, belajar dalam kondisi ‘terpaksa’, dan tidak menyenangkan. Suasana belajar yang memberi peluang kepada siswa untuk bereksplorasi dan menemukan sesuatu, dan memecahkan berbagai permasalahan sulit terjadi. Berbagai inovasi tentang pendekatan dan strategi pembelajaran yang sangat baik juga sulit diimplementasikan di dalam kelas.
Dengan menyelenggarakan UN, menyebabkan pemerintah melanggar UU No. 20 tahun 2003 pasal 58 ayat 1 pasal 59 ayat 1. Pemerintah telah mengambil alih tugas pendidik untuk melakukan evaluasi hasil belajar peserta didik, sementara tugasnya sendiri untuk melakukan evaluasi terhadap pengelola tidak dilakukannya.
Dari pengalaman UN yang telah dilakukan selama tiga tahun terakhir, berbagai kecurangan yang dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai daerah, seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk segera mempertimbangkan kembali kelanjutan penyelenggaraan UN. Berbagai kecurangan tersebut jelas akan berdampak negatif pada perkembangan siswa dan kualitas pendidikan kita. Mereka berkembang dalam suasana yang penuh kecurangan, yang sekaligus bisa menjadi pelajaran bagi mereka untuk melakukan hal yang sama. Kalau ini terjadi, sungguh merupakan suatu musibah besar bagi dunia pendidikan kita.

DAFTAR PUSTAKA
Ade Irawan, Kontroversi Ujian Nasional. http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op= viewarticle&artid=3764
Kompas, 7 Juli 2007. Wapres Ragukan Bunuh Diri Karena Ujian Nasional.
Kompas, 9 November 2007. Adaptasi UN Tiga Tahun.
Kubiszyn, Tom, Gary Borich. Educational Testing and Measurement, Classroom Application and Practice, Seventh Edition. Singapore: John Wiley and Sons, Inc., 2003
Lewy, Arieh. Handbook of Curriculum Evaluation. New York: Unesco, 1977
Republika, 8 Mei 2007. Kecurangan UN Terjadi di Seluruh Daerah.
Salamuddin, UN Perlu Kejujuran. Pendidikan Network, 22 Mei 2005
Soedijarto. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Jakarta: Balai Pustaka, 1993
Tilaar, H.A.R. Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan Kriti.s(Jakarta: Rineka Cipta, 2006
Whitehead, Alfred North. The Aims of Education and Other Essays. New York: The New American Library
Wiersma, William, Stephen G. Jurs. Educational Measurement and Testing. Boston: Allyn and Bacon, 1990
Popularity: 90% [?]
Makalah Pendidikan, Instrumen Ujian Nasional sebagai Penentu Kelulusan Berpotensi Merugikan Siswa
Instrumen Ujian Nasional sebagai Penentu Kelulusan Berpotensi Merugikan Siswa

UJIAN (Akhir) Nasional alias UN selama ini sepertinya hanya diperlakukan semacam upacara ritual tahunan tanpa memberikan pengaruh berarti terhadap upaya pembina dan pengelola serta pelaksana pendidikan pada tingkat sekolah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan. Masukan berupa informasi pendidikan yang diperoleh lewat Ujian Akhir Nasional hanya diperlakukan sebagai barang pajangan dan menjadi dokumen mati.

APABILA sumber data ujian itu dipakai, pemanfaatannya pun hanya sebatas pada bahan kajian beberapa peneliti Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) untuk kepentingan cum jabatan peneliti; sedangkan para pejabat pengelola kebijakan pada tingkat pusat (direktorat, Puspendik, dan pusat kurikulum) hampir dapat dipastikan tidak akan menyentuh dan memperbincangkannya lagi sampai masa ujian berikutnya.

Keteguhan sikap Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) untuk tetap mempertahankan praktik UN pada sistem pendidikan menengah patut dihormati. Namun, pandangan dan pemikiran kritis terhadap praktik ujian akhir itu harus diutarakan agar sasaran yang dibuat dapat lebih proporsional, terarah, dan pencapaiannya dapat dimaksimalkan.

Meskipun praktik ujian akhir dapat digunakan untuk memengaruhi kualitas pendidikan, namun sebagaimana dikemukakan Ken Jones, asumsi dan rasionalitas yang digunakan pada high stake exams (seperti UN ini) pada umumnya sering bertentangan dengan kenyataan lapangan. Sebagaimana diketahui bahwa realitas pendidikan (sekolah) di Tanah Air sangat beragam, apakah itu sarana-prasarana pendidikan, sumber daya guru, dan school leadership. Diskrepansi kualitas pendidikan yang begitu lebar sebagai akibat dari keterbatasan kemampuan pengelola pendidikan pada tingkat pusat, daerah, dan sekolah semakin menguatkan tuduhan masyarakat selama ini bahwa penggunaan instrumen UN untuk menentukan kelulusan (sertifikasi) dan seleksi berpotensi misleading, bias, dan melanggar keadilan dalam tes.

Selain itu, instrumen UN yang akan digunakan pun sebenarnya masih menyimpan berbagai pertanyaan mendasar yang menuntut jawaban (baca: pembuktian), khususnya menyangkut metodologi, terutama pada saat melakukan interpretasi terhadap hasil skor tes dan pemanfaatannya agar sesuai dengan tujuan diselenggarakannya UN (validity evidence).

Pemanfaatan ganda (multiple purposes) hasil skor ujian yang bersifat tunggal semacam UN sebenarnya menyimpan berbagai potensi permasalahan mendasar secara metodologis, yang sebenarnya sudah sangat diketahui dan dipahami jajaran Puspendik Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Namun, yang agak mencengangkan dan mengundang pertanyaan, mengapa potensi kesalahan seperti pemanfaatan hasil skor UN untuk berbagai keperluan dan tujuan secara bersamaan tidak dikemukakan secara jujur kepada masyarakat pemakai (users) produk pendidikan dan stakeholders. Kenapa Puspendik tidak mengusulkan pemanfaatan hasil skor UN hanya sebatas pada alat pengendali mutu pendidikan nasional, sebagaimana yang dilakukan pada National Assessment of Educational Progress (NAEP) di Amerika Serikat, dan bukan untuk penentuan kelulusan (sertifikasi), apalagi sebagai tujuan untuk seleksi dan memecut mutu pendidikan sehingga persoalan metodologi yang mungkin timbul dapat dihindarkan.

TULISAN ini ditujukan sebagai masukan konstruktif bagi Mendiknas yang berkaitan dengan konsep dan praktik penilaian pendidikan di Tanah Air. Ujian atau tes sebenarnya berfungsi sebagai alat rekam dan/atau prediksi. Sebagai alat rekam untuk memotret, tes biasanya diselenggarakan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap suatu materi atau sejumlah materi dan keterampilan yang sudah diajarkan/dipelajari sesuai dengan tujuan kurikulum sehingga guru dapat menentukan langkah-langkah program pengajaran berikutnya.

Selain itu, tes juga bisa digunakan sebagai alat prediksi sebagaimana yang lazim digunakan pada tes seleksi masuk perguruan tinggi atau tes-tes yang digunakan untuk menerima pegawai baru atau promosi jabatan pada suatu perusahaan atau instansi pemerintah. Sebagai alat prediksi, hasil tes diharapkan mampu memberikan bukti bahwa seorang dapat melakukan tugas atau pekerjaan yang akan diamanatkan kepadanya. Apabila hasil tes yang digunakan mampu menunjukkan bukti terhadap peluang keberhasilan seorang kandidat mahasiswa atau calon pegawai melakukan tugas dan pekerjaan di hadapannya, tes itu diyakini memiliki kelayakan validity evidences.

Ujian atau tes sebenarnya hanyalah sebuah alat (bukan tujuan) yang digunakan untuk memperoleh informasi pencapaian terhadap proses pendidikan yang sudah dilakukan dan/atau yang akan diselenggarakan. Ujian atau tes tidak berfungsi untuk memecut, apalagi memiliki kemampuan mendorong mutu.

Namun, ujian atau tes memiliki kemampuan untuk memengaruhi proses pembelajaran di tingkat kelas sehingga menjadi lebih baik dan terarah sesuai dengan tuntutan dan tujuan kurikulum. Karena ujian hanya mampu memengaruhi pada proses pembelajaran pada tingkat kelas, maka pengaruh yang diakibatkannya tidak senantiasa positif. Sebaliknya, pengaruh itu dapat juga sangat bersifat destruktif terhadap kegiatan pendidikan, seperti apabila guru hanya memfokuskan kegiatan pembelajaran pada latihan-latihan Ujian Akhir Nasional atau pimpinan sekolah sengaja mengundang dan membiarkan Bimbingan Tes Alumni (BTA) masuk ke dalam sistem sekolah untuk mengedril siswa yang akan menempuh ujian akhir itu.

Dalam bahasa testing kegiatan itu disebut teaching for the test. Praktik pendidikan semacam itu sangat bertentangan dengan tujuan diselenggarakannya pendidikan formal di negara mana pun karena akan menyebabkan terjadinya proses penyempitan kurikulum (curriculum contraction).

