Minggu, 14 Oktober 2012

PAHALA BAJA RINGAN

Example : Gambar rangka Atap Baja Ringan
Harga Rp. 80.000,-/m2
sudah termasuk pasang

kalau ada yang berminat datang dan hubungi

Jl. Mataram II No. 5 BTN Margalaksana Indah 2 Margadadi, Indramayu, Indramayu 45211

Tlep/Sms ; 087717632225






Example : Gambar awning baja ringan

Harga Rp. 80.000,-/m2
sudah termasuk pasang

kalau ada yang berminat datang dan hubungi

Jl. Mataram II No. 5 BTN Margalaksana Indah 2 Margadadi, Indramayu, Indramayu 45211

Tlep/Sms ; 087717632225




Example : Gambar awning baja ringan

Harga Rp. 80.000,-/m2
sudah termasuk pasang

kalau ada yang berminat datang dan hubungi

Jl. Mataram II No. 5 BTN Margalaksana Indah 2 Margadadi, Indramayu, Indramayu 45211

Tlep/Sms ; 087717632225




Example : Gambar Plafon Gybsum

Harga Rp. 80.000,-/m2
sudah termasuk pasang

kalau ada yang berminat datang dan hubungi
Jl. Mataram II No. 5 BTN Margalaksana Indah 2 Margadadi, Indramayu, Indramayu 45211

Tlep/Sms ; 087717632225





Example : Gambar Plafon Gybsum

Harga Rp. 80.000,-/m2
sudah termasuk pasang

kalau ada yang berminat datang dan hubungi

Jl. Mataram II No. 5 BTN Margalaksana Indah 2 Margadadi, Indramayu, Indramayu 45211

Tlep/Sms ; 087717632225




PAHALA MEUBEL

Example : gambar barang

Jenis -> JOSTE KITCHEN

hadir untuk memudahkan anda dalam menyediakan dan Membuat kitchen set, Wardrobe, Living Room dengan harga murah. kualitas terjamin, dengan design yang menarik,
baik ukuran small kitchen set a
taupun ukuran besar dan Kami juga dapat menyediakan / membuat interior Furniture sesuai dengan keiginan anda.


Harga : 1.800.000,- bisa dinego
masih bisa dinego....




Example : gambar barang

Jenis -> Kursi Minimalis Leo Afrika


Untuk set 3x1x1x1 harga Rp 3.300.000,-
Untuk set 3x1x1 harga Rp 2.900.000,-
Harga belum termasuk jog + bantal


Harga : 2.750.000
masih bisa dinego....


Senin, 23 Juli 2012

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM

Pengertian Pendidikan Multi kultural secara bahasa:
Banyak/ragam budaya( seluruh hasil cipta karya,karsa dan rasa manusia),menggambarkan pola pikir pembuatnya dan pengagumnya.
Secara sederhana Multikultural berarti :
Keberagaman budaya dimana menggambambarkan tentang kondisi masyarakat yang terdiri dari keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda.
ADA BEBERAPA TAHAPAN TENTANG PENGERTIAN MULTIKULTURAL
Tahap pertama : Multikulturalisme mengandung hal-hal yang esensial dalam perjuangan kelakuan budaya yang berbeda.

Tahap kedua : Menampung berbagai pemikiran baru seperti :

1. Pengaruh studi kultural , secara kritis masalah esensial didalam kebudayaan kontemporer seperti kelompok masyarakat yang termarjinalisasi, peminisme, dan toleransi antar kelompok dan agama.

2. Post kolonialisme, mengungkit kembali nilai-nilai inidigenous didalam budaya sendiri dan berupaya untuk melahirkan kembali kebanggaan terhadap budaya asing.

3. Globalisasi, melahirkan budaya global yang memiskinkan potensi-potensi budaya asli. Dimana budaya lokal merupakan upaya menentang globalisasi yang mengarah kepada monokultural budaya dunia.

4. Peminisme dan post peminisme, gerakan untuk mencari kesejahteraan antara kaum laki-laki dan perempuan kearah kemitraan adanya tuntutan penghargaan dan hak yang sama atau sejajar dalam melaksanakan semua tugas dan kekuasaan yang ada. Dulu juga ada pelopornya seperti RA Kartini, Cut Nyadin dll.

5. Post Strukturalisme, mengenai dekontruksi dan rekontruksi masyarakat menurut ras/golongan, kaum ningrat atau kekuasaan yang ada.

Pemahaman diatas konsep multikulturalisme : Menerima sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etik, gender, bahasa maupun agama. Seperti yang kita tahu contohnya kemerdekaan bangsa kita.

Bikhu parekh pendapatnya untuk menghindari kekeliruan dalam diskursus tentang multikulturalisme ada tiga asumsi yang harus diperhatikan :

1. Pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi.
2. Perbedaan budaya merupakan refresentasi dari sistem nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula, sehingga tiak satu budaya pun yang berhak memaksakan budaya kepada sistem budaya lain.
3. Pada dasarnya budaya secara internal merupakan enitas yang plural yang merepleksikan inetraksi antara perbedaan tradisi dan untaian cara pandang.
Pendididkan multikultural : ada pendapat yang mengartikan gerakan pembaharuan pendidikan dan proses tanpa adanya perbedaan budaya, tapi adanya kerja sama secara demokratis, berarti pula strategi pembelajaran yang menjadikan latar belakang budaya siswa beraneka ragam sebagai usaha untuk meningkatkan pembelajaran siswa dikelas dan dilingkungan sekolah.

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM : Adanya pendekatan dialogis untuk menanamkan kesadaran dan pengakuan hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan adanya kesepakatan dalam berbagai hal baik secara internal maupun eksternal baik dalam kehidupan maupun pelaksanaan peribadatan untuk kelancaran dalam interaksi kehidupan.

ISMAIL FARUQI : Ada beberapa landasan normatif pendidikan islam dibidang keagamaan
1. Kesatuan dalam aspek ketuhanan dan wahyu.
2. Kesatuan kenabian.
3. Tidak ada paksaan dalam beragama.

KESIMPULANNYA :
Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan, dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan.
Pendidikan multikultural di dasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Sedangkan dalam doktrin islam sebenarnya tidak membeda-bedakan etnik, ras, dan lain sebagainya dalm pendidikan. Manusia semuanya adalah sama, yang membedakannya adalah ketaqwaan mereka kepada Allah SWT. Dalam islam, pendidikan multikultural mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan islam terhadap ilmu pengetahuan dan tidak ada perbedaan diantara manusia dalam bidang ilmu.
Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural menciptakan ketegangan-ketegangan sosial. Oleh karena itu, di tengah gegap gempita lagu nyaring “tentang kurikulum berbasis kompetensi”, harus menyelinap dalam rasinalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajarkan “ini” dan “itu”, tetapi juga mendidik anak kita menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban. Dengan demikian, tidak saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitas kebudayaan yang beragam tersebut.


