Sabtu, 16 Juni 2012

PENTINGNYA GURU MEMAHAMI PERKEMBANGAN DAN CARA BELAJAR ANAK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan anak manusia merupakan sesuatu yang kompleks, artinya banyak faktor yang turut berpengaruh dan saling terjalin dalam berlangsungnya proses perkembangan anak. Baik unsur-unsur bawaan maupun unsur-unsur pengalaman yang diperoleh dalam berinteraksi dengan lingkungan sama-sama memberikan kontribusi tertentu terhadap arah dan laju perkembangan anak tersebut.
Guru terutama guru SD diharapkan mempunyai pemahaman konseptual tentang perkembangan dan cara belajar anak di SD. Pemahaman konseptual tersebut meliputi gambaran tentang siapa anak SD, bagaimana mereka berkembangdan bagaimana cara belajar mereka.
Dengan bekal pemahaman konseptual tersebut, guru diharapkan dapat mengimplementasikan pemahaman tersebut dalam menyelenggarakan proses pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan anak SD.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses perkembangan anak itu?
2. Bagaimana cara belajar anak?
3. Bagaimana strategi guru membelajarkan anak?

C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui dan memahami perkembangan anak.
2. Untuk mengetahui dan memahami tipe belajar anak.
3. Untuk mengetahui dan menerapkan cara membelajarkan anak.

BAB II
PEMBAHASAN MAKALAH

A. Perkembangan Anak

1. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik peserta didik usia SD/MI meliputi pertumbuhan tinggi dan berat badan. Perubahan proporsi atau perbandingan antar bagian tubuh yang membentuk postur tubuh, pertumbuhan tulang, gigi, otot, dan lemak.
Pertumbuhan dan perkembangan fisik anak menentukan ketrampilan anak bergerak. Pertumbuhan dan perkembangan mempengaruhi cara memandang dirinya sendiri dan orang lain, yang berdampak dalam melakukan penyesuaian dengan dirinya dan orang lain.
a. Pertumbuhan Tinggi
Pertumbuhan tinggi badan setiap anak berbeda-beda, tapi mengikuti pola yang sama.
1) Anak usia 5 tahun : tinggi tubuh 2x dari tinggi/panjang tubuh saat lahir. Setelah itu melambat 7 cm setiap tahun.
2) Anak usia 12/13 thn : tinggi anak 150 cm, masih bertambah sampai usia 18 tahun ketika mengakhiri masa remaja. Pada akhir usia SD dan anak masuk masa puber, pertumbuhan anak laki-laki lebih lambat dari anak perempuan. Namun setelah itu, pertumbuhan laki-laki lebih cepat.
b. Perkembangan Berat Tubuh Peserta Didik
1) Anak usia 5 tahun: berat 5x setelah dilahirkan.
2) Anak masa anak: berat 35-40 kg.
3) Anak usia 10-12 tahun (permulaan masa remaja): Anak mengalami periode lemak, mengalami pematangan kelamin yang berasal dari hormon, nafsu makan anak semakin besar, pertumbuhan tubuh yang cepat, penumpukan lemak pada perut, pinggul, pangkal paha, dada, sekitar rahang, leher dan pipi.
c. Pertumbuhan Tulang, Gigi, Otot dan Lemak
1) Pertumbuhan tulang (jumlah dan komposis) pada peserta didik usia SD/MI cenderung lambat dibandingkan anak awal dan remaja.
2) Pengerasan tulang dan tulang rawan menjadi tulang keras berlangsung terus sampai akhir masa remaja.
3) Pertumbuhan tulang terjadi tidak serempak dan kecepatannya berbeda, tergantung pada hormone, gizi dan zat mineral yang dikonsumsi.
4) Pada dua tahun terakhir masa anak akhir dimana terjadi periode lemak, terjadi pembengkokkan tulang karena tulang belum/tidak cukup keras menompang berat badan.
5) Pergantian gigi susu menjadi gigi tetap terjadi pada peserta didik usia SD/MI menjadi peristiwa penting karena dapat mempengaruhi perilaku anak.
6) Perkembangan susunan syaraf pada otak dan tulang belakang mempengaruhi perkembangan indra dan berpikir anak yang berdampak pada kemampuan anak dalam belajar.
7) Sebagian peserta usia SD/MI juga berbeda pada masa awal remaja/puber.
2. Perkembangan Intelek
Perkembangan Intelek sangat erat dengan perkembangan kognitif. Pengertian kognitif meliputi aspek struktur intelek yang dipergunakan untuk mengetahui sesuatu, dan dalamnya terdapat aspek: persepsi, ingatan, pikiran, simbol, penalaran, dan pemecahan persoalan. Perkembangan kognitif merupakan proses dan hasil individu dengan lingkungannya.