UNSUR yang paling pokok dan sangat penting yang harus diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat interpretasi hasil skor tes siswa peserta ujian adalah validitas. Konsep validitas ini sebelumnya dipahami sebagai sebuah konsep yang terfragmentasi sehingga sering mengantarkan praktisi penilaian pendidikan kepada kebingungan dan berpikir secara keliru.

Studi validitas dilakukan untuk membuktikan bahwa kegiatan interpretasi dan pemanfaatan hasil skor tes yang ada sudah sesuai dengan tujuan diselenggarakan ujian. Sebagai misal, apabila kita menyusun seperangkat tes kemampuan/keterampilan membaca yang digunakan sebagai alat ukur untuk menentukan kelulusan (sertifikasi) SMA. Bagaimana cara kita menilai apakah proses interpretasi hasil ujian itu sudah dilakukan secara valid? Untuk keperluan itu kita harus membuat sejumlah pertanyaan, antara lain: apakah hasil skor tes itu sudah merupakan alat ukur yang sesuai dan tepat untuk tujuan di muka, yaitu untuk mengukur kemampuan/keterampilan membaca.

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi ujian akhir adalah untuk memberikan sertifikasi bahwa siswa sudah belajar atau menguasai keterampilan membaca sebagaimana yang diminta pada kurikulum. Atas dasar itu, bukti-bukti validitas yang diperlihatkan harus mampu membuktikan bahwa skor yang diperoleh benar sudah mengukur keterampilan membaca, sebagaimana yang dijabarkan pada tujuan kurikulum.

Terdapat banyak sekali bukti yang harus dikumpulkan untuk melakukan kegiatan interpretasi terhadap hasil skor tes itu. Kita dapat menunjukkan bahwa instrumen tes yang digunakan sudah sesuai dengan tujuan pelajaran keterampilan membaca pada kurikulum. Selain itu, kita juga harus mampu menunjukkan bahwa jumlah jawaban yang benar pada soal tes betul-betul sudah sejalan dengan penekanan kegiatan pengajaran membaca pada kurikulum. Lebih dari itu, kita juga harus mampu menunjukkan bahwa keterampilan membaca teks singkat yang tercermin dari kemampuan siswa menjawab dengan benar soal pilihan ganda itu memiliki kualifikasi yang sama apabila yang bersangkutan diberikan teks bacaan yang lebih panjang, atau membaca novel, artikel surat kabar. Kita juga harus mampu membuktikan bahwa konten bacaan yang disajikan pada soal tes sudah merupakan representasi dari isi bacaan yang dianggap penting dan challenging yang mampu menggali kemampuan/keterampilan membaca siswa yang lebih dalam dan ekstensif; jadi bukan hanya berupa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat superficial, faktual, atau trivial.

Apabila kita tidak mampu menunjukkan seluruh bukti di muka, validitas interpretasi yang dibuat terhadap hasil skor tes sangat lemah. Selain itu, kita juga harus mampu membuktikan bahwa skor yang tinggi yang diperoleh siswa bukan semata-mata sebagai akibat dari test wiseness, yaitu kemampuan siswa menjawab soal dengan benar sebagai akibat dari format soal pilihan ganda, tutorial khusus yang diberikan menjelang tes, seperti kegiatan bimbingan tes, menyontek, dan seterusnya. Lebih dari itu kita juga harus mampu menunjukkan bahwa skor rendah yang diperoleh siswa bukan hanya semata-mata disebabkan oleh faktor kegugupan pada diri siswa pada saat ujian. Selain itu, kita juga harus mampu menunjukkan bahwa latar belakang budaya siswa tidak membawa pengaruh terhadap kemampuan mereka menjawab soal tes dengan benar.

Semua faktor yang disajikan di muka dapat merupakan ancaman terhadap interpretasi validitas sebuah alat ukur yang bersifat tunggal (seperti pada UN) yang digunakan untuk mendeteksi kemampuan/keterampilan membaca. Apabila kita tidak mampu menunjukkan bukti (evidences), hasil ujian berupa skor tes untuk mengukur kemampuan/keterampilan membaca memiliki tingkat validitas yang rendah.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di muka bahwa kita harus mampu menunjukkan bukti dan penalaran yang logis untuk membuat keputusan pemanfaatan atas hasil skor tes. Untuk keperluan itu kita tidak bisa hanya berpatokan pada hasil satu kali studi dan mengklaim bahwa kita sudah memiliki tes valid yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan.

