Senin, 23 Juli 2012

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM

Pengertian Pendidikan Multi kultural secara bahasa:
Banyak/ragam budaya( seluruh hasil cipta karya,karsa dan rasa manusia),menggambarkan pola pikir pembuatnya dan pengagumnya.
Secara sederhana Multikultural berarti :
Keberagaman budaya dimana menggambambarkan tentang kondisi masyarakat yang terdiri dari keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda.
ADA BEBERAPA TAHAPAN TENTANG PENGERTIAN MULTIKULTURAL
Tahap pertama : Multikulturalisme mengandung hal-hal yang esensial dalam perjuangan kelakuan budaya yang berbeda.

Tahap kedua : Menampung berbagai pemikiran baru seperti :

1. Pengaruh studi kultural , secara kritis masalah esensial didalam kebudayaan kontemporer seperti kelompok masyarakat yang termarjinalisasi, peminisme, dan toleransi antar kelompok dan agama.

2. Post kolonialisme, mengungkit kembali nilai-nilai inidigenous didalam budaya sendiri dan berupaya untuk melahirkan kembali kebanggaan terhadap budaya asing.

3. Globalisasi, melahirkan budaya global yang memiskinkan potensi-potensi budaya asli. Dimana budaya lokal merupakan upaya menentang globalisasi yang mengarah kepada monokultural budaya dunia.

4. Peminisme dan post peminisme, gerakan untuk mencari kesejahteraan antara kaum laki-laki dan perempuan kearah kemitraan adanya tuntutan penghargaan dan hak yang sama atau sejajar dalam melaksanakan semua tugas dan kekuasaan yang ada. Dulu juga ada pelopornya seperti RA Kartini, Cut Nyadin dll.

5. Post Strukturalisme, mengenai dekontruksi dan rekontruksi masyarakat menurut ras/golongan, kaum ningrat atau kekuasaan yang ada.

Pemahaman diatas konsep multikulturalisme : Menerima sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etik, gender, bahasa maupun agama. Seperti yang kita tahu contohnya kemerdekaan bangsa kita.

Bikhu parekh pendapatnya untuk menghindari kekeliruan dalam diskursus tentang multikulturalisme ada tiga asumsi yang harus diperhatikan :

1. Pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi.
2. Perbedaan budaya merupakan refresentasi dari sistem nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula, sehingga tiak satu budaya pun yang berhak memaksakan budaya kepada sistem budaya lain.
3. Pada dasarnya budaya secara internal merupakan enitas yang plural yang merepleksikan inetraksi antara perbedaan tradisi dan untaian cara pandang.
Pendididkan multikultural : ada pendapat yang mengartikan gerakan pembaharuan pendidikan dan proses tanpa adanya perbedaan budaya, tapi adanya kerja sama secara demokratis, berarti pula strategi pembelajaran yang menjadikan latar belakang budaya siswa beraneka ragam sebagai usaha untuk meningkatkan pembelajaran siswa dikelas dan dilingkungan sekolah.

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM : Adanya pendekatan dialogis untuk menanamkan kesadaran dan pengakuan hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan adanya kesepakatan dalam berbagai hal baik secara internal maupun eksternal baik dalam kehidupan maupun pelaksanaan peribadatan untuk kelancaran dalam interaksi kehidupan.

ISMAIL FARUQI : Ada beberapa landasan normatif pendidikan islam dibidang keagamaan
1. Kesatuan dalam aspek ketuhanan dan wahyu.
2. Kesatuan kenabian.
3. Tidak ada paksaan dalam beragama.

KESIMPULANNYA :
Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan, dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan.
Pendidikan multikultural di dasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Sedangkan dalam doktrin islam sebenarnya tidak membeda-bedakan etnik, ras, dan lain sebagainya dalm pendidikan. Manusia semuanya adalah sama, yang membedakannya adalah ketaqwaan mereka kepada Allah SWT. Dalam islam, pendidikan multikultural mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan islam terhadap ilmu pengetahuan dan tidak ada perbedaan diantara manusia dalam bidang ilmu.
Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural menciptakan ketegangan-ketegangan sosial. Oleh karena itu, di tengah gegap gempita lagu nyaring “tentang kurikulum berbasis kompetensi”, harus menyelinap dalam rasinalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajarkan “ini” dan “itu”, tetapi juga mendidik anak kita menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban. Dengan demikian, tidak saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitas kebudayaan yang beragam tersebut.