Menurut Teori Piaget(dalam Siti Rahayu haditono:2006:218) perkembangan kognitif dibedakan menjadi 4 yaitu.
a. Stadium sensori-motorik (0-18 bulan atau 24 bulan)
Selama stadium sensori motoris anak berkembang suatu proses desentrasi, artinya anak dapat memandang dirinya sendiri dan lingkungan sebagai dua entitas yang berbeda.
b. Stadium pra-operasional (±18 bulan-7 tahun)
Stadium pra-operasional dimulai dengan penguasaan bahasa yang sistematis, permainan simbolis, imitasi, serta bayangan dalam mental. Anak sudah mampu untuk berbuat pura-pura, artinya dapat menimbulkan situasi-situasi yang tidak langsung ada. Ia mampu menirukan tingkah laku yang dilihatnya(imitasi) dan apa yang dilihatnya sehari sebelumnya(imitasi tertunda).Berpikir pra-operasional masih sangat egosentris. Anak belum mampu mengambil perspektif orang lain. Cara berpikir praoperasional sangat memusat (centralized).
Bila anak dikonfrontasi dengan situasi yang multi-dimensional, maka ia akan memusatkan perhatiannya pada satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi yang lain dan akhirny juga mengabaikan hubungannya antara dimensi-dimensi ini.Berpikir pra-operasional adalah tidak dapat dibalik(ir-reversable). Anak belum mampu untu meniadakan suatu tindakan dengan memikirkan tindakan tersebut dalam arah yang sebaliknya.
c. Stadium operasional konkret (7-11) tahun
Pada masa ini anak sudah bisa melakukan berbagai macam tugas, menkonservasi angka melalui 3 macam proses operasi, yaitu:
1) Negasi sebagai kemampuan anak dalam mengerti proses yang terjadi di antara kegiatan dan memahami hubungan antara keduanya.
2) Resiprokasi sebagai kemampuan untuk melihat hubungan timbal balik.
3) Identitas dalam mengenali benda-benda yang ada.
Dengan demikian, pada tahap ini anak sudah mampu berfikir konkret dalam memahami sesuatu sebagaimana kenyataannya, mampu mengkonservasi angka, serta memahami konsep melalui pengalaman sendiri dan lebih objektif.
d. Stadium Operasional formal (mulai 11 tahun)
Pada fase ini, anak sudah dapat berfikir abstrak, hipotesis dan sistematis mengenai sesuatu yang abstrak dan memikirkan hal-hal yang akan dan mungkin terjadi. Jadi, pada tahap ini anak sudah mampu meninjau masalah dari berbagai sudut pandang dan mempertimbangkan alternatif dalam memecahkan masalah, bernalar berdasarkan hipotesis, menggabungkan sejumlah informasi secara sistematis, menggunakan rasio dan logika dalam abstraksi, memahami, dan membuat perkiraan di masa depan.
3. Perkembangan Afektif
Erikson (dalam http://pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/20/ciri kecenderungan-belajar-dan-cara-belajar-anak-sd-dan-mi) melahirkan teori perkembangan afektif yang terdiri atas delapan tahap.
a. Trust vs Mistnis/Kepercayaan dasar (0;0 -1;0).
Orang yang kebutuhannya terpenuhi waktu ia bangun, keresahannya segera terhapus, selalu dibuai dan diperlakukan sebaik-baiknya, diajak main dan bicara, akan turnbuh perasaannya bahwa dunia ini tempat yang aman dengan orang-orang di sekitarnya yang selalu bersedia menolong dan dapat dijadikan tempat ia menggantungknn nasibnya. Jika pemeliharaan terhadap bayi itu tidak menetap, tidak memadai sebagaimana mestinya, serta terkandung di dalarnnya sikap-sikap menolak, akan turnbuhlah pada bayi itu rasa takut serta ketidak-percaya.in yang mendasar terhadap dunie sekelilingnya dan terhadap orang-orang di sekitarnya. Perasaan ini akan terus terbawa pada tingkat-tingkat perkembangan.
b. Autonomy vs Shame and Doubt/Otonomi (1-3 tahun)
Pada tahap ini Erikson melihat munculnya autonomy. Dimensi autonomy ini timbulnya karena adanya kemampuan motoris dan mental anak. Pada saat ini bukan hanya berjalan, tetapi juga memanjat, menutup-membuka menjatuhkan, menarik dan mendorong, memegang dan melepaskan. Anak sangat bangga dengan kemampuannya ini dan ia ingin melakukan banyak hal sendiri. Orang tua sebaiknya menyadari bahwa anak butuh melakukan sendir hal-hal yang sesuai dengan kemampuannya menurut langkah dan waktunya; sendiri. Anak kemudian akan mengembangkan perasannya bahwa ia dapat mengendalikan otot-ototnya, dorong-dorongannya, serta mengendalikan diri dan lingkungannya. Jika orang dewasa yang mengasuh dan membimbing anak tidak sabar dan selalu membantu mengerjakan segala sesuatu yang sesungguhnya dapat dikerjakannya sendiri oleh anak itu, maka akan tumbuh pada anak itu rasa; malu-malu dan ragu-ragu. Orang tua yang terlalu melindungi dan selalu mencela hasil pekerjaan anak-anak, berarti telah memupuk rasa malu dan ragu yang berlebihan sehingga anak tidak dapat mengendalikan dunia dan dirinya sendiri, Jika anak, meninggalkan masa perkembangan ini dengan autonomi yang lebih kecil daripada rasa malu dan ragu, ia akar mengalami kesulitan untuk memperoleh autonomi pada masa remaja dan masa dewasanya. Sebaliknya anak yang dapal melalui masa ini dengan adanya keseimbangan serta dapat mengatasi rasa malu dan ragu dengan rasa outonomus, maka ia sudah siap menghadapi siklus-siklus kehidupan berikutnya. Namun demikian keseimbangan yang diperoleh pada masa ini dapat berubah ke arah positif maupun negatif oleh perisliwa-peristiwa di masa selanjutnya.