Syamsir Alam Mantan Staf Teknis Puspendik, Balitbang Depdiknas
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/27/Didaktika/1838832.htm
Pro dan kontra terhadap kebijakan ujian nasional (UN) seakan tidak kunjung selesai, ada yang mempersoalkan mengapa UN dijadikan penentu kelulusan peserta didik? Ada pula yang mempersoalkan letak legalitas UN dihadapan Undang-undang No 20 tahun 2003 yang dinilainya tidak memberikan kewenagan untuk menentukan lulus dan tidaknya peserta didik melalui UN? Meskipun demikian tidak sedikit pula kalangan yang sepakat bahwa UN merupakan langkah yang tepat untuk memacu mutu pendidikan nasional, menurutnya undang-undang sisdiknas serta PP no 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan (SNP) telah memberikan kewengan bagi pemerintah untuk melaksanakan UN bagi jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Apapun argumentasinya, baik itu yang pro maupun yang kontra semuanya tentu sama-sama sedang memikirkan jalan yang terbaik untuk masa depan pendidikan Indonesia. Oleh karena itu keputusan yang diambil Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dengan tetap menyelenggarakan UN tahun ajaran 2008/2009 merupakan keputusan yang perlu dihormati, meskipun demikian masyarakat tidak perlu mengurangi daya kritisnya untuk tetap melakukan pengawasan serta memberikan masukan kepada pemerintah sebab bagaimanapun kesempatan itu wajib diberikan kepada pemerintah untuk membuktikan apakah UN merupakan jalan yang terbaik dari yang baik?
Memang tidak mudah untuk menjawab apakah UN merupakah jalan terbaik atau tidak? Butuh kajian yang sangat mendalam untuk memberikan kesimpulan terhadap pencapaian kebijakan pendidikan melalui UN, namun sejatinya relevansi dan konsistensi antar kebijakan pendidikan juga sangat penting untuk dijadikan bahan analisis kebijakan pendidikan Nasional minimal dalam kurun waktu 2004-2009. Tentu pada kesempatan ini tidak dalam posisi untuk memberikan kesimpulan apakah UN itu merupakah langkah yang tepat atau tidak? Namun lebih sekedar memberikan tanggapan kritis terhadap fakta-fakta dugaan kebocoran soal-soal UN yang tidak kunjung berhenti setiap tahunnya, adakah makna lain dibalik semua itu?
Sebagaimana catatan Inspektorat jenderal (Itjen) Depdiknas telah mencatat ada 22 kasus selama pelaksanaan ujian nasional (UN) 2009 untuk tingkat SMP, SMP luar Biasa (SMPLB), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan SLTA yang meliputi SMA, SMALB, Madrasah Aliyah (MA) dan SMK. "Kasus-kasus yang ditemukan pada pelaksanaan UN 2009 mulai dari kategori ringan terkait pencetakan dan distribusi soal hingga dugaan kebocoran soal UN," kata Inspektur IV Itjen Depdiknas Amin Priyatna kepada pers di Jakarta (kompas.com/4/5/09).
Apa yang menarik tentang kebijakan UN? yang menarik adalah karena pelaksanaan UN selalu tidak pernah lepas dari penyimpangan (kebocoran soal-soal UN dll), meskipun fakta penyimpangan sekali lagi bukan menjadi sesuatu yang baru dan menjadi sebuah hal yang wajar dibanyak kebijakan, namun menjadi menarik dan tidak wajar ketika pelaku penyimpangan telah melibatkan oknum-oknum seperti kepala dinas hingga guru, bukankah ini sebuah realitas yang paradoks ditengah memuncaknya semangat pemuliaan guru melalui undang-undang guru dan dosen (UUGD)?
Dalam konteks UN, Sepintas guru memang perlu dipertanyakan moralitasnya, namun tidaklah fair jika semuanya itu dilimpahkan kepada guru sebab semua itu tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Menurut Ade Irawan kepala korupsi pendidikan ICW “mentengarai, guru yang melakukan curang itu, karena ada tekanan dari atas, yakni kepala sekolah, lalu kepala sekolah ditekan oleh kepala dinas, dan kepala dinas ditekan oleh kepala daerah,"
Jadi “sempurnya” aturan sempurna pula penyimpangannya, begitulah kira-kira kata yang pantas untuk menggambarkan sisi lain pelaksanaan UN sebab meskipun setiap tahunnya pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah berupaya meminimalisir segala bentuk penyimpangan UN, ternyata tidak menghentikan oknum-oknum terorganisir untuk sengaja berbuat menyimpang dalam pelaksanaan UN.
Realitas ini apakah bisa dijadikan sebagai kesimpulan sementara tentang “ketidakjujuran” para pelaku pendidikan kita? Jika pemahaman tentang kejujuran itu merupakan sebuah sikap apa adanya? Maka perilaku menyimpang dengan sengaja melakukan pembocoran soal secara sistematis merupakan salah satu bentuk kejujuran para pendidik kita, sebuah sikap kejujuran tentang ketimpangan pendidikan yang dirasakannya, kejujuran yang tidak pernah maksimal didengar oleh pengambil kebijakan, dan pengabaian hak-hak evaluasi guru sebagaimana yang digariskan dalam Undang-undang sisdiknas pada akhirnya memaksa para pendidik kita untuk memodifikasi konsep kejujurannya dengan apa yang populer kita sebut “menyimpang dalam UN” Dapatkah pemerintah bersikap lebih bijak dengan tidak memaknai hanya apsek formilnya saja?
Secara normatif semua orang memahami jika kebijakan UN memiliki tujuan yang sangat mulia, namun pemerintah melalui departemen pendidikan nasional (Depdiknas) perlu bekerja ekstra keras lagi untuk membuktikan apakah kebijakan UN memang langkah yang tepat untuk memacu mutu pendidikan nasional, jika memang hasil UN akan dijadikan sebagai bahan untuk memetakan mutu pendidikan nasional terlebih sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan langkah-langkah program pembenahan terhadap satuan pendidikan di semua daerah maka sudah saatnya depdiknas menunjukkan sikap kejujurannya, kejujurannya tentang pemenuhan standarisasi lainnya terlebih pada penggunaan hasil UN itu perlu dibuka secara transparan kepada publik sehingga jangan ada lagi pandangan yang miring jika “proyek-proyek pendidikan” hanya ditentukan oleh faktor Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Amin
Posted by Admin at 8:38 AM
PENGEMBANGAN MODEL AUDIT KINERJA GURU
DALAM MENDUKUNG PROGRAM SERTIFIKASI PENDIDIK
(Oleh: Drs. Ngadirin Setiawan, SE., MS.)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang dua hal pokok penting, yaitu: (1) mendeskripsikan tentang model dan prosedur-prosedur audit kinerja guru, dan (2) mendeskripsikan tentang pokok-pokok pikiran yang perlu dimasukkan ke dalam penyusunan konsep Standar Profesional Auditor Kinerja Guru. Metode penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, yaitu dengan cara mendeskripsikan berbagai persoalan yang dikaji. Dari hasil kajian dan pembahasan diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) metode yang dapat digunakan antara lain, (a) metode pengujian kepatuhan (kepatuhan peraturan, kesesuaian profesi, praktik yang sehat), (b) metode pengujian substantive (pengujian analitis, pengujian detail atas pernyataan kompetensi pendidik, prosedur audit), (c) metode sampling pengujian, dan (d) metode pembuatan pernyataan pendapat auditor kinerja guru; (2) prosedur audit kinerja guru, meliputi: (a) prosedur analitis, (b) menginspeksi, (c) mengkomunikasikan, (d) mengajukan pertanyaan, (e) menghitung, (f) menelusur, (g) mencocokkan ke dokumen, dan (h) mengamati; (3) Pokok-pokok pikiran yang perlu diperhatikan dalam penyusunan standar professional auditor kinerja guru antara lain: standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan; audit kepatuhan; standar pernyataan pendapat atau pertimbangan auditor; persyaratan auditor kinerja guru; dan sebagainya. Disarankan bagi seorang auditor atau asesor yang akan melakukan pengujian atas kompetensi guru seyogyanya harus memiliki pengetahuan dan keahlian memadai sebagai auditor, yaitu antara lain: (a) standar audit kinerja guru, (b) memahami metode dan prosedur audit kinerja guru, dan (c) memiliki keahlian dan kemampuan memadai tentang audit atas pengujian kepatuhan dan pelaksanaan praktik yang sehat, serta audit atas pengujian substantive laporan kinerja guru, Atas dasar hasil penelitian dan kajian ini, direkomendasi agar Depdiknas segera menyusun kebijakan berupa: (1) menyusun model laporan kinerja guru, dan (2) menyusun standar profesional auditor kinerja pendidik (SPAKP)..................................................................................... Kata Kunci: Audit, Kinerja Guru, Sertifikat Pendidik.
I. PENDAHULUAN
Sertifikat pendidik adalah merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional ( UU No, 14 Tahun 2005). Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogic, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi profesional. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah, dan dilaksanakan secara obyektif, transparan dan akuntabilitas.
Persoalan yang dihadapi dalam memberikan sertifikat profesi pendidik dan atau setelah sertifikasi tersebut melekat pada pendidik, nampaknya masih belum ada aturan yang jelas tentang bagaimana sistem yang akan diterapkan guna mengevaluasi atau menilai apakah sesorang pendidik/guru telah memenuhi persyaratan kelayakan sebagai pemegang sertifikasi profesi secara memadai. Hal ini disebabkan karena model audit kinerja guru yang berlaku sesuai dengan prinsip-prinsip standar kompetensi profesional pendidik yang berlaku umum (SKPPBU) masih belum tersedia. Di lain pihak hingga saat ini masih belum ada prinsip-prinsip standar kompetensi profesional pendidik yang berlaku umum (SKPPBU) dan atau standar profesional audit kinerja pendidik (SPAKP) yang dikeluarkan dan diakui oleh lembaga profesi pendidik yang berwenang untuk mengeluarkan sertifikat profesi guru. Kalaupun ada rambu-rambu tentang standar kompetensi dan uji kompetensi guru untuk memperoleh sertifikasi guru yang beredar saat ini baik yang dikemukakan oleh para ahli maupun yang dikeluarkan oleh DEPDIKNAS RI, namun sifatnya masih merupakan suatu rujukan dan masih perlu dilakukan kajian secara komprehensip dalam operasional di lapangan dan perlu mendapatkan dukungan yang kuat dari suatu lembaga profesi pendidik yang memenuhi persyaratan hukum dan nilai-nilai akademis sebagai sebuah lembaga profesi yang disyahkan oleh pemerintah dalam hal ini Mendiknas.