Manfaat dari pendidikan multikultural :
Pendidikan multikultural dapat merespon terhadap pekembangan keragaman populasi sekolah baik dari segi persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dari segi etnik, ras, budaya maupun agama, sehingga dapat terciptanya suasana yang kondusip antara yang satu dengan yang lainnya dalam proses PBM untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang sama.
Juga bisa sebagai pendekatan progessive(berpikir untuk maju) dalam upaya membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatip dalam proses pendidikan.
Pendidikan islam memasukan pendidikan multikultural :
Dalam buku pendidikan islam Trimingham menyatakan bahwa Rosul mengutus 7 orang untuk belajar baca tulis terhadap orang-orang nasrani, artinya islam tidak membeda-bedakan etink ras budaya agama dll, juga dalam alqur,an surat Al-Baqoroh, Qs : 2 ayat ke 4

Senin, 02 Juli 2012

A.Pengertian Gender

Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).

H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to define it).

Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah “jender”. Jender diartikan sebagai “interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan”.

Dalam redaksi yang lin juga dikatakan bahwa Gender adalah perbedaan sosial antar laiki-laki dan perempuan yang dititik perankan pada perilaku, fungsi dan peranan masing-masing yang ditentukan oleh kebiasaan masyarakat dimana ia berada atau konsep yang digunakan untuk megidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya.

Pengertian ini memberi petunjuk bahwa hal yang terkait dengan gender adalah sebuah kontruksi sosial. Singkat kata, gender adalah interprestasui budaya terhadap perbedaan jenis kelamin. Sedangkan kodrat adalah segalah sesuatu yang ada pada laki-laki dan perempuan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan manusia tidak dapat menguibah dan menolaknya.

Dari pengertian itu tampak perbedaan antara keduanya, yakni gender ditentukan oleh masyarakat, berubah dari waktu ke waktu sesuai perkembangan yang mempengaruhi nilai dan norma-norma masyarakat dan memiliki perbedaan-perbedaan bentuk antar satu masyarakat dengan masyarakat lain.

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.

B. Teori-teori Gender
a. feminisme Liberal
Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, bersamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendeskriminasikan perempuan. Dalam mendefinisikan masalah kaum perempuan, mereka tidak melihat struktur dan sistem sebagai pokok persoalan.

Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa semua manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan semestinya tidak terjadi penindasan antara yang satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, kelompok ini tetap menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi aliran ini masi tetap memandang perlu adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam tradisi feminisme liberal penyebab penindasan wanita dikenal sebagai kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau kelompok karena itu cara pemecahan untuk mengubahnya adalah menambah kesempatan-kesempatan bagi wanita, terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan ekonomi. Landasan sosial bagi teori ini muncul selama revolusi prancis dan masa pencerahan di eropa barat.

b. feminisme Radikal

Aliran ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual, adalah bentuk dari penindasan terhadap kaum perempuan. Bagi mereka, patriarki adalah dasar dari idiologi penindasan yang merupakan sisitem hirarki seksual, dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan previlige ekonomi. Menurut kelompok ini perempuan tidak harus tergantung kepada laki-laki bukan saja dalam hal pemenuhan kebendaan tetapi juga pemenuhan kebutuhan seksual perempuan dapat merasakan kehangatan, kemesraaan, dan kepuasaan seksual kepada sesama perempuan, didalam beberapa presfektif feminisme radikal digambarkan bahwa wanita ditindas oleh sistim-sistim sosial patriarkis, yakni penindasan-penindasan yang paling mendasar, penindasan yang paling mendasar seperti eksploitasi jasmaniyah, eteroseksisme dan kelas-isme . agar wanita terbebas dari penindasan maka menutut teori ini harus diadakan perubahan pada masyarakat yang berstruktur pada patriarkis.

c. feminisme Markis

Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan aspek biologis sebagai perbedaan gender. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antar kedua jenis kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak anggapan teradisional dan para teolog bahwa setatus perempuan lebih renda daripada laki-laki karena factor biologis dan latar belakang sejarah. Agak mirip dengan teori konflik. Kelompok ini menganggap posisi inferior perempuan berkaitan dengan setruktur kelas dan keluarga dalam masyarakat kapitalis.

d. Feminisme sosialis

Aliran ini melakukan sintesis antara metode histories materialis marks dan engles dengan gagasan personal ispolitikal dari kaum feminis radikal. Feminis sosialis berpendapat bahwa ketimpangan gender didalam masyarakat adalah akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tampa upah bagi perempuan didalam rumah tangga. Bagi feminis sosialis ketidak adilan bukan akibat dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan tetapi lebih karena penilaian dan anggapan (social kontruktion) terhadap perbedaan itu. Ketidakadilan juga bukan karena kegiatan produksi atau reproduksi dalam masyarakat, melainkan karena manispestasi ketidak adilan gender yang merupakan konstruksi social. Oleh karena itu yang mereka perangi adalah konstruksi, fisi dan idiologi masyarakat serta struktur dan sistim yang tidak adil yang dibangun atas bias gender. Mereka juga memiliki pandangan bahw apenindasan terhadap perempuan terjadi dikelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikan posisi kaum perempuan. Atas dasar itulah mereka menolak visi markis klasik yang meletakan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya, feminisme tampa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karena itu analisis patriarkki perlu dikawinkan dengan analisis kelas. Dikalangan feminis sosialis, baik patriarki maupun kelas, dianggap sebagai sumber penindasan utama.
Berbagai macam teori feminisme diatas menunjukan bahwa para feminis memiliki presfektif yang berbeda-beda dalam memandang kedudukan dan kondisi perempuan. Namun dari sekian banyak perbedaan itu, terdapat satu hal yang menjadi titik persamaan. Semua gerakan feminisme memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu menuntut hubungan yang adil dan setara natara laki-laki dan perempuan. Ketidak adilan yang bersumber dari perbedaan gender yang selama ini menimpa perempuan diupayakan untuk dihilangkan.

C. Identitas Gender dalam Al-Qur’an

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa identitas gender adalah kekhususan yang melekat pada anak berdasarkan alat kelaminnya seperti anak yang memiliki penis kemudian diberi pakaian dengan motiv dan bentuk sebagaimana layaknya laki-laki, demikian juga yang memiliki vagina. Namuan yang dimaksud disini adalah nama-nama atau symbol-simbol yang sering digunakan Al-Qur’an dalam mengungkapkan jenis kelamin seseorang. Identitas jender dalam Al-Qur’an dapat dipahami melalui simbol yang dikenal dengan istilah sighot mudzakar dan muannas. Adapaun istilah-istilah yang biasa digunakan adalah sebagai berikut :

Ar-Rajul

Secara etimologis, kata ini mengandung beberapa arti mengikat, berjalan kaki, telapak kaki, tumbuh-tumguhan dan laki-laki. Kata ini biasanya digunakan untuk menunjuk laki-laki yang sudah dewasa (sudah akil balig). Dalam penggunaannya, kata ini tidak hanya mengacu pada jenis kelamin biologis tetapi juga laki-laki yang memenuhi kwalifikasi budaya tertentu seperti kejantanan. Oleh karena itu, perempuan yang memiliki sifat-sifat kejantanan disebut rajlah, kata ar-Rajul tidak digunakan untuk spesies selain manusia.
Dalam Al-Qur’an, kata ini disebut 55 kali dengan pengertian yang berbeda-beda yakni: (1) gender laki-laki dalam Qur’an surat Al-Baqoroh (2:282). Termasuk dalam pengertian ini adalah Qur’an Surat An-Nisa (4:234) yang biasanya digunakan utuk menolak kepemimpinan perempuan diruang publik. (2) orang, baik laki-laki maupun perempuan Qur’an Surat Al-A’raf (7:46), (3) Nabi atau Rasul dalam Q.S. Al-Ambiyah (21:7), (4) Tokoh masyarakat dalam Q.S. Yasin (36:20) (5) Budak dalam Q.S. Azzumar (39:29).