c. Initiatives vs Guilt/Inisiatif (3-5 tahun)
Pada masa ini anak sudah menguasai badan dan geraknya. la dapat mengendarai sepeda roda tiga, dapat lari, memukul, memotong. Inisialif anak akan lebih terdorong dan terpupuk bila orang tua member! respons yang baik terhadap keinginan anak untuk bebas dalam melaknkan. kegiatan-kegiatan motoris sendiri dan bukan lianya bereaksi atnu nienirn anak-anak lain. Hal yang sama terjadi pada kemampuan anak nnluk menggunakan bahasa dan kegiatan fantasi.
d. Industry vs litferioriry/Produkttvltns (6–11 tahun)
Anak mulai mampu berpikir deduktif, bermain dan belajar menurut peraturan yang ada. Dimensi psikososial yang rnuncul pada masa ini adalah: sense of industry, sense of inferiority Anak didorong untuk membuat, melakukan dan mengerjakan dengan benda-benda yang praktis. dan mengerjakannya sampai selesai sehingga menghasilkan sesuatu. Berdasarkan hasilnya mereka dihargai dan di mana perlu diberi hadiah. Dengan demikian rasa/sifat ingin menghasilkan sesuatu dapat dikembangkan. Pada usia sekolah dasar ini dunia anak bukan hanya lingkungan rumah saja melainkan meneakup juga lembaga-iembaga lain yang mempunyai peranan penting dalam perkembangan individu. Pengalaman-pengalaman sekolah anak mempengaruhi industry dan inferiority anak. Anak dengan IQ 80 atau 90 akan mempunyai pengalaman sekolah yang kurang memuaskan walaupun sifat indusryi dipupuk dan dikembangkan di ruitiah. Ini dapat menimbulkan rasa inferiority (rasa tidak” mampu). Keseimbangan industry dan inferiority bukan hanya bergantung kepada orang tuanya, tetapi dipengaruhi pula oleh orang-orang dewasa lain yang berhubungan dengan anak itu
e. Identity vs Role Confusion/Identitas (12;0 – 18;0)
Pada saat ini anak sudah menuju kematangan fisik dan mental. la mempunyai perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan baru sebagai akibat perubahan-perubahan itubuhnya. Pandangan dan pemikirannya tentang dunia sekelilingnya mengilami perkembangan. la mulai dapat berpikir tentang pikiran orang lain. la berpikir puh apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya. la mulai mengrrti tentang keluarga yang ideal, agama, dan masyarakat, yang dapat diperbandingkannya dengan apa yang dialaminya sendiri. Menurut Erikson, pada tahap ini dimensi interpersonal yang muncul adalah: ego identity -4 •–>• role confusion. Pada masa ini siswa harus dapat ‘mengirtegrasikan apa yang telah dialami dan dipelajarinya tentang dirinya sebagai anak, siswa, teman, anggota pramuka, dan lain sebagainya menjadi suatu kesatuan sehingga menunjukkan kontinuitas dengan masa lalu dan siap menghadapi masa datang. Peran orang tua yang pada masa lalu berpengaruh secara langsung pada krisis perkembangan, maka pada masa ini pengaruhnya tidak langsung. Jika anak mencapii masa remaja dengan rasa terima kasih kepada orang tua, dengan penuh kepercayaan, mempunyai autonomy, berinisiatif, memiliki sifat-sifat industry, maka kesempatannya kepada ego indentiti sudah berkembang.
f. Intimacy vs Isolation/Keakraban (19;0 – 25;0)
Yang dimaksud dengan intimacy oleh Erikson selain hubungan antara suami istri adalah juga kemampuan untuk berbagai rasa dan memperhatikan orang lain. Pada tahap ini pun keberhasilan tidak bergantung secara langsung kepada orang tua. Jika intimacy ini tidak terdapat di antara sesama teman atau suami istri, menurut Erikson, akan terdapat apa yang disebut isolation, yakni kesendirian tanpa adanya orang lain untuk berbagai rasa dan saling memperhatikan.
g. Generavity vs Self Absorption/Generasi Berikut (25;0 – 45;0)
Generativity berarti bahwa orang mulai memikirkan orang-orang lain di luar keluarganya sendiri, memikirkan generasi yang akan datang serta hakikat masyarakat dan dunia tempat generasi ifi liidnp. Generativily ini bukan hanya terdapat pada orang tua (ayah dan ibu), tetapi terdapat pula pada individu-individu yang secara aktif memikirkan kesejahteraan kaum muda serta berusaha membuat tempat bekerja yang lebih baik untuk mereka hidup. Orang yang tidak berhasil mencapai gereralivily berarti ia berada dalam keadaan self absorption dengan hanyr memutuskart perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan dan kesenang’an pribadinya saja.