Manfaat dari pendidikan multikultural :
Pendidikan multikultural dapat merespon terhadap pekembangan keragaman populasi sekolah baik dari segi persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dari segi etnik, ras, budaya maupun agama, sehingga dapat terciptanya suasana yang kondusip antara yang satu dengan yang lainnya dalam proses PBM untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang sama.
Juga bisa sebagai pendekatan progessive(berpikir untuk maju) dalam upaya membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatip dalam proses pendidikan.
Pendidikan islam memasukan pendidikan multikultural :
Dalam buku pendidikan islam Trimingham menyatakan bahwa Rosul mengutus 7 orang untuk belajar baca tulis terhadap orang-orang nasrani, artinya islam tidak membeda-bedakan etink ras budaya agama dll, juga dalam alqur,an surat Al-Baqoroh, Qs : 2 ayat ke 4

Senin, 02 Juli 2012

A.Pengertian Gender

Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).

H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to define it).

Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah “jender”. Jender diartikan sebagai “interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan”.

Dalam redaksi yang lin juga dikatakan bahwa Gender adalah perbedaan sosial antar laiki-laki dan perempuan yang dititik perankan pada perilaku, fungsi dan peranan masing-masing yang ditentukan oleh kebiasaan masyarakat dimana ia berada atau konsep yang digunakan untuk megidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya.

Pengertian ini memberi petunjuk bahwa hal yang terkait dengan gender adalah sebuah kontruksi sosial. Singkat kata, gender adalah interprestasui budaya terhadap perbedaan jenis kelamin. Sedangkan kodrat adalah segalah sesuatu yang ada pada laki-laki dan perempuan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan manusia tidak dapat menguibah dan menolaknya.

Dari pengertian itu tampak perbedaan antara keduanya, yakni gender ditentukan oleh masyarakat, berubah dari waktu ke waktu sesuai perkembangan yang mempengaruhi nilai dan norma-norma masyarakat dan memiliki perbedaan-perbedaan bentuk antar satu masyarakat dengan masyarakat lain.

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.

B. Teori-teori Gender
a. feminisme Liberal
Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, bersamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendeskriminasikan perempuan. Dalam mendefinisikan masalah kaum perempuan, mereka tidak melihat struktur dan sistem sebagai pokok persoalan.

Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa semua manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan semestinya tidak terjadi penindasan antara yang satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, kelompok ini tetap menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi aliran ini masi tetap memandang perlu adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam tradisi feminisme liberal penyebab penindasan wanita dikenal sebagai kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau kelompok karena itu cara pemecahan untuk mengubahnya adalah menambah kesempatan-kesempatan bagi wanita, terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan ekonomi. Landasan sosial bagi teori ini muncul selama revolusi prancis dan masa pencerahan di eropa barat.

b. feminisme Radikal

Aliran ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual, adalah bentuk dari penindasan terhadap kaum perempuan. Bagi mereka, patriarki adalah dasar dari idiologi penindasan yang merupakan sisitem hirarki seksual, dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan previlige ekonomi. Menurut kelompok ini perempuan tidak harus tergantung kepada laki-laki bukan saja dalam hal pemenuhan kebendaan tetapi juga pemenuhan kebutuhan seksual perempuan dapat merasakan kehangatan, kemesraaan, dan kepuasaan seksual kepada sesama perempuan, didalam beberapa presfektif feminisme radikal digambarkan bahwa wanita ditindas oleh sistim-sistim sosial patriarkis, yakni penindasan-penindasan yang paling mendasar, penindasan yang paling mendasar seperti eksploitasi jasmaniyah, eteroseksisme dan kelas-isme . agar wanita terbebas dari penindasan maka menutut teori ini harus diadakan perubahan pada masyarakat yang berstruktur pada patriarkis.

c. feminisme Markis

Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan aspek biologis sebagai perbedaan gender. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antar kedua jenis kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak anggapan teradisional dan para teolog bahwa setatus perempuan lebih renda daripada laki-laki karena factor biologis dan latar belakang sejarah. Agak mirip dengan teori konflik. Kelompok ini menganggap posisi inferior perempuan berkaitan dengan setruktur kelas dan keluarga dalam masyarakat kapitalis.