Lawan kata dari Ar-Rajul adalah An-Nisa yang berarti perempuan yang sudah matang atau dewasa, oleh karena itu, kata ini biasanya diterjemahkan dengan istri atau perempuan yang sudah berkeluarga seperti perempuan yang sudah kawin (Q.S. An-Nisa, 4:24). Perempuan janda Nabi (Q.S. AnNisa, 22) perempuan mantan istri ayah (Q.S An-Nisa 4:22) perempuan yang ditalak (Q.S. Al-Baqoroh :231) dan istri yang didihar (Q.S. Al-Mujadalah :58:2+3) dengan lkatan sebagaimana imro’ah kata An-Nisa tidak pernah digunakan untuk perempuan dibawah umur. Bahkan kedua kata ini lebih banyak digunakan dalam kaitan tugas reproduksi. Dalam Al-Qur’an kata ini disebut sebayak 59 kali dalam pengertian sebagai berikut : (1) Gender perempuan (Q.S. An-Nisa 4:32), (2)
Istri (Q,S, Al-Baqoroh : 222).

Ad-Dzakar

Kata ini berarti mengisi atau menuangkan, menyebutkan, mengingat, mempelajari, menyebutkan, laki-laki atau jantan. Kata ini lebih berkonotasi biologis seks yang biasa digunakan untuk selain manusia. Lawan katanya adalah al-Untsa dalam Al-Qur’an, kata ini disebutkan sebanyak 18 kali yang kebanyakan menunjuk laki-laki dilihat dari biologis. Hal ini seperti dalam Qur’an Surat Ali-Imran, 3 :36. memang ada ungkapan yang berhubungan dengan fungsi dan relasi gender yang tidak menggunakan rajul dan imra’ah tapi ad-dzakar dan al-untsa seperti ayat tentang waris (Q.S. An-Nisa 4:11) namun ayat ini hendak menegaskan bahwa jenis kelamin apapun, berhak mendapatkan berbagai hak asasinya, termasuk soal warisan dan hak-hak kebendaan lainnya. Apalagi, ayat ini turun sebagai koreksi atas tradisi jahiliyah yang tidak mengenal warisan untuk perempuan. Sebenarnya, subtansi ayat tersebut terletak pada awal ayat “yussikumullahu fi awladikum…….” Dimana kata “aulad” mengandung pengertian laki-laki dan perempuan baik sedikit atau banyak. Penyebutan ad-dzakar dan al-untsa hanya sebagai muqoyyad. Untuk menguatkan argument tersebut bias dibandingkan dengan qur’an surat An-Nisa ayat 176 Ini sebagi petunjuk bahwa perbedaan jenis kelamin tidak mesti melahirkan perbedaan gender. Kata untsa berarti lembek (tidak keras) lemas dan halus. Kata ini disebut sebanyak 30 kali semuanya menunjuk pada jenis kelamin perempuan.

Al-Maru
Kata ini berasal dari mara’ah yang berarti baik atau bermanfaat. Dari kata ini lahir kata al-maru yang berarti laki-laki dan al-mar’ah berarti perempuan dalam Al-Qur’an, kata al-mar’u terulang sebanyak 11 kali yang digunakan untuk pengertian manusia.,, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana kata ar-rajul dan an-nisa, kata ini juga menunjuk pada pengertian amnesia dewasa, suda memiliki kecakapan bertindak atau yang sudah berumah tangga seperti dalam Qur’an surat Abbasa (80:34) dan At-Tur (52:21).
Dari uraian diatas jelas bahwa kata ar-rajul tidak identik dengan ad-dzakar. Semua katagori ar-rajul, termasuk katagori ad-dzakar dan tidak sebaliknya. Demikian juga kata al-mar’u atau imra’ah dan an-nisa tidak identik dengan al-untsa . seseorang laki-laki disebut ar-rajul atau perempuan disebuatan An-Nisa manakalah memenuhi kriteria sosial dan budaya tertentu seperti berumur dewasa, telah berumah tangga, atau telah mempunyai peran tertentu didalam masyarakat.
Dari keterangan diatas kiranya jelas bahwa perbedaan jenis kelamin tidak mesti berimplikasi pada perbedaan gender. perbedaan kualitas antara laki-laki dan perempuan lebih banyak ditenukan seperti ayat diatas oleh usaha yang dilakukan. Oleh karena itu prisip-prinsip kesetaraan gender dalam A-Qur’an tidak dilihat dari jenis kelaminnya, tapi kedudukannya sebagai sama-sama sebagai hambah Allah dan Khalifah-Nya yang sama-sama berpotensi meraih atau gagal berprestasi.








BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Adapun mengenai teori-teori untuk mengetahui feminisme atau gender sendiri ada empat yaitu :
 Teori feminisme Liberalfeminisme
 Teori feminisme Radikalfeminisme
 Teori feminisme Markis
 Teori feminisme sosialis.
Identitas Gender dalam Al-Qur’an yang dimaksud disini adalah nama-nama atau symbol-simbol yang sering digunakan Al-Qur’an dalam mengungkapkan jenis kelamin seseorang. Identitas jender dalam Al-Qur’an dapat dipahami melalui simbol yang dikenal dengan istilah sighot mudzakar dan muannas. Adapaun istilah-istilah yang biasa digunakan adalah sebagai berikut :
 Ad-Dzakar
 Al-Maru
 Ar-Rajul
Dan jelasnya itu prisip-prinsip kesetaraan gender dalam A-Qur’an tidak dilihat dari jenis kelaminnya, tapi kedudukannya sebagai sama-sama sebagai hambah Allah dan Khalifah-Nya yang sama-sama berpotensi meraih atau gagal berprestasi.





DAFATAR PUSTAKA


 Waryono Abdul Gafur, Tafsir Sosial, Yogyakarat :eLSAQ Press, 2005. Hal.109
 Ahmad Taufiq, Presfektif Gender Kia Pesantren,Kediri: STAIN Kediri Press, 2009 Hal.54
 www.faridakhwan.com

Jumat, 22 Juni 2012

Waktu adalah mesin hitung, cintaku
Jam berkeloneng dingin dingin (seperti gaung)
dikota itu. Angka-telah lama tahu
bayanganku akan hilang sebelum salju
Sementara kau tetap akan jalan
(sementara kenyataan). Sampai pada giliran
Mengaku pada setiap daun jatuh di rambutmu:
ternyata kenangan hanya perkara yang lucu
tentu. tidak apa. Kita tak memilih acara
Pada angin runcing dan warna musim kau juga
aku terbiasa. Nasib telah begitu tertib
pada lupa kita juga akan jadi karib, GM.
waktu adalah mesin hitung gm begitu berhasil
mengangkat persoalaan jadi milik kita
dan segalanya jadi menarik untuk kita sikapi
agar ada ruang luang yang bisa kita apresiasikan
dan yang lebih penting gm sangat setia
gerak hidup dan dengan arif dia tuangkan
Barangkali kita harus bersabar dan jeli
menyikapi rasa kita agar terbebas dari
menang sendiri.