h. Integrity vs Despair/Integritas (45;0)
Pada tahap ini usaha-usaha yang pokok pada individu sudah mendekati kelengkapan, dan merupakan masa-masa untuk menikmati pergaulan dengan cucu-cucu. Integrity timbul dari kemampupn individu untuk melihat kembali kehidupannya yang lalu dengan kepuasan. Sedangkan kebalikannya adalah despair, yaitu keadaan di mana individu yang menengok ke belakang dan meninjau kembali kehidupannya masa lalu sebagai rangkaian kegagalan dan kehilangan arah, serta disadarinya bahwa jika ia memulai lagi sudah terlambat.
Sebagai rekapitulasi dapat dinyatakan bahwa penahapan perkembangan afektif manusia merupakan perpaduan dari tugas-tugas perkembangan dan tugas-tugas sosial. Perkembangan afektif suatu tahap dapat berpengaruh secara positif maupun negatif terhadap tahap berikutnya. Jika anak mencapai tahap ketiga yang bergaul dengan anak bukan hanya orang tuanya saja melainkan juga orang dewasa lainnya di sekolah, yaitu guru. Guru yang membimbing dan mengasuh peserta didiknya pada berbagai aspek tingknt kelas perlu memahami dan menyadari sikap, kebutuhan dan perkembangan mereka.
4. Perkembangan Minat
a. Pengertian Minat
Meichati(dalamhttp://revyarmy.wordpress.com/2010/04/01/perkembang an-dan-cara-belajar-anak-di-sd/) mengartikan minat adalah perhatian yang kuat, intensif, dan menguasai individu secara mendalam untuk tekun melakukan suatu aktivitas.
Secara operasional, Lilawati(dalam http://revyarmy.wordpress .com /2010/04/01/perkembangan-dan-cara-belajar-anak-di-sd/) mengartikan minat adalah suatu perhatian yang kuat dan mendalam disertai dengan perasaan senang terhadap suatu kegiatan sehingga mengarahkan anak untuk melakukan kegiatan tersebut dengan kemauan sendiri.
Sinambela (dalam http://revyarmy.wordpress.com/2010/04/01/perkem bangan-dan-cara-belajar-anak-di-sd/ mengartikan minat adalah sikap positif dan adanya rasa ketertarikan dalam diri anak terhadap suatu aktivitas tertentu.
Jadi dapat diartikan bahwa minat adalah kekuatan yang mendorong anak untuk memperhatikan, merasa tertarik, dan cenderung senang terhadap suatu aktivitas sehingga mereka mau melakukan aktivitas tersebut dengan kemauannya sendiri.
Minat terdiri dari dua aspek, yaitu :
1) Aspek kognitif, berupa konsep positif terhadap suatu obyek dan berpusat pada manfaat dari obyek tersebut.
2) Aspek afektif, nampak pada rasa suka atau tidak senang dan kepuasan pribadi terhadap obyek tersebut.
b. Faktor yang Mempengaruhi Minat pada anak
1) Faktor personal, merupakan faktor-faktor yang ada pada diri anak itu (meliputi usia, jenis, kelamin, intelegensi, sikap, dan kebutuhan psikologi).
2) Faktor instusional, merupakan faktor-faktor di luar diri anak (melalui pengaruh orang tua, guru, dan teman sebaya).
Minat anak SD terhadap suatu kegiatan lebih tergantung pada pengaruh teman sebayanya. Mereka lebih cenderung “ikut-ikutan“ dalam melakukan suatu kegiatan (pengaruh lingkungan). Pada dasarnya mereka lebih mempunyai minat yang tinggi kepada suatu aktivitas yang menarik perhatian mereka dan yang memberi kesenangan pada mereka. Anak sekolah dasar kurang begitu tertarik kepada hal-hal yang menimbulkan kebosanan dan kejenuhan.
5. Perkembangan Bahasa
a. Pola Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan media komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan, pendapat, perasaan dengan menggunakan simbol-simbol yang disepakati bersama, kemudian kata dirangkai berdasarkan urutan membentuk kalimat yang bermakna dan mengikuti aturan atau tata bahasa yang berlaku dalam suatu komunitas atau masyarakat, bahasa dapat dibedakan menjadi 3, yaitu bahasa lisan, bahasa tulis, dan bahasa isyarat.
b. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Bahasa
Meskipun pada umumnya pula perkembangan keterampilan berbahasa anak sama, namun tetapada perbedaan individual. Berikut ini adalah beberapa faktor penyebab perbedaan tersebut:
1) Kesehatan