Masalah yang timbul lainnya adalah adanya wacana publik yang menyatakan bahwa masih banyaknya guru yang kurang memenuhi kualifikasi mengajar dan kinerja kurang memadai, dimana dalam praktiknya masih tetap menerima pembayaran tunjangan fungsional yang sama dengan kualifikasi guru yang memenuhi kinerja yang memadai. Djoko Kustono (2007:2) menyebutkan bahwa kualitas guru di Indonesia masih tergolong relative rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualifikasi pendidikan minimal terutama bila mengacu pada amanat UU RI No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), dan PP RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas pada tahun 2005 menunjukkan terdapat 1.646.050 (69,45%) guru SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal. Kualifikasi guru dimaksud masing-masing sebagai berikut: guru TK terdapat 91,54%, SD terdapat 90,98%, SMP
terdapat 48,05%, dan SMA terdapat 28,84% yang belum memiliki kualifikasi pendidikan S1/D4.
Guna memenuhi tuntutan tatakelola yang baik (good governance), dan prinsip akuntabilitas maka di dalam penilaian kinerja guru untuk mendapatkan sertifikat pendidik perlu dilakukan atas dasar penilaian uji kompetensi, dalam hal ini melalui proses audit atas laporan kinerja guru atau audit kinerja guru (AKG). Audit atas laporan kinerja guru pada hakekatnya adalah merupakan suatu proses sistematis untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti-bukti yang berhubungan dengan asersi tentang kompetensi guru dan berkaitan dengan hak dan kewajiban dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik secara obyektif untuk menentukan kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tujuan umum suatu audit atas laporan kinerja guru adalah memberikan suatu pernyataan pendapat mengenai apakah laporan kinerja guru telah disajikan secara wajar, dalam segala hal yang material, sesuai dengan prinsip standar kompetensi profesional pendidik berlaku umum.. Untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti audit yang memadai harus dilakukan dengan prosedur audit yang baku. Prosedur audit adalah tindakan-tindakan yang dilakukan atau metode dan teknik yang digunakan oleh auditor kinerja guru untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti audit secara transparan, akuntabilitas, dan berkeadilan.
Atas dasar beberapa permasalahan di atas maka peneliti memandang perlu untuk melakukan penelitian ini terutama tentang program sertifikat pendidik, yang selanjutnya diberi judul: Pengembangan Model Audit Kinerja Guru dalam Mendukung Program Sertifikasi Pendidik. Audit kinerja guru pada hakekatnya adalah merupakan suatu proses kegiatan evaluasi/pengujian secara sistematis yang berisi tentang metode dan prosedur audit atas laporan kinerja guru dalam menjalankan tugas profesinya sebagai pendidik dan untuk mendapatkan informasi secara obyektif dalam semua hal yang berhubungan dengan asersi tentang kejadian-kejadian kegiatan kompetensi pendidik (guru) serta menentukan tingkat kesesuaian antara asersi kompetensi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Pertanyaan penting tersebut dituangkan dalam perumusan masalah sebagai berikut: (1) bagaimanakah metode dan prosedur-prosedur audit kinerja guru yang dapat mendukung program pemberian sertifikat pendidik?, dan (2) pokok-pokok pikiran apa sajakah yang dapat dimasukkan dalam penyusunan konsep Standar Kompetensi
Profesional Pendidik Berlaku Umum, dan atau Standar Profesional Audit Kompetensi Guru atau Standar Audit Kinerja Guru?.
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk memformulasikan metode dan prosedur-prosedur audit kinerja guru yang berlaku secara nasional sesuai dengan prinsip kompetensi profesi pendidik dalam mendukung pemberian sertifikasi pendidik/guru, serta pokok-pokok pikiran yang perlu dimasukkan dalam penyusunan Standar Profesional Auditor Pendidik dalam mendukung program sertifikasi Guru dan Dosen.
Sertifikasi profesi pendidik sesuai dengan UUGD terdiri dari sertifikasi profesi guru dan profesi dosen. Dalam kajian ini ruang lingkupnya dibatasi hanya tentang model audit kinerja guru dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik. Pembatasan ini didasarkan beberapa pertimbangan, yaitu (1) masalah yang dihadapi oleh guru dalam menjalankan kompetensinya sebagai pendidik relative memungkinkan untuk lebih mudah dipecahkan dibandingkan dengan profesi dosen yang kompleks, (2) jumlah guru jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah dosen, (3) guru sangat mengharapkan agar segera terealisirnya program sertifikasi yang berdampak langsung terhadap kesejahteraannya, dan (4) adanya system audit kinerja guru yang transparan, dan akuntabilitas akan lebih memberikan rasa aman dan berkeadilan.
Selanjutnya ruang lingkup kajian dijabarkan ke dalam beberapa pokok bahasan yang mendukung tercapainya tujuan penelitian sesuai dengan rumusan permasalahan di atas, yaitu meliputi beberapa hal sebagai berikut: (1) pengembangan model audit kinerja guru yang memenuhi prinsip kompetensi profesi pendidik berlaku umum (PKPPBU). Dalam pengembangan model audit ini terutama ditujukan pada dua hal pokok, yaitu meliputi penemuan metode-metode dan prosedur-prosedur audit atas laporan kinerja guru dalam menjalankan tugas pokoknya sebagai pendidik, (2) penelaahan beberapa metode dan prosedur audit yang dikembangkan oleh institusi profesi bidang ilmu lain yang relevan, terutama model audit atas laporan keuangan yang dikembangkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI), (3) penilaian kelayakan model Audit Kinerja Guru dalam kaitannya dengan program sertifikasi pendidik. Dalam penerapan kelayakan metode dan prosedur-prosedur audit kinerja guru tersebut diharapkan mampu menjawab apakah model audit yang dikembangan dapat dikatagorikan layak atau tidak layak. Di samping itu juga dikaji tentang keuntungan dan kelemahan dari model audit kinerja guru ini dalam kaitannya dengan program pemberian sertifikasi profesi pendidik, dan (4) untuk mengetahui tentang pokok-pokok pikiran yang
dapat dimasukkan dalam penyusunan konsep Prinsip-prinsip Kompetensi Profesi Pendidik Berlaku Umum dan atau Standar Profesional Audit Pendidik / Kinerja Guru.
Penelitian ini adalah merupakan jenis penelitian pengembangan, dalam hal ini berkaitan dengan pengembangan suatu model. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Kualitatif karena akan mendeskripsikan secara mendalam atas karaktersitik statik/dinamik yang berkaitan tentang pengembangan suatu model audit kinerja guru dalam kaitannya dengan program sertiifikasi guru yang berdampak pada pemberian pembayaran tunjangan fungsional. Pengumpulan data yang utama adalah dilakukan dengan cara dokumentasi atas data yang berkaitan dengan penilaian kinerja guru, kompetensi profesi pendidik, dan model-model audit yang relevan. Di samping itu dilakukan kajian mendalam khususnya yang terkait dengan penerapan model-model audit dalam bidang profesi lainnya yang memiliki relevansi yang sangat mendukung dalam pengembangan model audit guna mendukung program pemberian sertifikasi pendidik (guru)
Prosedur pengembangan model meliputi tiga tahap yaitu sebagai berikut, tahap pertama melakukan identifikasi terhadap bahan-bahan relevan yang terkait dengan analisis pokok dan analisis pendukung untuk kajian materi pengembangan model audit kinerja guru, tahap kedua penyusunan konsep dasar analisis dan pembuatan beberapa contoh kasus audit kinerja guru, dan tahap ketiga pembuatan konsep model audit kinerja guru dalam kaitannya dengan pembayaran tunjangan fungsional, termasuk di dalamnya berisikan tentang pokok-pokok pikiran untuk menyusun konsep dasar Prinsip-prinsip Standar Kompetensi Profesi Pendidik Berlaku Umum, dan Standar Profesional Auditor Kinerja Guru. Analisis data yang digunakan adalah dengan teknik deskriptif kualitatif, yaitu mendeskripsikan tentang model audit kinerja guru dalam kaitannya dengan program pemberian sertifikat guru. Untuk mengukur kelayakan model audit kinerja guru, indikator yang digunakan bertumpu pada empat kompetensi guru dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik dan persyaratan kualifikasi persyaratan akademik.
II. KAJIAN TEORI.
Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 045/U/2002, kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu. Menurut PP RI No. 19/tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, disebutkan bahwa pendidik (guru)
