Kamis, 31 Mei 2012

puisiku

monolog malam

di sini hari akan menjadi gelap
menghitung ddetik waktu. Langit melepas
ruang menunggu percakapan yang kau dengar
pada langkah-langkah terhenti ditikungan
tidak ada pertemuan yang menyisakan pagi
hanya malam. bersiap kecewa membiarkan
subuh menjemputmu dan getar angin tersudut
dahan-dahan mati. Sebelum tangis
menahan kejatuhan hujan membias bunga-bunga
sebelum mmuusim menggugurkan kenangan
menjelma tanda-tanda jaman. Di sini
musim jadi senyap hanya dingin meratapi
sisa embun dan sepasang rama-rama
tersesat di belantara suara

"Indramayu"

Sekapur Sirih

Sudah semenjak lama Forum Masyarakat Sastra Indramayu
berkeinginan menerbitkan antologi puisi masing-masing penyair
Indramayu. Kami mencermati ada sejumlah penyair kota mangga ini
yang karya-karya puisinya dipandang layak untuk diterbitkan. Dan
Al-Hamdulillah, baru sekarang keinginan itu dapat terwujud.

Tak pelak lagi, sebagai kota di pesisir utara jawa barat,
Indramayu memang banyak menyimpan potensi penyair. Terutama
sejak awal dekade 1980-an, iklim sastra mulai tumbuh dan mendapat
tempat bagi perkembangannya. Forum-forum seperti diskusi, seminar
sastra, lomba cipta puisi-cerpen, lomba baca puisi-cerpen, hingga pentas
teater, cukup menyemarakan blantika seni sastra indramayu.
Sementara itu, puisi-puisi karya para penyair kota minyak ini banyak
tersebar di berbagai media cetak lokal maupun nasional.

Dalam konteks khasanah sastra indramayu, maka tak terlepas
dari sosok Yohanto A. Nugraha. Ia yang akrab dipanggil Abuk di
kalangan temannya, dikenal mempunyai komitmen yang besar terhadap
sastra. Karena kecintaan itu pula, lebih dari separuh usiannya dihabiskan
dengan menggeluti sastra. Ia tetap setia mencipta sajak kendati orang-
orang menganggap sastra bukan sesuatu yang menjanjikan, apalagi bernilai
ekonomis. Bersastra dan berpuisi adalah pilihan hidupnya.
Sebuah pilihan yang tentu dengan segala konsekuensinya.

Totalitas bersastra dan semangat terus berkarya itulah i'tiba'
yang layak kita petik dalam sosok Yohanto A. Nugraha. semangat semacam
itu pula yang semoga melambari proses kreatif para penyair maupun
pencinta sastra pada umumnya. Sehingga apreasi sastra bisa tumbuh
subur di bumi Dermayu.

"Indramayu, 2005"
Forum Masyarakat Sasrta Indramayu"

Rabu, 30 Mei 2012

puisiku

memorial

lidah yang dijulurkan ular itu masih membekas
di sekujur tubuh. Bangkitkan aroma kembang setaman
aku gemetar dalam keberangkatan menuju gerbangmu
inikah pergeseran yang kau janjikan pada sejarah
di malam-malam sehabis gerimis tuntaskan nyanyian
romantisme masa kanak-kanak hingga kurasa
ada yang tertinggal di ruas hati. ladang itu menguning
sungguh tak ada tempat bagi pengembaraan abadi
ingin kucoba mengeja hari, bulan dan tahun
agar sajadahmu mampu membungkus impian suci
yang dimulyakan nenek moyangku. Orang pelaut itu
berdiri di atas mimbar dan melambaikan tangan
sambil tersenyum bagi orang-orang yang gemetar
oleh teror, peperangan,kecurangan
dan kemunafikan

ular itu kembali menjulurkan lidah bercabang
menjilati jalan-jalan dan taman kota yang merintih
menahan beban kibaran warna-warni bendera
memaksaku bengong di persimpangan. Aku mabuk
mengeja slogan dari pengeras suara yang dicorongkan
membingungkan sudut-sudut perkampungan. Di sini
dunia kau cipta adalah dunia tanpa pintu dan jendela
semua terbuka untuk pagi


"Indramayu"