d. Feminisme sosialis

Aliran ini melakukan sintesis antara metode histories materialis marks dan engles dengan gagasan personal ispolitikal dari kaum feminis radikal. Feminis sosialis berpendapat bahwa ketimpangan gender didalam masyarakat adalah akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tampa upah bagi perempuan didalam rumah tangga. Bagi feminis sosialis ketidak adilan bukan akibat dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan tetapi lebih karena penilaian dan anggapan (social kontruktion) terhadap perbedaan itu. Ketidakadilan juga bukan karena kegiatan produksi atau reproduksi dalam masyarakat, melainkan karena manispestasi ketidak adilan gender yang merupakan konstruksi social. Oleh karena itu yang mereka perangi adalah konstruksi, fisi dan idiologi masyarakat serta struktur dan sistim yang tidak adil yang dibangun atas bias gender. Mereka juga memiliki pandangan bahw apenindasan terhadap perempuan terjadi dikelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikan posisi kaum perempuan. Atas dasar itulah mereka menolak visi markis klasik yang meletakan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya, feminisme tampa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karena itu analisis patriarkki perlu dikawinkan dengan analisis kelas. Dikalangan feminis sosialis, baik patriarki maupun kelas, dianggap sebagai sumber penindasan utama.
Berbagai macam teori feminisme diatas menunjukan bahwa para feminis memiliki presfektif yang berbeda-beda dalam memandang kedudukan dan kondisi perempuan. Namun dari sekian banyak perbedaan itu, terdapat satu hal yang menjadi titik persamaan. Semua gerakan feminisme memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu menuntut hubungan yang adil dan setara natara laki-laki dan perempuan. Ketidak adilan yang bersumber dari perbedaan gender yang selama ini menimpa perempuan diupayakan untuk dihilangkan.

C. Identitas Gender dalam Al-Qur’an

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa identitas gender adalah kekhususan yang melekat pada anak berdasarkan alat kelaminnya seperti anak yang memiliki penis kemudian diberi pakaian dengan motiv dan bentuk sebagaimana layaknya laki-laki, demikian juga yang memiliki vagina. Namuan yang dimaksud disini adalah nama-nama atau symbol-simbol yang sering digunakan Al-Qur’an dalam mengungkapkan jenis kelamin seseorang. Identitas jender dalam Al-Qur’an dapat dipahami melalui simbol yang dikenal dengan istilah sighot mudzakar dan muannas. Adapaun istilah-istilah yang biasa digunakan adalah sebagai berikut :

Ar-Rajul

Secara etimologis, kata ini mengandung beberapa arti mengikat, berjalan kaki, telapak kaki, tumbuh-tumguhan dan laki-laki. Kata ini biasanya digunakan untuk menunjuk laki-laki yang sudah dewasa (sudah akil balig). Dalam penggunaannya, kata ini tidak hanya mengacu pada jenis kelamin biologis tetapi juga laki-laki yang memenuhi kwalifikasi budaya tertentu seperti kejantanan. Oleh karena itu, perempuan yang memiliki sifat-sifat kejantanan disebut rajlah, kata ar-Rajul tidak digunakan untuk spesies selain manusia.
Dalam Al-Qur’an, kata ini disebut 55 kali dengan pengertian yang berbeda-beda yakni: (1) gender laki-laki dalam Qur’an surat Al-Baqoroh (2:282). Termasuk dalam pengertian ini adalah Qur’an Surat An-Nisa (4:234) yang biasanya digunakan utuk menolak kepemimpinan perempuan diruang publik. (2) orang, baik laki-laki maupun perempuan Qur’an Surat Al-A’raf (7:46), (3) Nabi atau Rasul dalam Q.S. Al-Ambiyah (21:7), (4) Tokoh masyarakat dalam Q.S. Yasin (36:20) (5) Budak dalam Q.S. Azzumar (39:29).

Lawan kata dari Ar-Rajul adalah An-Nisa yang berarti perempuan yang sudah matang atau dewasa, oleh karena itu, kata ini biasanya diterjemahkan dengan istri atau perempuan yang sudah berkeluarga seperti perempuan yang sudah kawin (Q.S. An-Nisa, 4:24). Perempuan janda Nabi (Q.S. AnNisa, 22) perempuan mantan istri ayah (Q.S An-Nisa 4:22) perempuan yang ditalak (Q.S. Al-Baqoroh :231) dan istri yang didihar (Q.S. Al-Mujadalah :58:2+3) dengan lkatan sebagaimana imro’ah kata An-Nisa tidak pernah digunakan untuk perempuan dibawah umur. Bahkan kedua kata ini lebih banyak digunakan dalam kaitan tugas reproduksi. Dalam Al-Qur’an kata ini disebut sebayak 59 kali dalam pengertian sebagai berikut : (1) Gender perempuan (Q.S. An-Nisa 4:32), (2)
Istri (Q,S, Al-Baqoroh : 222).