adalah agen pembelajaran yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogok, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Sertifikat pendidik (guru) diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik. Profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut, yaitu: (a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme, (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia, (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat, (h) memiliki jaminan perlindungan hokum dan melaksanakan tugas keprofesionalan dan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesional guru (UU RI No. 14 Tahun 2005).
Di Negara maju istilah sertifikasi bagi masyarakatnya sudah tidak asing lagi, utamanya yang terkait dengan upaya melakukan pengendalian mutu (quality control) dari suatu hasil pendidikan (Djoko Kusono, 2007). Di Amerika Serikat, National Commision on Educatinal Services (NCES) secara umum memberikan batasan sertifikasi, yaitu “certification is a procedure where by the states evaluates and reviews a teacher candidate’s credential and provides him or her license to teach” (Illinious State Board of Education, 2003). Dalam kaitan ini, di tingkat Negara bagian (Amerika Serikat) terdapat badan independen yang disebut The American Association of Colleges for Teacher Education (AACTE). Badan independen ini yang berwenang menilai dan menentukan apakah ijazah yang dimiliki oleh calon guru layak atau tidak layak untuk diberikan lisensi guru. Di Inggris, istilah sertifikasi didefinisikan sebagai berikut: “Certification is designed for candidates who have gained the competencies, skills and knowledge…” (Brown, 2003). Sementara itu menurut Webster Dictionary: A Certification is a designation earned by a person, product or process. Certification may be a synonym for licensure but more often licensure applies only to persons and is required by law (whereas certification is generally voluntary). Certification of persons indicates that the individual has a specific knowledge, skills or abilities in the view of the certifying body.
Dalam peraturan pemerintah No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru tertanggal 4 Mei 2007, disebutkan bahwa standar kompetensi guru dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogic, kepribadian, social dan professional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru. Dalam konteks tersebut berarti bahwa penilaian atas kinerja guru merupakan penjumlahan komulatif atas semua unsur kompetensi sebagai satu kesatuan yang utuh. Apabila salah satu kompetensi ditinggalkan maka secara otomatis bahwa kinerja guru dalam melaksanakan profesinya sebagai pendidik tidak terpenuhi. Ini berarti bahwa dalam pembuatan laporan kinerja guru seyogyanya harus dibuat selengkap mungkin sesuai dengan prinsip standar kompetensi profesi pendidik berlaku umum. Lebih lanjut dalam PP tersebut disebutkan bahwa standar kompetensi guru mencakup kompetensi inti yang selanjutnya dikembangkan menjadi kompetensi guru PAUD/TK/RA, kompetensi guru kelas SD/MI. dan kompetensi guru mata pelajaran pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK (untuk guru kelompok mata pelajaran normative dan adaptif).
Ukuran kinerja guru terlihat dari rasa tanggungjawabnya menjalankan amanah, profesi yang diembannya, rasa tanggungjawab moral dipundaknya. Semua itu akan terlihat kepada kepatuhan dan loyalitasnya di dalam menjalankan tugas keguruannya di dalam kelas dan tugas kependidikannya di luar kelas. Sikap ini akan dibarengi pula dengan rasa tanggungjawabnya mempersiapkan segala perlengkapan pengajaran sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Selain itu, guru juga sudah mempertimbangkan akan metodologi yang akan digunakan, termasuk alat media pendidikan yang akan dipakai, serta alat penilaian apa yang digunakan di dalam pelaksanaan evaluasi.
Kajian tioritis tentang audit atas kinerja guru dalam kaitannya dengan program pemberian sertifikat guru dan berdampak pada besarnya pemberian tunjangan fungsional secara khusus masih belum ditemukan dari beberapa literatur yang diterbitkan, baik oleh Ikatan Profesi Guru atau PGRI, Dewan Pendidikan Nasional, maupun Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI). Saat ini yang telah memiliki konsep dasar tentang model audit adalah IAI. Namun IAI lebih memfokuskan pada prinsip akuntansi dan norma pemeriksaan akuntansi, yang mengacu pada profesi akuntansi internasional. Adapun jenis-jenis prosedur audit yang biasa dilakukan oleh auditor terdapat sepuluh macam prosedur audit, yaitu meliputi: (1) prosedur analitis atau analytical procedures, (2) menginspeksi atau inspecting, (3) mengkonfirmasi atau confirming, (4) mengajukan
pertanyaan atau inquiring, (5) menghitung atau counting, (6) menelusur atau tracing, (7) mencocokkan ke dokumen atau vouching, (8) mengamati atau observing, (9) melakukan ulang atau reperforming, dan (10) teknink audit berbantuan computer atau computer-assested audit techniques.
Persoalannya sekarang adalah bagaimanakah agar pemberian sertifikat guru yang berakibat pada besarnya pemberian tunjangan fungsional guru secara substantive didasarkan atas kinerja guru yang bersangkutan, dan hal ini tentu saja diperlukan suatu model audit atas kinerja guru yang memadai.
Menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, serta pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah, termasuk pendidikan anak usia dini. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi professional pendidik sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan program sarjana (S1) atau program diploma empat (D-IV) yang sesuai dengan tugas sebagai guru. Kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi professional, dan kompetensi sosial. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, serta pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, berakhlak mulia yang menjadi teladan bagi peserta didik. Kompetensi professional adalah kemampuan menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan guru dapat membimbing peserta didik untuk memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk mberkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Model-model pemeriksaan atas kinerja guru, sebenarnya sudah mulai dikembangkan oleh Inspektorat Jenderal Depdiknas, yaitu melalui program kerjanya setiap tahun dengan cara melakukan inspeksi atau pemeriksaan berkala dalam setiap tahun dilingkungan lembaga sekolah. Dalam melakukan pemeriksaan tersebut umumnya meliputi beberapa sektor, yaitu antara lain meliputi sektor pembangunan,
sektor proses pembelajaran, sector administrasi dan manajemen sekolah, dan termasuk di sector pnilaian kinerja guru dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik. Beberapa sector dimaksud baik yang berkaitan dengan aspek finansial maupun non-finansial, dan aspek teknis. Di samping itu juga sudah dikembangkan oleh Balitbang Depdiknas melalui model uji kompetensi. Namun demikian peneliti masih merasa kesulitan untuk mendapatkan panduan khusus yang terkait dengan model audit atas kinerja guru yang dikaitkan dengan program pemberian sertifikat guru yang berdampak pada pembayaran tunjangan fungsional guru secara memadai. Model-model yang dikembangkan tersebut secara legal formal maupun substantif masih belum memberikan batasan secara wajar dan memadai atas penilaian dan evaluasi audit kinerja guru hingga pada pemberian suatu kesimpulan untuk menyatakan pendapat sesuai dengan prinsip akuntabilitas secara memadai dalam semua hal. Hal ini disebabkan karena masih belum adanya Standar Profesional Audit Kinerja Guru yang diterbitkan oleh pihak berwenang, seperti Dewan Pendidikan Nasional, Ikatan Profesi Guru (PGRI), dan lainnya. Belum adanya standar professional audit kinerja guru tersebut berakibat bahwa hingga saat ini belum diperoleh suatu temuan atas penyimpangan kinerja guru dalam kaitannya dengan pembayaran tunjangan fungsional dalam bentuk finansial. Keadaan tersebut pada gilirannya juga akan menimbulkan suatu masalah baru berkenaan dengan akan diterbitkan suatu peraturan pemerintah tentang sertifikasi guru, jika hal tersebut tidak segera dipikirkan secara serius dengan berwawasan professional yang memadai.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian dan Kajian.
1. Audit Kinerja Guru.
Audit kinerja guru adalah suatu proses kegiatan evaluasi/pengujian secara sistematis yang berisi tentang metode dan prosedur audit atas laporan kinerja guru dalam menjalankan tugas profesinya sebagai pendidik dan untuk mendapatkan informasi secara obyektif dalam semua hal yang berhubungan dengan asersi tentang kejadian-kejadian kegiatan kompetensi pendidik (guru) serta menentukan tingkat kesesuaian antara asersi kompetensi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tujuan umum audit atas laporan kinerja guru adalah memberikan suatu pernyataan pendapat mengenai apakah laporan kinerja guru yang bersangkutan telah disajikan secara wajar
dalam semua hal yang material di dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai pendidik sesuai dengan prinsip standar kompetensi profesi pendidik berlaku umum.
Ada 2 jenis audit kinerja guru yang perlu dikembangkan, yaitu: (1) audit untuk pengujian kepatuhan dan pelaksanaan praktik yang sehat, serta (2) audit pengujian substantive atas laporan kinerja guru.
(1) Audit pengujian kepatuhan guru dan pelaksanaan praktik yang sehat.