Senin, 28 Mei 2012

puisiku

seperti selendang mengiringi ombak
bagaimana aku menangkap isyarat
jika sujud dan tangisan batin
mencairkan doa'a-do'a sepanjang
pantai. Angin senantiasa menderukan
jutaan impian hingga pasir-pasir
bergerak menterjemahkan sajak
sajak bisu aku terus mencari dan
berlari mengejar rahasia yang kau
bawa. bersama aroma garam yang
mengejar kebohongan air mata

"Indramayu"

Kamis, 24 Mei 2012

puisiku

suaramu mengantarkan impian tentang perjalanan
dengan tongkatnya. Menciptakan surau-surau jiwa
pada bentangan sawah ladang dijanjikan dingin subuh
membelah laut dan ikan-ikan sekarat menahan terik
matahari. Bersama gelombang membawa rahasia batu
karang
tersekat ribuan pabrik berjajar sepanjang pantai
inikah laut yang membakar amarah kanak-kanak
dan bau busuk. Aku ingin tidur sepanjang malam
lalu kuingat wewangian di sudut kantormu
maka bisa kupahami tentang janji-janji. Di sini
limbahmu menutupi segala keindahan laut

"Indramayu"

Rabu, 23 Mei 2012

puisiku

r.i.p

aku menari-nari di atas kubur moyangku
sambil membaca sejarah. Membakar keinginan
kanak-kanak mengairi sungai-sungai keabadian
dan aku pun kembali mengeja yaa siin
di surau-surau jiwa yang menyimpan harapan
terpendam jutaan tahun.

Selasa, 22 Mei 2012

puisiku

ruang tunggu

ada yang kita lupakan. Sebaris kata
merayap dinding-dinding purba. Mengalirkan
irama keterasingan. Rintik hujan
putarkan beribu kenangan yang diendapkan
bianglala. Luka menganga
menerangi gelisah 25 watt
kursi-meja-asbak-vas bungga
tersudutkan di serambi muka. Dalam hening
menyeruak percakapan

"Indramayu"

puisiku

interlude

di antara kelengangan yang kau tangkap
rumah. Lorong itu semakin senyap
hanya daun menyisik kaca jendela
rindupun hanyut dalam dingin malam
menggugurkan cuaca rintik hujan
seperti ceritamu padang-padang pasir
menggenapkan mimpi. Begitu saja terkubur
bagi adam yang menangis dengan buah khuldi
di tangan kiri dan tangan kanan menggenggam
matahari yang membakar rambutmu. Tergerai
menyela bulan purnama atas fatamorgana
jadi prasasti perselingkuhan. Jaman telah
mensejarahkan cinta ibu yang terkapar
seperti eros memanjat bibir-bibir gunung
sementara airmata. Tersalib mengusung
kegetiran sepanjang undukan supermarket
mengirim gambar romantisme telenovela
menterjemahkan kerinduan yang terlantar
di antara masjid-gereja-wihara-candi
membentangkan kesucian para utusan untuk
meredam amarah peperangan. Musim
telah menggugurkannya

Senin, 21 Mei 2012

puisiku

mimpiku dan sawah ladang

telah kita ungsikan mimpi bagi batu-batu
mengubur sawah ladang menjadi mesin-mesin
melindas kegetiran cangkul bagi parangmu
adalah fenomena masa lalu melengkapi
ilalang terbakar cerobong pabrik
masihkah kau bertanya padi menguning
disuarakan lecutan jerami anak gembala

kita adalah lokan terseret gelombang
dan angka-angka tak lagi membuka rahasia
kanak-kanak terlelap menulisi nasibnya
betapa jauh menyusuri jalan-jalan
sampai tangis batin yang kau ajarkan
hanyut terbawa karaoke pada bar-bar
mencari kesadaran dunia kekasih
sujudku melandasi kegamangan buih ombak
adalah cerminan kerinduan laut

kita adalah domba di pasir pantai
mencari impian dan mabukku tercecer
di antara limbah pabrik melayari panggung
masres menterjemahkan kerinduan dewi sri

puisiku

panorama hujan

di beranda ini tak kukenali lagi senyummu
garis-garis hujan telah menghapus segala
keinginan untuk merindukanmu di antara
nyanyian. Angsa menangisi bayi
yang disuling dari peradaban masa silam
menjadi sepotong senja menghubungkan
darah cintaku pada sungai-sungai. Kubaca
kembali catatan mendung yang memanggil aroma
hujan di sini telah menggali segala kenangan
yang bergerak-gerak setiap detik dan akan meledak
karena isyarat telah kau kirim pada alamat
tercatat di kantor pos. Tergantung segala
salam bagi dunia yang menterjemahkan darah
seperti airmata menetes di jalan-jalan