"Indramayu 2012"
ARADIGMA BARU PENDIDIKAN ISLAM [Sebuah Upaya Menuju Pendidikan yang Memberdayakan]


Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif [kedewasaan], baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban-sebagai seorang hamba [abd] dihadapan Khaliq-nya dan sebagai “pemelihara” [khalifah] pada semesta [Tafsir, 1994]. Dengan demikian, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapakn peserta didik [generasi penerus] dengan kemampuan dan keahlian [skill] yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat [lingkungan], sebagai tujuan akhir dari pendidikan. Tujuan akhir pendidikan dalam Islam, sebagai proses pembentukan diri peserta didik [manusia] agar sesuai dengan fitrah keberadaannya [al-Attas, 1984]. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan – terutama peserta didik — untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi pasid-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses ‘isolasi diri’ dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada. Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, peran pendidikan ini benar-benar bisa dilaksanakan pada masa-masa kejayaan Islam. Hal ini dapat kita saksikan, di mana pendidikan benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab, Asia Barat hingga Eropa Timur. Untuk itu, adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik merupakan sebuah keniscayaan. Kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam pada masa kejayaan sepanjang abad pertengahan, di mana peradaban dan kebudayaan Islam berhasil menguasai jazirah Arab, Asia Barat dan Eropa Timur, tidak dapat dilepaskan dari adanya sistem dan paradigma pendidikan yang dilaksanakan pada masa tersebut [M. Khoirul Anam,From:
http://www.pendidikan.net/mk-anam.html,akses: 12/8/2003]. Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma [paradigma shift] dari pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia [H.A.R. Tilaar, 1999:168], oleh karena itu, arah perubahan paradigma baru pendidikan Islam diarahkan untuk terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut. Arah perubahan paradigma pendidikan dari paradigma lama ke paradigma baru, terdapat berbagai aspek mendasar dari upaya perubahan tersebut, yaitu, Pertama, paradigma lama terlihat upaya pendidikan lebih cenderung pada : sentralistik, kebijakan lebih bersifat top down, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat parsial, pendidikan didisain untuk sektor pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, keamanan, serta teknologi perakitan. Peran pemerintah sangat dominan dalam kebijakan pendidikan, dan lemahnya peran institusi pendidikan dan institusi non-sekolah. Kedua, paradigma baru, orientasi pendidikan pada: disentralistik, kebijakan pendidikan bersifat bottom up, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat holistik; artinya pendidikan itekankan pada pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, kemajemukan berpikir, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum. Peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif dalam upaya pengembangan pendidikan, pemberdayaan institusi masyarakat, seperti keluarga, LSM, pesantren, dunia usaha [Fasli Jalal, 2001: 5], lemabag-lembaga kerja, dan pelatihan, dalam upaya pengelolaan dan pengembangan pendidikan, yang diorientasikan kepada terbentuknya masyarakat Indonesia berkualitas dan kritis. Berdasarkan pandangan ini, pendidikan yang dikelola lembaga-pelmabaga Islam sudah harus diupayakan untuk mengalihkan paradigma yang berorientasi ke masa lalu [abad pertengahan] ke paradigma yang berorientasi ke masa depan, yaitu mengalihkan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis kemajuan, mengalihkan paradigma dari yang berwatak feodal ke paradigma pendidikan berjiwa demokrati [Winarno Surakhmad, From: http://www. Bpk penabur.or.id / kps-jkt/berita/200006/ artikel2.htm, 27 Mei 2002]. Mengalihkan paradigma dari pendidikan sentralisasi ke paradigma pendidikan desentralisasi, sehingga menjadi pendidikan Islam yang kaya dalam keberagaman, dengan titik berat pada peran masyarakat dan peserta didik. Proses pendidikan perlu dilakukan “kesetaraan perlakuan sektor pendidikan dengan sektor lain, pendidikan berorientasi rekonstruksi sosial, pendidikan dalam rangka pemberdayaan umat dan bangsa, pemberdayaan infrastruktur sosial untuk kemajuan pendidikan. Pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk mencapai keunggulan, penciptaan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus dalam kemajemukan. Dari pandangan ini, berarti diperlukan perencanaan terpadu secara horizontal antarsektor dan vertikal antar jenjang – bottom-up dan top-down planning, pendidikan harus berorientasi pada peserta didik dan pendidikan harus bersifat multikultural serta pendidikan dengan perspektif global” [Fasli Jalal, 2001: 5].
Rumusan paradigma pendidikan tersebut, paling tidak memberikan arah sesuai dengan arah pendidikan, yang secara makro dituntut menghantarkan masyarakat menuju masyarakat Indonesia yang demokratis, relegius, kritis. Berkualitas, dan tangguh dalam menghadapi lingkungan global. Maka upaya pembaruan pendidikan Islam, perlu ada ikhtiar yaitu strategi kebijakan perubahan diletakan pada upaya menangkap kesempatan perubahan, maka mau tidak maun, pendidikan Islam harus meninggalkan paradigma lama menuju paradigma baru, berorientasi pada masa depan, merintis kemajuan, berjiwa demokratis, bersifat desentralistik, berorientasi pada peserta didik, bersifat multicultural, berorientasi pada perspektif global, sehingga terbentuk paradigma pendidikan yang berkualitas dalam menghadapi tantangan prubahan global menuju terbentuknya masyarakat Indonesia yang demokratis, kritis, dan berkualitas. Pada dataran konsep, pendidikan baik formal maupun non formal “pada dasarnya memiliki peran penting melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada dan sebaliknya pendidikan merupakan proses perubahn sosial. Tetapi, peran pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut, sangat bergantung pada paradigma pendidikan yang mendasarinya” [Mansour Fakih,2002: 18]. Dari pandangan di atas, dapat dikatakan peran pendidikan Islam mestinya bukan hanya “dipahami dalam konteks mikro [kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan], melainkan juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya” [ Fasli Jalal, 2001:16-17.], sehingga pendidikan Islam terintegrasi antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat [learning society]. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education [1978], menyatakan hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Sedangkan, secara mikro pendidikan senantiasa memperhitungkan individualitas atau karakteristik perbedaan antara individu peserta didik [Fasli Jalal, 2001: 16], dalam kerangka interaksi proses belajar. Kerangka acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan Islam, harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara selektif sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep, yaitu : Pertama, pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lain. Pendidikan harus senantiasa bersama-sama dengan sistem lain untuk mewujudkan cita-cita masyarakat Indonesia yang berkualitas dan kritis. Oleh karena itu, pendidikan bukan
merupakan sesuatu yang eksklusif dan terpisah dari masyarakat dan sistem sosialnya,
tetapi pendidikan sebagai suatu sistem terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan
masyarakat dan lingkungannya. Kedua, pendidikan merupakan wahana pemberdayaan
masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang
berpengaruh, seperti keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha. Ketiga, prinsip
pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya,
terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa.
Seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda, diberdayakan
untuk dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan baik serta menjadi bagian yang
terpadu dari pendidikan. Keempat, prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip
pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki
kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama. Kelima, dalam kondisi
masyarakat pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan konsensus. Untuk itu, pendidikan
sebagai wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan
pemeliharaan sumber-sumber tersebut secara dinamik. Keenam, prinsip perencanaan
pendidikan. Pendidikan selalu dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi
dan melakukan upaya yang tepat secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakat
Indonesia baru. Pendidikan selalu bersifat progresif tidak resisten terhadap perubahan,
sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi arah perubahan. Ketujuh, prinsip
rekonstruksionis, bahwa kondisi masyarakat selalu menghendaki perubahan mendasar.
Maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh
perubahan tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai
suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pemecahan
masalah bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis
lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang. Kedelapan,
prinsip pendidikan berorientasi pada peserta didik. Dalam memberikan pelayanan
pendidikan, sifat-sifat peserta didik yang umum maupun yang spesifik harus menjadi
pertimbangan. Layanan pendidikan untuk kelompok usia anak berbeda dengan remaja
dan dewasa, termasuk perbedaan pelayanan bagi kelompok anak-anak berkelainan fisik
dan mental termasuk pendekatan pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil tidak
dapat disamakan dengan anak-anak di perkotaan. Kesembilan, prinsip pendidikan
multicultural, bahwa sistem pendidikan harus memahami bahwa masyarakat yang
dilayaninya bersifat plural, sehingga pluralisme harus menjadi acuan dalam
mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat mendayagunakan perbedaan
tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat posetif dan konstruktif. Kesepuluh,