Uji kepatuhan dan pelaksanaan praktik yang sehat adalah merupakan pengujian terhadap guru dalam melaksanakan tugas perofesinya sesuai peraturan yang berlaku selama kurun waktu tertentu. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana seorang guru dalam melaksanakan tugas profesinya apakah sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan dan perundangan yang harus dipatuhi guru antara lain berkaitan dengan UUGD, PP Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan, PP Tentang Kedudukan PNS, Tata Tertib Sekolah, dan sejenisnya. Sebagai contoh misalnya seseorang guru yang sering mangkir dalam melaksanakan tugas mengajarnya dan atau tidak aktip dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai pendidik (dibuktikan data kehadiran dan hasil investigasi kepada pihak terkait) maka tingkat kepatuhan guru tersebut dapat dikatagorikan rendah, meskipun mampu menunjukkan laporan kinerja secara tertulis. Pelaksanaan praktik yang sehat, pada dasarnya untuk menguji apakah guru dalam membuat laporan kinerjanya betul-betul dilakukan secara penuh tanggungjawab sesuai prinsip standar kompetensi profesi pendidik berlaku umum serta transparan dalam semua hal secara material. Sebagai contoh misalkan data yang dimasukkan kedalam laporan kinerja guru berdasarkan hasil investigasi ternyata banyak dilakukan rekayasa atau yang menyebabkan pihak auditor kurang yakin terhadap kebenaran atas laporan yang disajikan, dan sejenisnya. Dengan demikian maka guru tersebut dikatagorikan tidak melaksanakan praktik yang sehat dalam membuat laporan kinerja guru atau dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik dikatakan tidak melaksanakan praktik yang sehat.
Uji kepatuhan dan pelaksanaan praktik yang sehat ini merupakan audit tahap awal, sebelum pelaksanaan audit atas laporan kinerja guru secara substantive. Jika audit tahap awal ini tidak dipenuhi maka pelaksanaan audit secara substantive tidak perlu dilanjutkan. Artinya bahwa kelayakan seorang guru untuk menjalankan tugas profesinya dinilai tidak memadai meskipun secara tertulis guru yang bersangkutan telah membuat laporannya yang dituangkan dalam laporan kinerja guru. Atau
dengan kata lain bahwa pelaksanaan audit akan dilanjutkan pada pengujian substantive atas laporan kinerja guru jika seorang auditor memperoleh keyakinan memadai atas pengujian tahap awal yaitu yang terkait dengan pengujian kepatuhan dan praktik yang sehat.
(2) Audit substantive atas laporan kinerja guru.
Audit substantive atas laporan kinerja guru ini berisi tentang 2 hal pokok, yaitu: (1) prosedur analitis, dan (2) pengujian detail dari setiap elemen kompetensi guru, yang meliputi elemen kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogic, kompetensi professional, dan kompetensi social, serta pengakuan atas pengalaman professional guru.
Prosedur analitis menyangkut penggunaan perbandingan-perbandingan untuk menilai kewajaran, misalnya dengan cara membandingkan dengan laporan kinerja sebelumnya, dan atau relevansinya dengan bidang ilmu yang dimiliki, serta frekuensi terhadap kegiatan yang dilakukan selama kurun waktu tertentu. Pengujian detail atas elemen kompetensi guru menyangkut pemeriksaan terhadap keberadaan bukti dokumen kompetensi, kualitas bukti, pengakuan dan pengukuran, serta penyajian kompetensi guru.
Keberadaan bukti dokumen kompetensi merupakan bukti dokumen atas semua jenis kompetensi yang dilaporkan pada laporan kinerja guru. Bukti dokumen kompetensi ini dapat berupa bukti fisik, pernyataan tertulis tentang legalitas bukti, bukti perhitungan dan atau bukti pendukung/penguat lainnya. Bukti fisik diperoleh dari hasil pemeriksaan fisik dokumen atas jenis kompetensi yang berwujud. Sebagai contoh misalkan auditor akan melakukan inspeksi langsung atau pemeriksaan atas kompetensi professional terkait dengan penulisan karya ilmiah bidang ilmu, maka yang akan diperiksa adalah apakah karya ilmiah guru tersebut secara fisik benar keberadaannya, apakah keberadaan karya ilmiah tersebut sesuai dengan bidang ilmu yang memadai, apakah karya ilmiah tersebut sudah mendapatkan legalitas dari pejabat yang berwenang, apakah karya ilmiah sudah tercantum secara jelas tentang tanggal dan waktu penulisannya, apakah karya ilmiah tersebut disusun atas dasar permintaan dari pihak lain atau atas inisiatif/kreatifitas guru sendiri, apakah karya ilmiah tersebut sudah memenuhi persyaratan metodologis bidang keilmuan, dan apakah karya ilmiah tersebut sudah memenuhi kualitas yang memadai. Pernyataan tertulis atas legalitas bukti adalah merupakan bukti dokumen khusus, yaitu pernyataan yang ditandatangani oleh guru yang bersangkutan dan atau oleh orang-
orang yang bertanggungjawab karena jabatan yang melakat padanya. Pernyataan tertulis dapat berupa surat pernyataan dari guru yang bersangkutan atas keaslian dalam semua hal terhadap semua jenis kompetensi yang ada pada laporan kinerja guru, dan atau pernyataan tertulis dari pihak laqin yang bertanggungjawab atas isi laporan kinerja guru. Bukti perhitungan berasal dari hasil perhitungan kembali yang dilakukan oleh auditor kinerja guru tentang penilaian isi laporan kinerja guru untuk kemudian dibandingkan dengan hasil perhitungan guru yang bersangkutan apakah sesuai dengan prinsip-prinsip standar kompetensi pendidik berlaku umum.
Kualitas bukti ini menyangkut dua hal, yaitu: (1) kualitas bukti fisik kompetensi, dan (2) kualitas bukti pendukung dokumen. Kualitas bukti fisik kompetensi merupakan kualitas atas jenis kompetensi yang disajikan pada dokumen fisik, misalkan apakah karya ilmiah guru yang disajikan sudah memenuhi persyaratan metodologis bidang ilmu, dan apakah sudah memenuhi kulitas isi yang memadai sesuai dengan bidang keilmuan. Sedangkan kualitas pendukung dokumen berkaitan dengan pihak-pihak yang memberikan legalitas bukti fisik apakah sesuai dengan pejabat yang berwenang dan atau yang bertanggungjawab. Kualitas bukti ini akan menentukan auditor kinerja guru dalam memberikan penilaian secara keseluruhan atas kinerja guru apakah cukup kuat untuk memberikan keyakinan dan pendapat yang memadai dalam semua hal sesuai dengan prinsip standar kompetensi profesi pendidik berlaku umum.
Pengakuan dan pengukuran kompetensi guru berkaitan dengan metode dan cara yang digunakan guru dalam menyusun laporan kinerja guru. Pengakuan berkaitan dengan keberadaan jenis pos dari masing-masing jenis kompetensi yang dicantumkan pada laporan kinerja guru termasuk legalitas formal yang melekat pada pos-pos tersebut dan kualitas isi yang selanjutnya diberikan nilai bobot sesuai dengan criteria standar yang ditetapkan, sedangkan pengukuran lebih ditekankan pada metode atau cara penilaian berdasarkan criteria standar yang ditetapkan. Sebagai contoh misalkan pos karya pengembangan profesi berupa karya ilmiah dapat diakui sebagai bagian dari kompetensi professional guru setelah memperoleh legalitas formal dari pihak yang berwenang serta memenuhi persyaratan akademik bidang keilmuan, yang selanjutnya diberikan nilai bobot sesuai criteria yang ditetapkan. Sedangkan dalam hal pengukuran, untuk menentukan jumlah nilai bobot karya ilmiah diukur dengan melalui dua cara pendekatan, yaitu pendekatan
metodologis dan pendekatan kualitas isi, yang selanjutnya dikomunikasikan dengan kriteria yang ditetapkan.
Penyajian dan pengungkapan kompetensi guru berhubungan dengan apakah komponen-komponen dalam laporan kinerja guru telah diklasifikasikan, diuraikan, dan diungkapkan secara teliti dan tepat sesuai dengan bidang kompetensi yang seharusnya disajikan. Sebagai contoh misalnya penyajian kompetensi pos “penyusunan rancangan pembelajaran yang lengkap, baik untuk kegiatan di dalam kelas, laboratorium, mapun lapangan” telah disajikan dengan tepat dan pengungkapannya telah memadai. Artinya pos tersebut telah disajikan dalam kelomponk kompetensi pedagogic, dan pengungkapannya sesuai perhitungan nilai bobot yang memadai. Jika pos tersebut dimasukkan pada bagian kompetensi professional, maka penyajiannya tidak akan menjadi relevan. Dengan demikian maka auditor harus memahami bahwa penyajian dan pengungkapan pos-pos kompetensi guru merupakan bagian yang penting dan dapat mengkalisifikasikannya secara tepat dan memadai. Hal ini dimaksudkan agar laporan kinerja guru tidak salah saji, karena kesalahan penyajian akan berpengaruh terhadap kelengkapan pelaksanaan tugas guru dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik.
4. Metode Audit Kinerja Guru.
Metode audit kinerja guru adalah merupakan suatu cara yang digunakan oleh auditor untuk memperoleh keyakinan memadai dalam semua hal yang terkait dengan loporan kinerja guru. Metode ini dapat digunakan oleh auditor baik pada saat pengujian awal yaitu tentang audit kepatuhan dan pelaksanaan praktik yang sehat bagi guru maupun pada saat pengujian substantive atas laporan kinerja guru dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik. Pemilihan penggunaan metode yang tepat merupakan suatu hal yang penting bagi auditor kinerja guru, dan hal ini banyak ditentukan oleh pengetahuan, keahlian, pengalaman, dan pemahaman yang dimiliki pribadi auditor. Dari beberapa literature yang dikaji ternyata masih belum ditemukan secara khusus tentang metode yang dipergunakan untuk audit kinerja guru yang didasarkan pada prinsip standar kompetensi profesi pendidik berlaku umum, namun demikian ada beberapa metode yang dapat diadopsi dari bidang audit atas laporan keuangan dan audit kinerja bidang kelembagaan lain. Atas dasar beberapa kajian dan hasil pendapat para pakar bidang pendidikan dan profesi (beberapa narasumber yang kompeten) dapat ditarik kesimpulan bahwa beberapa metode berikut ini dapat digunakan untuk pelaksanaan audit kinerja guru dengan melakukan redefinisi