"Indramayu"

Minggu, 20 Mei 2012

puisiku

jagat alit

telah kau ziarahi kesepianmu di antara kilatan
lampu pada aroma kemenyan. Menggusur kelaparan
nurani yang resah memandang gedung-gedung
dalam cawan darah dan airmata membungkus salam
kepada jagat. Dibentangkan kain mertuamu
sedang aku memunguti masa lalu dengan menyobek
almanak yang sekarat dimakan waktu
seperti pohon-pohon sepanjang pantai. Kita
mesti istirah meluruskan badan mengencangkan
segala impian kanak-kanak untuk kita jual
televisi menayangkannya pada kesia-siaan sajak
membias wajah memar di jalan-jalan menuju
pendopo. Tergantung keasingan menuliskan angka
angka yang membakar cerobong pabrik-pabrik
seperti doa diapungkan gelombang. Terbaca
kesengsaraanmu pada pucuk daun kering luruh
mengkristalkan kebohongan peradaban
masihkah kau menunggu suluk ki dalang
yang menidurkan segala impian dan angan-angan
terbuang. seribu gunungan menutupi kecemasan
kita pun terlahir dari rahim yang sama
dan bumi ini akan menangis menyaksikan segala
hujatan. Bulan lengser bersama jerit tangis
dan darah membusuk jadi tumbal sejarah

puisiku

membaca cahaya matamu

cahaya yang memancar dari bola matamu
membakar keinginan untuk memiliki kenangan
percintaan. Menggelepar diantara persimpangan
jalan menuju lautan kata-kata selalu melupakan
harum tubuhmu yang membangkitkan romantisme
yuliet yang memancar di film-film. Menjegal
hidup hanyalah menunda kematian bisik romeo
ketika senja mulai mempersempit jarak
yang sempat tertunda bagi mimpi-mimpi. Malam
memancarkan diskotik membuat petak umpet
disini kematian telah menjadi komoditi bagi
penghuni. Kantor yang gelisah menunggu surat
bagi kematian alamat sepanjang pantai
kita harus mencari aroma seribu bulan tempat
mengadu pengakuan cinta dari bentangan sepi

"Indramayu"

Sabtu, 19 Mei 2012

puisiku

kenduri anak jaman

wajahku memerah mendengar orasi menembus dinding
gedung. Telanjangi mimpi kanak-kanak masuk layar
televisi dari jadi dragon ball atau power ranger
menjaga kesejukan dunia. Tiba-tiba hurufmu
berloncatan memasuki pori-pori dan aku terkapar
atas tumpukan sampah sisa kenduri digelar
bagi kemiskinan. Telah menjadi zombi menutup airmata
menjerat retorika burung-burung memutar gelombang
lautan orang-orang menisbikan dunia semua jadi pudar
di matamu hanya daun-daun gugur tertutup gedung
gedung birokrasi sulit membaca arah tujuannya
di sini. Gerimis telah menjadi momok hidup
bagi pengunjuk rasa atas ketertindasan akar rumput
akulah burung> Tak bisa terbang karena sayapnya
kau ikat diantara tembok kekuasaan yang kau cipta
tuhan. Jangan kau biarkan kutangisi sisa hidup
dan membakar kemenyan dan sejuta kembang
atas kubur moyangku. Sarat memikul beban sejarah
yang diisyaratkan kepedihan batu-batu karang
dalam auratku. tergambar sabang sampai maroke
deberangus amarah dan kabarkan pada juru peta
bahwa kita bbutuh ratu adil untuk ibu pertiwi
sedang orang-orang hanya memperjelas warna lembayung
jadi mitos. Meninabobokan sejarah bercampur warna
darah saudara-saudara kita yang dibungkus fanatisme
dan menghantarkannya ke gelanggang kurusetra
bagaspati pun menjelma di wajahnnya

"Indramayu"

karya samsul: puisiku

karya samsul: puisiku: pisau waktu narasi yang ada pada goresanmu menggambarkan ricik air kran itu membisu saksikan tubuh menahan beban gelombang. Darahnya men...