pendidikan dengan prinsip global, artinya pendidikan harus berperan dan harus
menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global [Fasli Jalal, 2001:16-17].
Dari gambaran masa kejayaan dunia pendidikan Islam pada pendahuluan di atas,
terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali
membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya
sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-
progresif, yakni : Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan [talab al-
ilm] di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa
dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut
adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridlo Allah. Kedua, adanya perimbangan
[balancing] antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam
kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia
pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian
agama dan memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama,
bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara
materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah
keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan
pengembangan keilmuan secara maksimal.. Karena, selama masa kemunduran Islam,
tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat
yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Dengan
menghilangkan ,minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini
terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas
yang, tentunya, akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di
dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Keempat,
mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang
dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses
pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang
applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini
diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-
benar mampu menghadapi tantangan jaman dan peka terhadap lingkungan [M. Khoirul
Anam,From:
http://www. pendidikan.net/mk-anam.html,akses: 12/8/2003]. Faktor lain
yang membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin [pemerintah]
atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Perhatian dan
dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma
pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan
Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan
pendewasaan umat
Dari pandangan di atas, dapat dikatakan bahwa untuk membangun pendidikan
Islam berwawasan global bukan persoalan mudah, karena pada waktu bersamaan
pendidikan Islam harus memiliki kewajiban untuk melestarikan, menamkan nilai-nilai
ajaran Islam dan dipihak lain berusaha untuk menanamkan karaktek budaya nasional
Indonesia dan budaya global. Upaya untuk membangun pendidikan Islam yang
berwawasan global dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah yang terencana dan
strategis. Misalnya saja, bangsa Jepang tetap merupakan satu contoh bangsa yang
mengglobal dengan tanpa kehilangan karakternya sebagai suatu bangsa, meskipun saat
sekarang ini “konsep nationalstate mulai diragukan, dan diganti dengan nelfare state
bahkan global state yang tidak lagi mengenal tapal batas (borderless) karena kemajuan
teknologi informasi, tetapi pembinaan karaktek nasional tetap relevan dan bahkan harus
dilakukan” [Fasli Jalal, 2001:18] yang maju dengan tetap kental dengan nilai-nilai tradisi
dan nilai-nilai relegius. Dengan contoh bangsa Jepang tersebut, sebenarnya pembinaan
dan pembentukan nilai-nilai Islam tetap relevan, bahkan tetap dibutuhkan dan harus
dilakukan sebagai “kapital spritual” untuk masyarakat dan bangsa Indonesia dalam
menghadapi tantangan global menuju masyarakat madani Indonesia. Dari pandangan
ini, tergambar bahwa peran pendidikan sangatlah senteral dalam kehidupan masyarakat
yang senantiasa mengalami penggeseran, sementara “sistem sosial, politik, dan
ekonomi bangsa selalu menjadi penentu dalam penetapan dan pengembangan peran
pendidikan” Fasli Jalal, 2001: 6].
Pendidikan Islam harus dapat megembangkan kemampuan dan tingkah laku
manusia yang dapat menjawab tantangan internal maupun tantangan global menuju
masyarakat Indonesia yang demokratis, berkualitas, dan kritis. Pendidikan harus
dikembangkan berdasarkan tuntutan acuan perubahan tersebut dan berdasarkan
karakteristik masyarakat yang demokratis, berkualitas dan kritis. Sedangkan untuk
menghadapi kehidupan global, proses pendidikan Islam yang diperlukan adalah mampu
mengembangkan kemampuan berkompetisi, kemampuan kerja sama, mengembangkan
sikap inovatif, serta meningkatkan kualitas. Dengan acuan ini, secara pasti yang akan
terjadi adalah penggeseran paradigma pendidikan, sehingga kebijakan dan strategi
pengembangan pendidikan perlu diletakan untuk menangkap dan memanfaatkan
semaksimal mungkin kesempatan tersebut, apabila tidak, maka pendidikan Islam akan
menjadi pendidikan yang “termarginalkan” dan tertinggal ditengah-tengah kehidupan
masyarakat global.
Pergeseran drastis paradigma pendidikan sedang terjadi, dengan terjadinya
aliran informasi dan pengetahuan yang begitu cepat dengan efisiensi penggunaan jasa
teknologi informasi internet yang memungkinkan tembusnya batas-batas dimensi ruang,
birokrasi, kemampuan dan waktu. Penggeseran paradigma tersebut juga didukung
dengan adanya kemauan dan upaya untuk melakukan reformasi total diberbagai aspek
kehidupan bangsa dan negara menuju masyarakat madani Indonesia, termasuk
pendidikan. Oleh karena itu, pergeseran paradigma pendidikan tersebut juga diakui
sebagai akibat konsekuensi logis dari perubahan masyarakat, yaitu berupa keinginan
untuk merubah kehidupan masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan,
menghargai hak asasi manusia, taat hukum, menghargai perbedaan dan terbuka menuju
masyarakat madani Indonesia.
Selanjutnya, terjadi perubahan paradigma pendidikan juga sebagai akibat dari
“percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang sistem pendidikan
konvensional yang antara lain sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada
lembaga pendidikan formal [SD,SMP,SMU,PT] yang konvensional. Sumber ilmu
pengetahuan akan tersebar dimana-mana dan setiap orang akan dengan mudah
memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan. Paradigma ini dikenal sebagai distributed
intelligence [distributed knowledge]” [Onno W. Purbo, From: http:// www. detik. com/net/
onno/ jurnal/ 20004/ aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml. 2000]. Kondisi ini, akan
berpengaruh pada fungsi tenaga pendidik [guru dan dosen] dan lembaga pendidikan
“akhirnya beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan menjadi “mediator” dari ilmu
pengetahuan tersebut. Proses long life learning dalam dunia pendidikan informal yang
sifatnya lebih learning based dari pada teaching based akan menjadi kunci
perkembangan sumber daya manusia. Peranan web, homepage, cd-rom merupakan
alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge semakin
berkembang. Hal ini, secara langsung akan menetang sistem kurikulum yang rigid dan
sifatnya terpusat dan mapan yang kini lebih banyak dianut dan lebih difokuskan pada
pengajaran [teaching] dan kurang pada pendidikan [learning-based]” [Onno W. Purbo,
From: http:// www. detik. com/net/ onno/ jurnal/ 20004/ aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml.
2000]. Ilmu pengetahuan akan terbentuk secara kolektif dari banyak pemikiran yang
sifatnya konsensus bersama dan tidak terikat pada dimensi birokrasi atau struktural.
Pendidikan Islam harus mulai berbenah diri dengan menyusun strategi untuk
dapat menyongsong dan dapat menjawab tantangan perubahan tersebut, apabila tidak
maka pendidikan Islam akan tertinggal dalam persaingan global. Maka dalam menyusun
strategi untuk menjawab tantangan perubahan tersebut, paling tidak harus
memperhatikan beberapa ciri, yaitu: [a] Pendidikan Islam diupayakan lebih diorientasikan
atau “lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran [learning] daripada mengajar
[teaching]”. [b] Pendidikan Islam dapat “diorganisir dalam suatu struktur yang lebih
bersifat fleksibel”. [c] Pendidikan Islam dapat “memperlakukan peserta didik sebagai
individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri”, dan [d] Pendidikan Islam,
“merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan
lingkungan” [Zamroni,2000:9]. Keempat ciri ini, dapat disebut dengan paradigma
pendidikan sistematik-organik yang menuntut pendidikan bersifat double tracks, artinya
pendidikan sebagai suatu proses yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan
dinamika masyarakat.
Dalam “pelaksanaan pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan
dengan kebutuhan masyarakatnya pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya.
Karena keterkaitan ini memiliki arti, bahwa peserta didik tidak hanya ditentukan oleh
apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan peserta didik juga ditentukan
oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya” [
Zamroni, 2000:9]. Dengan kata lain pendidikan yang bersifat double tracks, menekankan
pengembangkan pengetahuan melalui kombinasi terpadu antara tuntutan kebutuhan
masyarakat, dunia kerja, pelatihan, dan pendidikan formal persekolahan, sehingga
“sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan
fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat yang
senantiasa berubah dengan cepat” [Zamroni,2000:9].
Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa “paradigma baru
pendidikan Islam yang dimaksud di sini adalah pemikiran yang terus-menerus harus
dikembangkan melalui pendidikan untuk merebut kembali kepemimpinan Iptek,
sebagaimana zaman keemasan dulu. Pencarian paradigma baru dalam pendidikan
Islam dimulai dari konsep manusia menurut Islam, pandangan Islam terhadap Iptek, dan
setelah itu baru dirumuskan konsep atau sistem pendidikan Islam secara utuh” [Mastuhu,
1999:15]. Pendidikan Islam harus dikembangkan berdasarkan paradigma yang
berorientasi pada:

[1] Paradigma baru pendidikan Islam harus didasarkan pada filsafat
teocentris dan antroposentris sekaligus. Pendidikan Islam yang ingin dikembangkan
adalah pendidikan yang menghilangkan atau tidak ada dikotomi antara ilmu dan agama,
serta ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas dinilai. Selain itu, mengajarkan agama dengan
bahasa ilmu pengetahuan dan tidak hanya mengajarkan sisi tradisional, melainkan juga
sisi rasional” [Mastuhu,1999:15].

[2] Pendidikan Islam mampu membangun keilmuan
dan kemajuan kehidupan yang integratif antara nilai spritual, moral dan meterial bagi
kehidupan manusia.

[3] Pendidikan Islam mampu membangun kompotisi manusia dan
mempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa manusia demokratis, kompetetif,
inovatif berdasarkan nilai-nilai Islam.

[4] Pendidikan Islam harus disusun atas dasar
kondisi lingkungan masyarakat, baik kondisi masa kini maupun kondisi pada masa akan
datang, karena perubahan kondisi lingkungan merupakan tantangan dan peluang yang
harus diproses secara capat dan tepat. Pendidikan Islam yang dikembangkan selalu
diorientasikan pada perubahan lingkungan, karena pendekatan masa lalu hanya cocok
untuk situasi masa lalu dan sering tidak tepat jika diterapkan pada kondisi berbeda,
bahkan sering kali menimbulkan problem yang dapat memundurkan dunia pendidikan.