Anak yang sehat lebih cepat belajar berbicara dibandingkan dengan anak yang kurang sehat, sebab perkembangan aspek aspek motorik dan aspek mental berbicaranya lebih baik sehingga lebih siap untuk belajar berbahasa.

2) Kecerdasan

Anak yang memiliki kecerdasan tinggi, akan belajar berbicara lebih baik dan memiliki penguasaan bahasa erat kaitannya dengan kemampuan berpikir.

3) Jenis kelamin

Anak perempuan lebih dalam belajar bahasa daripada anak laki-laki, baik dalam pengucapan, kosa kata maupun keseringan berbahasa.

4) Keluarga

Semakin banyak jumlah anggota keluarga akan semakin sering anak mendengar dan berbicara. Demikian pula anak pertama lebih baik perkembangan berbicaranya karena orang tua lebih banyak memiliki waktu untuk berbicara dan berbahasa.

5) Keinginan dan Dorongan Komunikasi

Semakin kuat keinginan dan dorongan untuk berkomunikasi dengan orang lain terutama teman sebaya, akan semakin kuat pula usaha anak untuk berbicara dan berbahasa.

6) Kepribadian

Anak yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dan memiliki kepribadian yang baik cenderung memiliki kemampuan bicara dan berbahasa lebih baik daripada anak yang mengalami masalah dalam penyesuaian diri.

6. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berprilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Tuntutan sosial pada perilaku sosial anak tergantung dari perbedaan harapan dan tuntutan budaya dalam masyarakat tempat anak tumbuh kembangkan tugas perkembangannya. Dalam belajar hidup bermasyarakat diperlukan tiga proses dalam bersosialisasi, yaitu:
a. Belajar berperilaku yang dapat diterima sosial.
b. Memainkan peran sosial yang dapat diterima
c. Perkembangan sikap sosial.
Jika peserta didik tidak mampu melakukan 3 proses sosialisasi diatas maka peserta didik tersebut berkembang menjadi orang yang nonsosial, asosial, dan anti sosial.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan peserta didik melakukan sosialisasi adalah sebagai berikut:
a. Kesempatan dan waktu untuk bersosialisai dengan orang lain.
b. Kemampuan berkomunikasi dengan kata-kata yang dapat dimengerti peserta didik maupun orang dewasa lain.
c. Motivasi peserta didik untuk mau belajar bersosialisasi.
d. Metode belajar efisien dan bimbingan bersosialisasi.
Pengalaman sosial awal memegang peranan penting bagi perkembangan dan perilaku sosial selanjutnya. Sebab pengalaman sosial awal cenderung menetap. Jadi mudah atau sulitnya perkembangan sosial anak selanjutnya tergantung pada baik buruknya si anak mempelajari sikap dan perilaku sosial. Selain itu, pengalaman sosial awal juga berpengaruh terhadap partisipasi sosial anak. Anak yang mempunyai pengalaman sosial awal yang baik cenderung lebih aktif dalam kegiatan kelompok social begitu juga sebaliknya.
Para peserta didik usia SD atau MI yang berada pada posisi anak akhir akan mulai membentuk kelompok bermain yang selanjutnya berkembang menjadi kelompok belajar dan melakukan aktifitas pada masa anak. Sedangkan peserta didik kelas 5 atau 6 kadang-kadang sudah mengalami masa puber. Pada masa ini seorang peserta didik mengalami perubahan fisik sensual yang pesat. Sehingga seorang anak cenderung menarik diri dari kelompoknya, kurang dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain. Juga terjadi kemunduran minat untuk bermain dan melakukan aktifitas kelompok serta cenderung bersikap antisosial.

7. Tugas Perkembangan Peserta Didik Usia SD

Tugas perkembangan atau development tasks menurut Havighurst(http://revyarmy.wordpress.com/2010/04/01/perkembangan-dan-cara-belajar anak-di-sd/) adalah “tugas yang harus dipecahkan dan diselesaikan oleh setiap individu pada setiap periode perkembangannya agar supaya individu menjadi berbahagia”.
Dilihat dari karakteristik yang ada, maka untuk tugas perkembangan pada anak usia Sekolah Dasar antara lain:
a. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan – permainan yang umum. Hakikat dari tugas perkembangan ini adalah mempelajari keterampilan – keterampilan yang bersifat fisik/jasmani untuk dapat melakukan permainan.
b. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluq yang sedang tumbuh. Hakikat tugas perkembangan ini adalah belajar mengembangkan sikap kebiasaan untuk hidup sehat.
c. Belajar menyesuaikan diri dengan teman – teman seusianya. Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak belajar memberi dan menerima dalam kehidupan sosial antar teman sebaya, dan belajar membina persahabatan dengan teman sebaya, termasuk juga bergaul dengan musuhnya.
d. Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita dengan tepat. Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak belajar dan bertindak sesuai dengan peran seksnya yaitu sebagai anak laki – laki atau anak perempuan.
e. Mengembangkan keterampilan – keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung. Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak belajar mengembangkan tiga keterampilan dasar yaitu membaca, menulis dan berhitung yang diperlukan untuk hidup di masyarakat.
f. Mengembangkan pengertian – pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari – hari. Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak harus mempelajari berbagai konsep agar dapat berpikir efektif mengenai permasalahan sosial di sekitar kehidupan sehari – hari.
g. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, serta tata dan tingkatan nilai. Hakikat tugas perkembangan ini adalah mengembangkan moral yang bersifat batiniah yaitu hati nurani, serta mengembangkan pemahaman dan sikap moral terhadap peraturan dan tata nilai yang berlaku dalam kehidupan anak.
h. Mengembangkan sikap terhadap kelompok – kelompok sosial dan lembaga – lembaga. Hakikat tugas perkembangan ini adalah mengembangkan sikap sosial yang demokratis dan menghargai orang lain.
i. Mencapai kebebasan. Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak menjadi individu yang otonom atau bebas, dalam arti dapat membuat rencana untuk masa sekarang dan masa yang akan datang, bebas dari pengaruh orang tua atau orang lain.