Jumat, 18 Mei 2012

puisiku

pisau waktu

narasi yang ada pada goresanmu menggambarkan
ricik air kran itu membisu saksikan tubuh
menahan beban gelombang. Darahnya menyergap
sudut kanvas menjadikanmu kelimpungan
mengeja hari-hari penuh kenangan pada kaca
menterjemahkan seberapa panjang doa lucan capulet
menyisir padang perburuan 'inilah panen raya itu'
teriak jeihan sambil menutup mata chairil anwar
terbaring diantara perempuan kehilangan matanya
dan hardi membentak-bentak menempelkan wajah persiden
tapi kekuasaan jatuh pada perempuan 'akulah reformasi'
sambil tersenyum surya paloh menjelaskan persatuan dan
kesatuan yang membingungkan impian kanak-kanak

narasi yang kau gelar kini jadi bunga bakung
meliarkan mimpi wergul w. darkum yang meragukan
tepung kanji atas tubuhnya dan kita pun sempoyongan
mendengarkan suling dermayon mewarnai percintaan
atas genangan sampah tanggul sungai cimanuk
akutersekap ketika kau taburi wajahku dengan lumpur
kehidupan yang menjegal jalanku. bersama fujail
aku bawa keranda yah-ibu melewati kesunyian waktu
maka kunyanyikan reqium aeternam deo sambil membangun
surau-surau di dalam tubuh kami dan matamu nanar
menelanjangi kemiskinan di antara lautan matahari

narasi yang kau buat kini telah menjadi monster
melintasi lautan dan membuat pulau-pulau kecil
tempat kanak-kanak membangun romantisme
tanah moyangnya yang tergusur
seribu buldozer

"Indramayu"

Kamis, 17 Mei 2012

puisiku

opera malam

ku baca seluruh luka pada perburuan
sampai geliat tidur panjang. Membias
antara lorong-lorong tak habis
dimakan waktu. Di sini gairah memuncah
bersama romantisme masa kanak-kanak
kau pun mengobarkan salsa dalam genangan
birahi bagi cinta yang tergadai sepanjang
jalan-jalan perkantoran
aku membaca sorot matamu penuh
amarah bersama kilatan cahaya sejarah
yang belum kering menghantarkan mimpi
masa silam dikobarkan aroma cinta dalam
pertunjukan teater semalam suntuk
sementara di luar gedung. Orang-orang
meneriakan slogan anti kekerasan
sedang aroma tubuhmu mengobarkan
peperangan seperti narasoma menggadaikan
istri-istrinya. Berloncatan di antara
dinding rumah kontrakan
aku mendengar suara yang direkam
atas kabut kecemasan dan bunga-bunga
berserakan di atas pentas. Waska pun
menjelma dalam tidur

"Indramayu"

Rabu, 16 Mei 2012

puisiku

hujan

sisa hujan yang menghantarkan dingin malam
pada tepian sungai. Memagut percakapan
di sini ada yang kukenali dari kerlipan
bintang-bintang menebarkan kembang soka
dan kemana perginya gema adzan
disuarakan sebuah masjid dan kau tanyakan
semilir angin tidurkan mimpi kanak-kanak
memperpanjang terik siang dan kau pun
bercerita tentang fosil-fosil yang menuliskan
nasibnya sendiri-sendiri. Pada wajah memar
lewat telepon sujudmu menghiasi peradaban
jaman dan sepasang kupu-kupu bercinta
dengan bayangan sendiri. Diruang tamu
ada yang kau tangisi tentang kota-kota
yang kehilangan penghuninya

"Indramayu"

puisiku

kenduri cinta

sejarah yang menganga di hadapan kita
telah menjadi peradaban mampu menafikan
gelisah jiwa katamu. Bulan tersenyum atas
kenduri cinta sambil menjelaskan kembali airmata
sepanjang trotoar dan merasakan anggur
bagi bibirmu yang mengajarkan mimpi malam
tentang orang-orang berlarian dikejar-kejar
para serdadu atas suara-suara pembenaran
kekuasaan memitoskan masa silam
padahal baru saja kita nikmati kemerdekaan
tapi tidak dengan berteriak dijalan-jalan
yang menyuguhkan kejanggalan pada malam
ketika rindu berkaca di antara lekuk tubuh
menterjemahkan kembali masa kanak-kanak
inilah awal percumbuan kita. Katamu sambil
menghembuskan cairan demokrasi baridin
dan ratmina menangkapi isyarat lolongan anjing
bersama gugurnya batas-batas kesucian
bermekaran sepanjang waktu