Ad-Dzakar

Kata ini berarti mengisi atau menuangkan, menyebutkan, mengingat, mempelajari, menyebutkan, laki-laki atau jantan. Kata ini lebih berkonotasi biologis seks yang biasa digunakan untuk selain manusia. Lawan katanya adalah al-Untsa dalam Al-Qur’an, kata ini disebutkan sebanyak 18 kali yang kebanyakan menunjuk laki-laki dilihat dari biologis. Hal ini seperti dalam Qur’an Surat Ali-Imran, 3 :36. memang ada ungkapan yang berhubungan dengan fungsi dan relasi gender yang tidak menggunakan rajul dan imra’ah tapi ad-dzakar dan al-untsa seperti ayat tentang waris (Q.S. An-Nisa 4:11) namun ayat ini hendak menegaskan bahwa jenis kelamin apapun, berhak mendapatkan berbagai hak asasinya, termasuk soal warisan dan hak-hak kebendaan lainnya. Apalagi, ayat ini turun sebagai koreksi atas tradisi jahiliyah yang tidak mengenal warisan untuk perempuan. Sebenarnya, subtansi ayat tersebut terletak pada awal ayat “yussikumullahu fi awladikum…….” Dimana kata “aulad” mengandung pengertian laki-laki dan perempuan baik sedikit atau banyak. Penyebutan ad-dzakar dan al-untsa hanya sebagai muqoyyad. Untuk menguatkan argument tersebut bias dibandingkan dengan qur’an surat An-Nisa ayat 176 Ini sebagi petunjuk bahwa perbedaan jenis kelamin tidak mesti melahirkan perbedaan gender. Kata untsa berarti lembek (tidak keras) lemas dan halus. Kata ini disebut sebanyak 30 kali semuanya menunjuk pada jenis kelamin perempuan.

Al-Maru
Kata ini berasal dari mara’ah yang berarti baik atau bermanfaat. Dari kata ini lahir kata al-maru yang berarti laki-laki dan al-mar’ah berarti perempuan dalam Al-Qur’an, kata al-mar’u terulang sebanyak 11 kali yang digunakan untuk pengertian manusia.,, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana kata ar-rajul dan an-nisa, kata ini juga menunjuk pada pengertian amnesia dewasa, suda memiliki kecakapan bertindak atau yang sudah berumah tangga seperti dalam Qur’an surat Abbasa (80:34) dan At-Tur (52:21).
Dari uraian diatas jelas bahwa kata ar-rajul tidak identik dengan ad-dzakar. Semua katagori ar-rajul, termasuk katagori ad-dzakar dan tidak sebaliknya. Demikian juga kata al-mar’u atau imra’ah dan an-nisa tidak identik dengan al-untsa . seseorang laki-laki disebut ar-rajul atau perempuan disebuatan An-Nisa manakalah memenuhi kriteria sosial dan budaya tertentu seperti berumur dewasa, telah berumah tangga, atau telah mempunyai peran tertentu didalam masyarakat.
Dari keterangan diatas kiranya jelas bahwa perbedaan jenis kelamin tidak mesti berimplikasi pada perbedaan gender. perbedaan kualitas antara laki-laki dan perempuan lebih banyak ditenukan seperti ayat diatas oleh usaha yang dilakukan. Oleh karena itu prisip-prinsip kesetaraan gender dalam A-Qur’an tidak dilihat dari jenis kelaminnya, tapi kedudukannya sebagai sama-sama sebagai hambah Allah dan Khalifah-Nya yang sama-sama berpotensi meraih atau gagal berprestasi.








BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Adapun mengenai teori-teori untuk mengetahui feminisme atau gender sendiri ada empat yaitu :
 Teori feminisme Liberalfeminisme
 Teori feminisme Radikalfeminisme
 Teori feminisme Markis
 Teori feminisme sosialis.
Identitas Gender dalam Al-Qur’an yang dimaksud disini adalah nama-nama atau symbol-simbol yang sering digunakan Al-Qur’an dalam mengungkapkan jenis kelamin seseorang. Identitas jender dalam Al-Qur’an dapat dipahami melalui simbol yang dikenal dengan istilah sighot mudzakar dan muannas. Adapaun istilah-istilah yang biasa digunakan adalah sebagai berikut :
 Ad-Dzakar
 Al-Maru
 Ar-Rajul
Dan jelasnya itu prisip-prinsip kesetaraan gender dalam A-Qur’an tidak dilihat dari jenis kelaminnya, tapi kedudukannya sebagai sama-sama sebagai hambah Allah dan Khalifah-Nya yang sama-sama berpotensi meraih atau gagal berprestasi.





DAFATAR PUSTAKA


 Waryono Abdul Gafur, Tafsir Sosial, Yogyakarat :eLSAQ Press, 2005. Hal.109
 Ahmad Taufiq, Presfektif Gender Kia Pesantren,Kediri: STAIN Kediri Press, 2009 Hal.54
 www.faridakhwan.com