B. Cara Belajar Anak Sekolah dasar

1. Pengertian Cara Belajar Anak SD

Memahami cara belajar anak adalah kunci pokok untuk menunjang keberhasilan anak. Sebaliknya, jika cara belajar anak tidak dipahami, maka hasilnya akan kurang maksimal. Secara umum, cara belajar adalah bagaimana seseorang menangkap, mengerti, memproses, mengungkapkan, dan mengingat suatu informasi.
Cara belajar anak SD dibanding orang dewasa mempunyai perbedaan yang besar. Menurut Piaget (1950), setiap anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya. Menurutnya, setiap anak memiliki struktur kognitif yang disebut schemata. Schemata adalah sistem konsep yang merupakan hasil pemahaman anak atas objek yang berada di sekitar anak. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi yaitu menghubungkan objek baru dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran, sedangkan akomodasi adalah proses memanfaatkan konsep-konsep yang sudah ada dalam pikiran untuk menafsirkan objek baru.
Kedua proses tersebut akan berlangsung secara terus menerus sehingga membuat pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan demikian anak akan dapat membangun pengetahuan melalui interaksi secara langsung dengan lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku belajar anak sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek dari dalam dirinya dan lingkungannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan karena memang proses belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak dengan lingkungannya.

2. Macam-Macam Gaya Belajar

Para ahli mengelompokkan tipe pembelajar kedalam 3 kelompok utama, yaitu:
a. Pembelajar tipe Auditori (pendengaran) atau auditory learner.
Para pembelajar auditori adalah pendengar yang baik, mereka cenderung dapat menyerap informasi lebih efisien melalui pendengaran sehingga merupakan kelompok yang paling mengambil manfaat dari teknik mengajar konvensional yaitu teknik ceramah. Bila diminta, pembelajar tipe ini mudah menjelaskan secara lisan suatu ceramah/pidato yang didengarnya. Diperkirakan di dunia, populasi orang tipe auditori mencapai 30%. Ciri-ciri pembelajar tipe auditori antara lain:
1) Suka laporan lisan.
2) Suka berbicara.
3) Bagus dalam menjelaskan sesuatu secara lisan atau mempresentasikan secara lisan.
4) Mudah mengingat nama orang.
5) Bagus dalam tata bahasa dan bahasa asing.
6) Membaca perlahan-lahan.
7) Mudah menirukan ucapan orang dengan baik.
8) Tidak bisa diam untuk waktu yang lama.
9) Suka bertindak dan berada di panggung.
10) Sering menjadi yang terbaik dalam kelompok belajar.
11) Suka membaca keras untuk diri sendiri.
12) Tidak takut berbicara di dalam kelas.
Kelemahan pembelajar auditori antara lain:
1) Kurang baik dalam membaca
2) Kurang dapat mengingat apa yang dibacanya bila tidak disuarakan.
3) Kurang baik dalam menulis karangan.
b. Pembelajar tipe Visual (penglihatan) atau visual learner
Para pembelajar tipe visual cenderung lebih berhasil dalam pembelajaran yang menggunakan sesuatu yang dapat dilihat. Artinya, informasi lebih mudah ditangkap bila ada bukti-bukti yang dapat dilihat, misalnya gambar, foto, peta, diagram, grafik. Di seluruh dunia, populasi orang dengan tipe ini diperkirakan mencapai 65%.
Ciri-ciri pembelajar visual antara lain:
1) Sering duduk di kursi deretan depan ketika mengikuti pelajaran
2) Bagus dalam mengeja (spelling).
3) Perlu berpikir sebentar (tidak langsung bereaksi) dalam memahami apa yang baru didengarnya.
4) Menyukai warna-warna dan mode.
5) Mimpi berwarna.
6) Mudah mengerti dan menyukai grafik-grafik.
7) Mudah mempelajari bahasa isyarat.
8) Suka menggunakan bahasa tubuh.
9) Dapat duduk tenang di tengah situasi yang ribut tanpa merasa terganggu.
10) Berbakat dalam menulis.
11) Mengerjakan dengan baik tugas-tugas tertulis.
Kelemahan pembelajar visual antara lain:
1) Kurang baik dalam menangkap pesan-pesan lisan.
2) Kurang suka berlama-lama mendengarkan orang berbicara.
3) Mudah melupakan nama orang.
4) Lambat mendengarkan dan merespon pembicaraan orang (sebenarnya hal ini bisa juga merupakan kelebihan tipe ini.