"Indramayu"

Selasa, 15 Mei 2012

puisiku

nyanyian malam

aku seperti ingin mencium bibirmu. Merah
mengabarkan perburuan hutan belantara
dan menghitung seberapa jauh perjalanan
untuk mengerti tentang cinta di malam purnama
padahal baru saja kita melahirkan kesepakatan
bahwa perkawinan. Hanya untuk melahirkan
dan tidak untuk membebani dengan harapan baru
dengan dunia rekaan yang kita mimpikan
dari hidup. Kita hanya wajib menterjemahkan
tentang hak dan kewajiban yang menghilang
di antara rapat-rapat akbar dan diskusi jalanan
kita butuh merenung agar terbebas dari dendam
sejarah. Sulaiman yang kehilangan istrinya
beberapa menit lalu dadaku terasa terbakar
oleh rasa rindu yang kau ciptakan dalam hatiku
kini menjadi pemberontak

"Indramayu"

Senin, 14 Mei 2012

puisiku

interval malam

ti. Benih yang kita tebar di malam-malam
kini telah menjadi seonggok padang ilalang
di antara pecahnya peperangan amarta-kurawa
seribu sembilu menghujam ulu hati. Palamarta
segala cahaya telah menjadi santapan bagaspati
diam-diam terpinggirkan oleh bayangan amarah
menggoda setiap tetes darah. Mendung berbaris
sepanjang jalan menuju kurusetra
sambil meneriakan pembenaran yang didengungkan
kekuasaan. Akulah narasoma pencipta sejarah
mengejawantah dari sisa cinta pada pecahan botol
dalam gelap aku ingin tidur sepanjang perang
ti. Barangkali senyum itulah kita gantung
diantara hening malam dan suaramu terdengar
lewat capung menyebarkan aroma soka. Terserak
dari sempurnanya hidup hingga kau temukan sorga.
Orang-orang berteriakkembalikan ibu
sambil mengusung keranda

puisiku

Minggu, 13 Mei 2012

puisiku

barangkali angin itu

barangkali angin itu bersalin
menghantarkan harum padi di sebuah jadwal
tentang anak yang kubayangkan
dalam pengembaraan dan perjudian

baiklah aku ingin berkemas
untuk kenyataan-kenyataan
kemudian kutulis surat pada angin
mengentara di kertas-kertas. Berserak
mencoreti dinding batu 'selamat malam' katamu

di luar bulan berbisik di dahan pohonan
dalam gerimis engkau gemetar
memencil


" Indramayu "




Kamis, 10 Mei 2012

puisiku

Dengan airmata kutangkap aura wajahmu
yang membias sungai seperti angsa-angsa
bercinta dalam kematian mitos dan
melupakan tapak-tapak sejarah yang
memberi kita kenikmatan bunga-bunga dan
hujan yang membasuh arti cinta
atas cinta bukan sebab airmata
"kadang" aku mencoba berkaca pada
urat daun untuk menikmati asin kehidupan
dan selalu berulang membasuh aib diantara
hiruk-pikuk pendemo yang kehilangan
tata krama dan cinta selalu ada dalam
bingkai demokrasi kata mereka ?
disini semerbak bau dupa,
bau bunga dan bau doa-doa dipersimpangan
inilah kita mulai pengembaraan dengan
jejak rindu layar hujan dan kau pun
berangkat untuk memastikan ada rindu diantara kita:
akulah burung yang kehilangan aura
dan aku bukan batu marmer, aku bukan air tersumbat,
aku bukan bau busuk khianat, aku bukan ranting rapuh
yang lekat pada beringin angkuh, aku bukan siapa-siapa
bukan apa aku, hanya air yang mengalir
ke muara menanti wangsit

"Indramayu"