[5] Pembaruan pendidikan Islam diupayakan untuk memberdayakan potensi umat yang
disesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat madani. Sistem pendidikan Islam
harus dikembangkan berdasarkan karakteristik masyarakat madani yang demokratisasi,
memiliki kemampuan partisipasi sosial, mentaati dan menghargai supermasi hukum,
menghargai hak asasi manusia, menghargai perbedaan [pluralisme], memiliki
kemampuan kompotetif dan kemampuan inovatif. [6] Penyelenggaraan pendidikan Islam
harus diubah berdasarkan pendidikan demokratis dan pendidikan yang bersifat
sentralistik baik dalam manajemen maupun dalam penyusunan kurikulum harus
disesuaikan dengan tuntutan pendidikan demokratis dan desentralistik. Pendidikan
Islam harus mampu mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi di dalam dunia
kerja, mengembangkan sikap dan kemampuan inovatif serta meningkatkan kualitas
manusia. [7] Pendidikan Islam lebih menekankan dan diorientasikan pada proses
pembelajaran, diorganisir dalam struktur yang lebih bersifat fleksibel, menghargai dan
memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang,
dan diupayakan sebagai proses berkesinambungan serta senantiasa berinteraksi
dengan lingkungan. [8] Pendidikan Islam harus di arahkan pada dua dimensi, yaitu
“Pertama, dimensi dialektika [horizontal] yaitu pendidikan hendaknya dapat
mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan
lingkungan sosialnya dan manusia harus mampu mengatasi tantangan dunia sekitarnya
melalui pengembangan iptek, dan Kedua, dimensi ketunduhan vertikal, yaitu pendidikan
selain sarana untuk memantapkan, memelihara sumberdaya alam dan lingkungannya,
juga memahami hubungannya dengan Sang Maha Pencipta, yaitu Allah Swt” [ Hujair AH.
Sanaky,1999:11]. [9] Pendidikan Islam lebih diorientasikan pada upaya “pendidikan
sebagai proses pembebasan, pendidikan sebagai proses pencerdasan, pendidikan
menjunjung tinggi hak-hak anak, pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian,
pendidikan sebagai proses pemberdayaan potensi manusia, pendidikan menjadikan
anak berwawasan integratif, pendidikan sebagai wahana membangun watak persatuan,
pendidikan menghasilkan manusia demokratik, pendidikan menghasilkan manusia
perduli terhadap lingkungan”, dan harus dibangun suatu pandangan bahwa “sekolah
bukan satu-satunya instrumen pendidikan” [ Djohar,“Soal Reformasi Pendidikan Omong
Kosong, Tanpa Mengubah UU No.2/89”, Kedaulatan Rakyat, 4 Mei 1999, Yogyakarta],
karena pada era informasi sekarang ini, informasi ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari
berbagai media ilektornik dan media massa, seperti : internet dengan peran web,
homepage, cd-rom, diskusi di internet, dan televisi, radio, surat kabar, majalah yang
merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge.
Paradigma lama pendidikan Islam yang telah terbangun sejak abad pertengahan
[periode Islam], dengan mengkaji dan mempelajari teks-teks keagamaan dengan metode
hafalan, bersifat mekanis, mengutamakan pengkayaan materi, sudah harus ditinggalkan
untuk menuju paradigma baru pendidikan. Faisal Ismail, menyatakan bahwa pendidikan
dan pengajaran dalam Islam bukanlah sekedar kegiatan untuk mewariskan harta
kebudayaan dari generasi terdahulu kepada generasi penggantinya yang hanya
memungkinkan bersifat reseptif, pasif, menerima begitu saja. Akan tetapi pendidikan
Islam harus berusaha mengembangkan dan melatih peserta didik untuk lebih bersifat
direktif, mendorong agar selalu berupaya maju, kreatif dan berjiwa membangun.
Pendidikan Islam harus berorientasi kepada pembangunan dan pembaruan,
pengembangan kreativitas, intelektualitas, keterampilan, kecakapan penalaran yang
dilandasai dengan “keluhuran moral” dan “kepribadian”, sehingga pendidikan Islam
akan mampu mempertahankan relevansinya di tengah-tengah laju pembangunan dan
pembaruan paradigma sekarang ini, sehigga pendidikan Islam akan melahirkan
manusia yang belajar terus [long life education], mandiri, disiplin, terbuka, inovatif,
mampu memecahkan dan menyelesaikan berbagai problem kehidupan [Faisal
Ismail,1998:97-98], serta berdayaguna bagi kehidupan dirinya dan masyarakat.
Paradigma baru pendidikan Islam harus diorientasikan kepada pembangunan,
pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualisme, keterampilan, kecakapan,
penalaran, inovatif, mandiri, disiplin dan taat hukum, terbuka dalam masyarakat plural,
dan mampu menghadapi serta menyelesaikan persoalan pada era globalisasi dengan
dilandasi keanggunan moral dan akhlak dalam usaha membangun manusia dan
masyarakat yang berkualitas bagi kehidupan dalam masyarakat madani Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, 1994, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Djohar,“Soal Reformasi Pendidikan Omong Kosong,Tanpa Mengubah UU No.2/89”,
Kedaulatan Rakyat,4 Mei 1999, Yogyakarta.
Faisal Ismail, 1998, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis,
Tiara Ilahi Press, Yogyakarta.
Fasli Jalal, 2001, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Aditia
Yogyakarta.
H.A.R. Tilaar, 1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia,
Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.
Hujair AH. Sanaky, 1999, “Studi Pemikiran Pendidikan Islam Modern”, Jurnal Pendidikan
Islam, Konsep dan Implementasi, Volume V Th IV, ISSN: 0853 – 7437, FIAI UII,
Yogyakarta, Agustus 1999.
Mansour Fakih, 2002, Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Mastuhu, 1999, Pemberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Logos, Jakarta.
M. Khoirul Anam,From:
http://www. pendidikan.net/mk-anam.html,akses: 12/8/2003.
Muhmmad al-Nauquib al-Attas, 1984, Konsep Pendidikan dlam Islam, Suatu Rangka
Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Mizan, Bandung.
Onno W. Purbo, Tantangan Bagi Pendidikan Indonesia, From: http:// www. detik.
com/net/ onno/ jurnal/ 20004/ aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml. 2000.

Rabu, 20 Juni 2012

TATA KERJA PENGURUS
DEWAN KEMAKMURAN MASJID “AL ISHLAH “
PERUMAHAN MARGALAKSANA INDAH II KELURAHAN MARGADADI
MASA BAKTI 2011-2014


KETENTUAN UMUM

Dalam ketentuan umum ini, yang dimaksud adalah

- tata kerja pengurus DKM Masjid Al Ishlah adalah ketentuan tentang aturan kerja untuk menciptakan efektivitas dan produktivitas dalam pelaksanaan tugas dan wewenang kepengurusan .

- Penasehat adalah yang memberikan bimbingan, arahan, ide dan gagasan dalam rangka pengembangan berbagai aktifitas DKM
- Pengurus harian adalah yang meimpin, mengatur dan mengkoordinir pelaksanaan tugas sehari-hari yang terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretars, bendahara dan wakil bendahara

I. TUGAS DAN FUNGSI PENASEHAT.
Adalah memberikan pembinaan /bimbingan, arahan, ide saran dan gagasan dalam rangka pengembangan berbagai aktifitas Masjid Al Ishlah kepada pengurus DKM baik diminta atau tidak.

II. TUGAS POKOK DAN FUNGSI PENGURUS HARIAN

 KETUA

- Memimpin, mengatur dan mengkoordinir pelaksanaan kebijakan DKM Masjid Al Ishlah terutama yang berkaitan dengan tugas-tugas harian
- Mengatur dan mengkoordinir pembagian tugas sesama pengurus DKM, serta bertanggung jawab terhadap jalannya pelaksanaan program
- Melaksanakan verja sama dan usa-usaha strategi dalam rangka pengembangan Masjid baik kedalam maupun keluar

 WEWENANG :

- Mewakili DKM Masjid Al Ishlah baik kedalam maupun keluar
- Memberikan pengarahan serta mencari solusi yang tepat dalam setiap kegiatan maupun pengambilan keputusan
- Bersama sekretaris dan wakil sekretaris menandatangani surat – surat DKM
- Mengambil keputusan dan menadatangani surat istimewa secara tersendiri dengan mempertimabngkan saran dan usul pensehat
- Mendelegasikan tugas dan fungísnya lepada wakil jika berhalangan
- Bertanggung jawab terhadap jama’ah melalui laboran pertanggung jalaban akhir periode.

 WAKIL KETUA

- Membantu ketua dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
- Mewakili tugas-tugas ketua jika ketua berhalangan
- Melaksanakan koordinasi dengan Bidang/ Seksi-seksi .

 WEWENANG :

- Mengkoordinasikan dan menjalankan tugas di bidang/ seksi-seksi secara terpadu dan terencana
- Mengupayakan program rintisan sesuai dengan bidang/ seksi masing-masing
- Bersama sekretaris atau wakil sekretaris menandatangani surat-surat jika ketua berhalangan .
- Bertanggung jawab kepada ketua.

 SEKRETARIS

- Membantu ketua dan wakil kewtua dalm menjalankan tugas-tugas DKM
- Memimpin dan mengkoordinasikan berbagai hal-hal yang berkaiytan dengan aktifitas kepengurusan terutama yang berkaitan dengan konsep kesekretariatan da keadministrasian.
- Bersama wakil sekretaris, bendahara / wakil bendahara mengusahakan dan melengkapi perangkat pendukung kesekretariatan.
- Mengatur dan menginventarisir serta mempertaggung jawabkan kekayaan DKM Masjid Al Ishlah

 WEWENANG :
- Memimpin kegiatan kedsekretariatan
- Merumuskan Rancangan program kerja, peraturan serta surat –surat keputusan dalam lingkungan DKM
- Bersama ketua dan wakil ketua menandatangani surat-surat DKM.
- Bertanggung jawab kepada ketua.