c. Pembelajar Tipe kinestetik/taktil atau kinesthetic/tactile learner
Para pembelajar tipe ini cenderung lebih berhasil dalam pembelajaran bila dia mengalami, bertindak, mempraktekkan, bergerak, menyentuh dan menggunakan jari-jari (motorik halus) untuk mengingat dan membangun konsentrasi. Diperkirakan di dunia ada sekitar 5% populasi orang bertipe kinestetik/taktil. Ciri-ciri pembelajar tipe kinestetik antara lain:
1) Bagus dalam bidang olahraga.
2) Cenderung frustrasi dan gelisah bila harus duduk mendengarkan kuliah untuk jangka waktu yang lama, oleh karena itu mereka sering mengambil break (istirahat) saat kuliah sedang berlangsung.
3) Mengunyah permen ketika mendengarkan kuliah.
4) Kurang bagus dalam mengeja (spelling)
5) Tidak memiliki tulisan tangan yang besar.
6) Menyukai kerja di laboratorium sains.
7) Suka belajar sambil mendengar musik.
8) Suka buku-buku dan film petualangan.
9) Suka bermain peran.
10) Membangun/membuat ‘model’, diorama dan proyek.
11) Menyukai seni bela diri dan seni tari.
12) Koordinasi mata dengan tangan sangat bagus.
13) Menyukai tes/ujian jenis multiple choice dan definisi pendek, tetapi tidak menyukai tes jenis esai dan tes tertulis yang memakan waktu yang panjang.

C. Cara Guru Membelajarkan Peserta Didik

Guru merupakan orang tua sekaligus pendidik di dalam sekolah. Seorang guru harus memahami gaya belajar anak. Seorang guru harus mampu menciptakan strategi-strategi belajar sesuai dengan gaya belajar peserta didiknya.
1. Anak Visual:
a. Gunakan materi visual seperti, gambar-gambar, diagram dan peta.
b. Gunakan warna untuk menghilite hal-hal penting.
c. Ajak anak untuk membaca buku-buku berilustrasi.
d. Gunakan multi-media seperti komputer dan video.
e. Ajak anak untuk mencoba mengilustrasikan ide-idenya ke dalam gambar.
2. Anak Auditori:
a. Ajak anak untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi baik di dalam kelas maupun di dalam keluarga.
b. Dorong anak untuk membaca materi pelajaran dengan keras.
c. Gunakan musik untuk mengajarkan anak.
d. Diskusikan ide dengan anak secara verbal.
e. Biarkan anak merekam materi pelajarannya ke dalam kaset.
3. Anak Taktil/Kinestetik:
a. Dalam kegiatan belajar, jangan terlalu banyak memberikan materi, sesekali berikan
b. Ajak anak untuk belajar sambil mengeksplorasi lingkungannya (contohnya: ajak dia baca sambil bersepeda, gunakan obyek sesungguhnya untuk belajar konsep baru).
c. Gunakan warna terang untuk menghilite hal-hal penting dalam bacaan.
d. Ciptakan suasana belajar kooperatif

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perkembangan anak sangat berpengaruh terhadap potensi dan cara belajar anak.
2. Seorang guru harus memahami gaya belajar anak supaya dapat memaksimalkan potensi belajar anak.
3. Memahami gaya belajar anak dapat membantu dalam proses belajar-mengajar yang lebih efektif dan efisien
B. Saran
Setelah penulis menguraikan masalah tersebut banyak sekali kekurangannya. Untuk itu kami harapkan kepada bapak dosen khususnya dan kepada para rekan/pembaca pada umumnya untuk meneliti dan mengkaji kembali hal-hal yang berhubungan dengan masalah ini, supaya para pembaca mendapat wawasan yang lebih luas, dan kami sangat mengharapkan kritik dan sarannya untuk perbaikan kami dalam penyusunan makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

 http://pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/20/ciri kecenderungan-belajar-dan-cara-belajar-anak-sd-dan-mi
 http://revyarmy.wordpress.com/2010/04/01/perkembangan-dan-cara-belajar-anak-di-sd/
 Semiawan, Conny R. 1999. Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. Jakarta: Depdikbud.
 Siti Rahayu H. 2006. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

0 komentar:

Posting Komentar