seperlunya yang relevan. Adapun beberapa metode pelaksanaan audit kinerja guru yang dapat diterapkan antara lain adalah sebagai berikut: (a) metode pengujian kepatuhan (kepatuhan peraturan, kesesuaian profesi, praktik yang sehat), (b) metode pengujian substantive (pengujian analitis, pengujian detail atas pernyataan kompetensi pendidik, prosedur audit), (c) metode sampling pengujian, dan (d) metode pembuatan pernyataan pendapat auditor kinerja guru.
Metode pengujian kepatuhan adalah merupakan kegiatan pengujian atas kepatuhan guru dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai pendidik. Dalam pengujian kepatuhan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : kepatuhan terhadap peraturan, kesesuaian profesi, dan pelaksanaan praktik yang sehat. Kepatuhan terhadap peraturan dapat dilakukan dengan cara membandingkan antara pelaksanaan tuga guru dengan peraturan yang berlaku, yaitu peraturan pemerintah pusat, tatatertib sekolah, kedisiplinan guru mengajar, dan perencanaan pembelajaran. Kesesuaian profesi untuk melihat sejauhmana relevansi kegiatan tugas mengajar guru dalam mata pelajaran yang diajarkan dengan latar belakang bidang ilmu. Pelaksanaan praktik yang sehat untuk melihat sejauhmana guru dalam melaksanakan tugas mengajar dan aktivitas lainnya yang terkait dengan kompetensi guru telah dilaporkan dengan alat bukti yang sesungguhnya terjadi. Jadi dalam pelaksanaan praktik yang sehat ini tidak ada unsur terjadinya rekayasa dalam pembuatan alat bukti dokumen fisik pendukung pembuatan laporan kinerja guru dengan kejadian yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Metode pengujian substantive adalah merupakan cara yang dilakukan oleh auditor kinerja guru untuk mendapatkan keyakinan memadai yang terkait dengan keberadaan pos-pos kompetensi guru yang disajikan dalam laporan kinerja guru. Metode yang digunakan untuk pengujian substantive ini antara lain adalah dengan cara pengujian analitis, pengujian detail atas pernyataan kompetensi pendidik, dan prosedur audit. Dalam metode pengujian analitis yang digunakan adalah dengan cara membandingkan antara laporan kinerja guru yang disajikan dengan keadaan laporan kinerja guru dari periode sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk melihat sejauhmana relevansinya serta konsitensi dalam pembuatan laporan kinerja guru. Di samping itu juga untuk melihat apakah penjajian pos-pos kompetensi laporan kinerja guru menunjukkan ada peningkatan baik kuantitasnya mapun kualitasnya. Secara kuantitas misalnya milihat keberadaan jumlah bukti fisik dokumen dan jumlah kegiatan yang dikerjakan, sedangkan aspek kualitas menunjukkan penilaian
terhadap perhitungan bobot nilai bukti fisik dokumen yang disajikan. Pengujian detail atas pernyataan kompetensi pendidik, dilakukan dengan cara menguji setiap pos-pos kompetensi yang disajikan dalam laporan kinerja guru apakah telah disajikan sesuai dengan prinsip standar kompetensi profesi pendidik berlaku umum dalam semua hal yang material. Pengujian ini sangat penting dilakukan guna memperoleh keyakinan memadai dan secara layak dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk memperoleh sertifikat pendidik ataupun pada saat sertifikat pendidik melekat pada guru. Prosedur audit adalah merupakan prosedur yang harus dikikuti oleh auditor dalam melakukan audit kinerja guru pada saat melakukan pengujian atas laporan kinerja guru.
Metode sampling pengujian adalah merupakan cara yang digunakan auditor untuk menentukan banyaknya sample yang akan digunakan dalam proses audit kinerja guru. Metod sampling pengujian dapat dilakukan dengan cara statistic maupun nonstatistik. Kedua pendekatan cara tersebut pada hakekatnya untuk menentukan banyaknya sample dan menentukan pemilihan anggota sample yang akan digunakan pada pengujian substatif detail laporan kinerja guru sehingga diperoleh hasil yang memadai. Penggunaan metode sampling dalam audit kinerja guru tidak akan dijelaskan secara detail dalam buku ini, tetapi dapat diperoleh dengan mengadopsi dari berbagai literature yang tersedia terutama bagi kepentingan pengauditan, khususnya audit kinerja guru.
Metode pembuatan pernyataan pendapat auditor kinerja guru, dimaksudkan sebagai cara untuk membuat suatu pernyataan standar dari hasil akhir proses audit kinerja guru yang dapat digunakan sebagi pedoman untuk penilaian kelayakan terhadap guru dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik, Ada beberapa macam model pernyataan auditor kinerja guru yang dapat digunakan sebagai alternatip untuk membuat keputusan, yaitu sebagai berikut:
(1) Pendapat wajar secara keseluruhan dalam semua hal atas laporan kinerja guru yang diaudit pada periode tahun………….s/d tahun………….., serta menyatakan bahwa laporan kinerja guru tersebut telah memadai sesuai dengan prinsip standar kompetensi profesi pendidik berlaku umum.
(2) Pendapat wajar secara keseluruhan dengan pengecualian atas laporan kinerja guru yang diaudit pada periode tahun….. s/d tahun…….. Pengecualian tersebut meliputi hal-hal yang material sebagaimana yang tercantum pada lampiran laporan hasil kerja auditor, serta menyatakan
bahwa laporan kinerja guru tersebut telah memenuhi persayaratan dan memadai dengan pengecualian sesuai dengan prinsip standar kompetensi profesi pendidik berlaku umum.
(3) Pendapat tidak wajar secara keseluruhan dalam semua hal yang material atas laporan kinerja guru yang di audit pada periode tahun…….. s/d tahun………., serta menyatakan bahwa laporan kinerja guru tersebut tidak memadai sesuai dengan prinsip standar kompetensi profesi pendidik berlaku umum.
(4) Tidak menyatakan pendapat, karena adanya kesulitan untuk memperoleh informasi bukti audit yang memadai dalam semua hal yang material.
Pernyataan pendapat auditor kinerja guru pada point (1) dan (2) menunjukkan bahwa kinerja guru tersebut memiliki kelayakan untuk diberikan sertifikasi pendidik berupa sertifikat guru. Sedangkan pendapat (3) dan (4) berarti tidak memenuhi kelayakat untuk mendapatkan sertifikasi guru.
5. Prosedur Audit Kinerja Guru.
Prosedur audit kinerja guru adalah tindakan-tindakan atau metode dan teknik yang digunakan oleh auditor kinerja guru untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti audit kompetensi guru dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai pendidik. Prosedur audit ini dapat diterapkan pada saat pengujiaan awal untuk menilai tingkat kepatuhan guru dan pelaksanaan praktik yang sehat maupun pada proses pengujian substantif atas laporan kinerja guru. Dari hasil penelusuran data dan kajian beberapa literature, diperoleh gambaran bahwa prosedur audit kinerja guru dapat dikembangkan melalui cara mengadopsi dari prosedur audit yang biasa digunakan oleh auditor bidang kajian lain yang relevan, termasuk auditor atas laporan keuangan. Ada sepuluh macam prosedur audit yang biasa digunakan oleh auditor atas laporan keuangan (IAI, 2001), yaitu: (1) analytical prosedures atau prosedur analitis, (2) inspecting atau menginspeksi, (3) confirming atau mengkonfirmasi, (4) inquiring atau mengajukan pertanyaan, (5) counting atau menghitung, (6) tracing atau menelusur, (7) vouching atau mencocokkan ke dokumen, (8) observing atau mengamati, (9) reperforming atau melakukan ulang, dan (10) computer-assisted audit techniques atau teknik audit berbantuan computer. Sesuai dengan karakteristik kompetensi dan kinerja guru maka dari beberapa prosedur audit di atas yang memungkinkan dapat diadopsi dan relevan dikembangkan dapat digunakan
sebagai prosedur audit kinerja guru, paling tidak ada delapan macam, yaitu: prosedur analitis, menginspeksi, mengkomunikasi, mengajukan pertanyaan, menghitung, menelusur, mencocokkan ke dokumen, dan mengamati.
Adapun penerapan dari macam-macam prosedur audit tersebut dalam kaitannya dengan pengujian kompetensi guru adalah sebagai berikut:
a. Prosedur analitis
Prosedur ini dilakukan dengan cara mempelajari dan membandingkan data yang berhubungan dengan kompetensi guru. Prosedur analitis ini menghasilkan bukti analitis. Bukti analitis dapat berupa hasil kajian secara kualitatif maupun kuantitatip. Hasil kajian kualitatif adalah merupakan deskripsi atas hasil perbandingan data kompetensi guru, misalnya terkait dengan perbandingan antara perencanaan dan pelaksanaan tugas, relevansi pelaksanaan tugas profesi, dan sebagainya. Hasil kajian kuantitatif merupakan hasil perhitungan yang dituangkan dalam bentuk angka rasio perbandingan, rasio EWMP (ekuivalin wajib mengajar per minggu), frekuensi penugasan kompetensi atas laporan kinerja guru, dan sebagainya.
b. Menginspeksi.
Menginspeksi dokumen adalah cara untuk mengevaluasi dokumen yang disajikan. Dengan cara ini auditor akan dapat menentukan keaslian suatu dokumen, atau mungkin juga mendeteksi adanya pengubahan isi dokumen atau salah saji, atau adanya hal-hal yang mengundang pertanyaan. Menginspeksi dokumen juga memungkinkan dilakukannya penentuan ketepatan waktu pelaksanaan tugas profesi, ketepatan kompetensi, dan sebagainya. Istilah lain menginspeksi dokumen dan catatan adalah memeriksi dokumen, mereview, dan membaca.
c. Mengkonfirmasi