 WAKIL SEKRETARIS

- Membantu melaksanakan tugas –tugas sekretaris
- Mewakili tugas-tugas sekretaris jira berhalangan
- Membantu pengurus lain secara teknis keadministrasian dan kesekretariatan dalam melaksanakan dalam melaksanakan tugas masing-masing.
- Bertanguung jawab terhadap pegarsipan, pedokumentasian surat, Ffoto, kaset dll.

 WEWENANG :

- Melakukan tugas-tugas sekretaris jika berhalangan
- Bersama ketua dan wakil ketua menandatangani surat-surat DKM
- Bertanggung jawab kepada ketua

 BENDAHARA

- Menyimpan, mengatur dan mencatat penerimaan maupun pengeluaran keuangan DKM.
- Membuat Petunjuk teknis tentang tata cara permintaan, pembayaran dan pengeluaran keuangan serta pendayagunaan inventaris DKM .
- Membuat laporan keuangan secara rutin berkala kepada sesama pengurus dan jama’ah.
- Mengatur dan Mengkoordinasikan pembagian tugas dengan wakil bendahara.
- Mengelola, Menginventarisir kekayaan serta hak milik DKM masjid Al Ishlah.

 WEWENANG :

- memimpin kegiatan yang berkaitan dengan masalah keuangan DKM masjid Al Ishlah .
- menyusun laporan keuangan dari setiap kegiatan .
- Bersama ketrua dan wakil ketua, sekretaris dan wakil sekretaris menandatangani surat- surat yang berkaitan dengan masalah keuangan.DKM masjid Al Ishlah.
- Bertanggung jawab kepada ketua.


 WAKIL BENDAHARA

- Membantu Pelaksanaan tugas bendahara dan mewakilinya jika berhalangan.
- Melaksanakan tugas khusus yang di berikan oleh bendahara

WEWENANG :

- Melaksanakan fungsi bendahara jika berhalangan.
- Beratnggung jawab terhadap mekanisme perolehan dan penggunaan dana yang bersifat rutin di lingkungan DKM Masjid Al Ishlah.

III. TUGAS SEKSI/KOORDINATOR

A. SEKSI IBADAH

- Merencanakan dan mengkoordinir kegiatan seksi ibadah.
- Bertanggung jawab terhadap berlangsungnya ktifitas peribadatan.
- Bertanggung jawab terhadap arah peribadatan dan menyusun jadwal Kutbah Jum’at, Tarawih, Idhul fitri, Idhul Adha dll.

B. SEKSI PENDIDIKAN, DAKWAH DAN PHBI

- Menyelenggrakan peringatan hari – hari besar Islam .
- Menyelenggarakan aktifitas – aktifitas lainnya dalam memakmurkan masjid Al Ishlah.

C. SEKSI KEMASYARAKATAN

- Membantu seksi/koordinator Peribadatan dan Pendidikan
- Bertanggungjawab terhadap berlangsungnya aktifitas layanan social terhadap masyarakat/jama’ah seperti : santunan anak yatim, akir miskin penyaluran zakat., pendistribusian Qurban dll.
- Bertanggung jawab secara teknis terhadap pertisipasi jama’ah (masyarakat) dalam memakmurkan masjid melalui pendekatan yang baik, melakukan publikasi kegiatan masjid.
- Bertanggung jawab secara teknis terhadap terjalinnya hubungan yang baik ada dilingkungan masjid seperti : lembaga Da’wah, majelis taklim dll.
- Menyelenggarakan aktifitas – aktifitas social kemasyarakatan lanilla.
D. SEKSI PEMELIHARAAN PERLENGKAPAN MASJID
- merencanakan /memprogram secara teknis pembangunan /pengembangan dan pemanfaatan fisik/sarana masjid.
- Bertanggungjawab terhadap pemeliharaan fisik dan bangunan masjid, baik menyangkut kerapian dan keindahan
- Menyajikan laporan dan memberikan saran serta pertimbangan lepada ketua sesuai dengan bidang tugasnya.
- Bertanggungjawab terhadap tersedianya fasilitas utama yang diperlukan masjid seperti sound sistem, air, alat-alat kebersiahan, karpet sajadah dan lain-lain
- Bertanggungjawab terhadap pemeliharaan barang inventaris masjid.
- Menyiapkan setiap aktifitas yang diselengarakan oleh DKM masjid.


E. SEKSI HUMAS/PEMBANTU UMUM

- Merencanakan, mengendalikan dan mengkoordinir seluruh kegiatan yang barkaitan dengan masalah umum meliputi kegiatan umum.
- Bertanggungjawab terhadap urusan hubngan masyarakat dan lembaga pada umumnya kebersihan ruang dan lingkungan sekitar masjid, pembinaan keamanan dan ketertiban.
- Berkoordinasi dengan seksi lain yang terkait dalam rangka pembinaan untuk menyelesaikan kegiatan yang menyangkut masalah umum.

F. RAPAT – RAPAT DKM MASJID “AL ISHLAH”

Rapat-rapat DKM masjid Al Ishlah terdri dari :

- Rapat Pengurus Harian
- Rapat Khusus
- Rapat biasa.

Rapat Pengurus Harian

1. Rapat dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan dihadiri seluruh pengurus harian.
2. rapat tersebut membahas dan menentukan.
 Maslah-masalah rutin
 Rencana dan materi kegiatan yang belum dilaksanakan sesuai program maupun rintisan yang bersifat insidensial.
 Evaluasi terhadap fungsi pengolahan, pengendalian, pengawasan dan penentuan kebijakan DKM selanjutnya.


Rapat Khusus

1. rapat diadakan pada situasi yang sangat penting dan di hadiri oleh pengurus harian beserta seksi-seksi .
2. rapat tersebut membahas :
 Upaya mengangkat dan mengupayakan nama baik DKM.
 Hal-hal lain yang dapat merusak citra dan keutuhan pengurus DKM
 Tata Kerja dan keputusan lain yang mendesak dan penting serta harus segera di putuskan dalam waktu yang cepat.


Rapat Biasa

1. Rapat biasa sekurang-kurangnya diadakan satu kali dalam enam bulan dan di hadiri oleh seluruh pengurus DKM masjid Al Ishlah
2. Rapat tersebut membahas dan menetukan :
 Program pengembangan DKM secara umum yang belum dilaksanakan.
 Perencanaan berbagai kegiatan perintisan.
 Evaluasi terhadap berbagai kegiatan yang telah, sedang atau yang akan dilaksanakan.


IV. PENUTUP

1. Dengan adanya tata verja ini maka segala ketentuan yang bertentangan dan tidak señalan dinyatakan tidak berlaku.
2. Segala kemudian yang Belem diatur dalam tata kerja ini, akan diatur kemudian.
3. jira terdapat kekeliruan dalam tata verja ini, akan di lakukan perbaikan berdasarkan permusyawaratan untuk mencapai mufakat.
4. Tata kerja ini berlaku Sejak tanggal ditetapkan.