Mengkonfirmasi adalah suatu bentuk pengajuan pertanyaan yang memungkinkan auditor untuk mendapatkan informasi langsung dari sumber independent di luar lembaga sekolah atau di luar organisasi tempat guru tersebut melaksanakan tugas. Pertanyaan yang sudah di isi oleh sumber independent ini dikirimkan langsung kepada auditor dengan maksud agar tidak terjadi rekayasa dalam pengisian data pertanyaan. Prosedur auditing ini (mengkonfirmasi) menghasilkan bukti konfirmasi yang digunakan secara luas dalam audit kinerja guru. Jumlah sumber independent yang digunakan untuk memperoleh bukti konfirmasi disesuaikan dengan kebutuhan, tergantung dari permasalahan yang muncul dan tingkat keyakinan yang memadai auditor. Jika permasalahan tidak begitu kompleks
dan memenuhi prinsip transparansi serta rasa keadilan, maka jumlah sumber independent sebanyak 1 orang sudah dianggap cukup memadai.
d. Mengajukan pertanyaan
Dalam audit kinerja guru, pengajuan pertanyaan bisa dilakukan secara lisan atau tertulis. Pengajuan pertanyaan bisa dilakukan kepada guru yang bersangkutan atau kepada sumber-sumber internal yang ada pada lembaga sekolah tempat guru bekerja, misalnya dalam hal mencari informasi tentang keaktualan bukti laporan kinerja guru, kedisiplinan guru dalam melaksanakan tugas, keterlibatan guru dalam menjalankan kompetensinya, keabsahan hasil karya guru, dan sebagainya. Pengajuan pertanyaan menghasilkan bukti lisan dan atau bukti yang berbentuk pernyataan tertulis. Bukti pernyataan tertulis yang terkait dengan status hokum harus diketahui oleh atasan langsung atau pejabat yang berwenang.
e. Menghitung.
Penerapan prosedur menghitung dalam pelaksanaan audit kinerja guru yang perlu dilakukan adalah: (1) melakukan perhitungan atas bukti fisik dari masing-masing jenis kompetensi guru yang tercantum pada laporan kinerja guru, yang biasanya dalam wujud dokumentasi yang dimiliki oleh guru yang bersangkutan, dan (2) menghitung hasil perhitungan penilaian atas dokumen fisik apakah sudah sesuai dengan bobot perhitungan dan kriteria standar yang ditetapkan. Kegiatan prosedur menghitung point 1 dimaksudkan sebagai cara untuk mengevaluasi bukti fisik dokumen yang tersedia khususnya yang berkaitan dengan kelengkapan catatan laporan kinerja guru, sedangkan prosedur menghitung point 2 dimaksudkan sebagai cara untuk mengevaluasi hasil jumlah perhitungan pemberian angka nilai bobot yang diperhitungkan apakah sudah sesuai dengan criteria standar yang ditetapkan dalam hal ini standar kompetensi profesi pendidik berlaku umum (SKPPBU).
f. Menelusur.
Menelusur adalah merupakan tindakan yang dilakukan auditor untuk melakukan penelusuran kembali atas semua informasi dan dokumen yang terkait dengan catatan yang tercantum pada laporan kinerja guru. Kegiatan prosedur menelusur di sini meliputi tindakan auditor sebagai berikut, yaitu: (1) memilih dokumen-dokumen fisik yang dibuat pada saat terjadinya pelaksanaan tugas menjalankan profesinya sebagai pendidik, (2) memastikan apakah dokumen-dokumen tersebut telah mendapatkan legailitas dari pejabat bewenang, dan (3) menentukan bahwa informasi dalam dokumen tersebut telah dicatat dengan tepat dalam masing-masing
kelompok jenis kompetensi guru. Prosedur ini sangat penting untuk dilakukan oleh auditor guna memperoleh keyakinan yang memadai apakah laporan kinerja guru yang dibuat sudah dicatat secara tepat sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.
g. Mencocokkan ke dokumen
Mencocokkan ke dokumen adalah merupakan tindakan yang dilakukan auditor untuk memperoleh informasi yang memadai dari bukti-bukti dokumen yang dimiliki guru apakah penilaian bobot perhitungan sudah dicatat dengan tepat dan wajar atau untuk mendeteksi terjadinya pencatatan di atas semestinya dalam catatan laporan kinerja guru sehingga berakibat pencatatan nilai bobot perhitungan terlalu tinggi melebihi criteria yang ditetapkan. Prosedur mencocokkan ke dokumen ini meliputi: (1) memilih catatan pos kompetensi tertentu dalam catatan laporan kinerja guru, dan (2) menginspeksi dokumen yang menjadi dasar pembuatan catatan tersebut untuk menentukan validitas dan ketelitian hasil perhitungan bobot penilaian. Pencocokkan ke dokumen berhubungan erat dengan bukti dokumen, dan ini sangat penting untuk mendapatkan bukti yang berhubungan dengan asersi keberadaan bukti fisik dokumen serta kewajaran hasil perhitungan bobot penilaian.
h. Mengamati (observasi)
Kegiatan mengamati atau mengobservasi adalah merupakan tindakan yang dilakukan oleh auditor kinerja guru secara langsung di lapangan dengan cara menyaksikan sejumlah kegiatan atau proses pelaksanaan kompetensi guru dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik. Dalam proses mengamati ini bisa langsung menyaksikan kegiatan guru dalam proses pembelajaran, kegiatan guru dalam interaksi social, kegiatan guru yang berkaitan dengan kepribadian dan tingkah laku guru dalam kehidupan sehari-hari, maupun kegiatan guru dalam menjalankan tugas profesionalnya. Proses mengamati ini disesuaikan dengan kepentingan auditor terhadap penilaian hasil kinerja guru dalam rangka untuk mendapatkan keyakinan yang memadai. Jika auditor hanya ingin mendapatkan informasi memadai tentang apakah guru tersebut telah mematuhi peraturan perihal kedisplinan dalam masuk kerja dan melaksanaan kegiatan proses pembelajaran di kelas, maka kegiatan mengamati cukup dilakukan di sekolah dan di kelas tempat guru melaksanakan tugas mengajar. Jadi kegiatan mengamati ini berbeda dengan kegiatan menginspeksi.
6. Kertas Kerja Audit Kinerja Guru.
Untuk melakukan suatu kegiatan audit atas laporan kinerja guru agar memperoleh informasi memadai dan memudahkan kerja auditor, maka diperlukan suatu model kertas kerja audit kinerja guru yang baku. Kertas kerja audit kinerja guru adalah merupakan lembar kerja dalam bentuk format tertentu yang berisikan tentang indikator penilaian dari beberapa aspek kompetensi guru yang dinilai, hubungan antara komponen satu dengan komponen lain, bobot penilaian atau skor, serta nama auditor yang bertanggungjawab dalam penilaian. Ditjen Dikti Depdiknas RI (2007) telah membuat format kertas kerja untuk pengujian sertifikasi guru dalam bentuk portofolio. Portofolio adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu. Dokumen ini terkait dengan unsur pengalaman, karya, dan prestasi selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen pembelajaran (kompetensi kepribadian, pedagogic, professional, dan social). Komponen portofolio meliputi: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan social, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Fungsi portofolio dalam sertifikasi guru (khususnya guru dalam jabatan) adalah untuk menilai kompetensi guru dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai agen pembelajaran. Kompetensi pedagogic dinilai antara lain melalui dokumen (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, dan (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Kompetensi kepribadian dan social dinilai antara lain melalui dokumen (1) penilaian dari atasan dan pengawas. Kompetensi professional dinilai antara lain melalui dokumen (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, dan (5) prestasi akademik. Pengelompokan komponen portofolio ke dalam aspek kompetensi guru seperti tersebut di atas, ternyata memberikan gambaran yang berbeda pada bagian lain pada saat memberikan penilaian pada format portofolio, dimana pengelompokan komponen portofolio dan ketentuannya terhadap pengakuan atas pengalaman professional guru yang terdiri dari 10 butir tersebut dikelompokkan menjadi 3 unsur, yaitu: (1) unsur kualifikasi dan tugas pokok, minimal bobot nilai 300 dan semua sub unsur tidak boleh kosong, (2) unsur
pengembangan profesi, minimal bobot 200 dan guru yang ditugaskan pada daerah khusus minimal 150, dan (3) unsur pendukung profesi, dimana nilai bobot tidak boleh nol dan maksimal 100. Namun demikian form yang disajikan tersebut jika dikaitkan dengan model audit kinerja guru yang ada dalam kajian penelitian ini masih memerlukan modifikasi dan penambahan bentuk form lainnya terutama form yang belum ada pada buku panduan penilaian portofolio di atas, seperti misalnya bentuk form kertas kerja untuk penilaian atau pengujian kepatuhan dan pelaksanaan praktik yang sehat, serta bentuk form penilaian untuk laporan kinerja guru yang meliputi empat kompetensi inti guru.
Adapun lembar kertas kerja model audit kinerja guru yang dikembangkan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) FORM PK-1 DAN PK-2, merupakan lembar kertas kerja audit kinerja guru untuk pengujian kepatuhan (PK-1) dan pengujian pelaksanaan praktik yang sehat (PK-2).
(2) FORM PS-1 DAN PS-2, merupakan lembar kertas kerja audit kinerja guru untuk pengujian substantive kompetensi inti guru (PS-1) dan pengujian substantive pengakuan atas pengalaman professional guru (PS-2).
Bentuk FORM PK-1 lembar kertas kerja audit kinerja guru pada pengujian kepatuhan adalah sebagai berikut:
Tabel 2: Lembar Kertas Kerja Audit Kinerja Guru Untuk Pengujian Kepatuhan
Nama Guru :
NIP :

Guru Kelas/Mata Pelajaran : FORM: PK-1

NO Instrumen Kepatuhan Penilaian ( 1 – 5 ) Hasil Nilai
1 2 3 4 5
1 Peraturan PNS/Guru v 4
2 Tata Tertib Sekolah v 5
3 Kedisiplinan Mengajar v 4
4 Membuat Perenc. PBM v 4
JUMLAH NILAI 17

0 komentar:

Posting Komentar