Rabu, 09 Mei 2012

puisiku

aku ingin jadi batu didasar kali
bebas dari pukulan angin dan keruntuhan
sementara biar orang-orang bersibuk diri
dalam desau rumput atau pepohonan
jangan aku memandang keluasan langit tiada tara
seperti padang-padang tengadah
atau gunung-gunung menjulang
tapi aku ingin menjadi sekedar bagian
dari kedamaian
aku sudah tak tahan lagi melihat burung-burung
pindah
yang kau bunuh dengan keangkuhanmu-yang mati
terkapar
di sangkar pedih waktu
oh....., aku ingin jadi batu di dasar kali
menanti datang saat abadi
....... inikah sajak "Kriapur" yang menjadi-kan dia
menjemput ajalnya di dasar sungai
terkadang penyair selalu terjebak atas teks dan nasib ?
terlalu banyak penyair yang tersekat dengan teks yang
di teks kan atas hidup dan kehidupan-nya ?
sikap kepenyairan "kriapur" memang sikap yang cenderung
mengarah pada kematian : entah kematian, apa atau seperti
"chairil anwar" yang mati muda ?

"Indramayu"

Selasa, 08 Mei 2012

puisiku

ritus daun-daun

sebagai daun aku diterbangkan angin
hari-hari pun mengisyaratkan gerhana
aku tak bisa menjerit. Menyuarakan
burung-burung yang kehilangan suara
adalah pertemuan tapi angin mengirimkan
kengerian. Gedung-gedung kehilangan penghuni
merambah hutan jelmakan kota-kota impian
pada bentang kabel. Siap menjerat seluruh
tubuh maka biarlah matahari membongkar wajah
bulan yang selalu mengurai kerinduan
sebagai daun ingin kulipat jalan ranjangmu
penuh virus menciptakan amarah menjadi
pekabaran. Hanya jejak ilalang membias orang
orang sebagai daun aku tersalib keinginan

"Indramayu"

Senin, 07 Mei 2012

puisiku

apologia

kau tawarkan airmata dalam sebuah jambangan. Bunga
tersudut diantara sempitnya lorong-lorong
yang mengajarkan cinta semalam pada rintik hujan
tergerai. Menuntaskan deru buldozer dan leleran air
menebar wajah muram sepanjang lumpur pematang sawah
menguapkan aroma kemenyan adalah irama masa silam
bicaralah pada angin. Diamnya menidurkan puncak
zikir dosa-dosa diisyaratkan ziarah sasar
hingga bunga-bunga menjadi layu dalam rentang waktu
di malam-malam mengeja sorga


memasuki rumah yang kau diami. Suaramu terpelanting
di masjid-masjid menggulung jiwa yang terpetakan
gaungnya dimitoskan nyanyian sejarah impian
dan angin pun saling menyapa. Seperti burung
mencari sarang sambil mengunyah buah-buahan
dari kanak-kanak yang di ceritakann fosil
melahirkan berjuta harapan. Mengenang
betapa lama menjaring keperihan desir angin
dan terik matahari

"Indramayu"




Sabtu, 05 Mei 2012

puisiku

requim

ada sisa percakapan di sini
mengering perih kembang soka. Luruh
bertahan dari bisik waktu yang dikristalkan
menggeliatkan kenangan senja kelam
gerimispun mengucur. Begitu dingin malam
menghantarkan benih yang tak sempat disemaikan
dari kebekuan hati dan angan-angan terserak
mengusik ketenangan. Romantisme pasir pantai
sementara angin pun semakin lelah mendorong
perahu ke muara

"Indramayu"


puisiku

membaca cahaya matamu

cahaya yang memancar dari bola matamu
membakar keinginan untuk memiliki kenangan
percintaan. Menggelepar di antara persimpangan
jalan menuju lautan kata-kata selalu  melupakan
harum tubuhmu yang membangkitkan romantisme
yuliet yang memancar di film-film. Menjegal
hidup hanyalah menunda kematian bisik romeo
ketika senja mulai mempersempit jalak
yang sempat tertunda bagi mimpi-mimpi. Malam
memancarkan diskotik membuat petak umpet
di sini kematian telah menjadi komoditi bagi
penghuni. Kantor yang gelisah menunggu surat
bagi kematian alamat sepanjang pantai
kita harus mencari aroma seribu bulan tempat
mengadu pengakuan cinta dari bentangan sepi

"Indramayu"


Jumat, 04 Mei 2012

puisiku

angin pada komposisi 5

"aku mencintaimu" bisik angin pada laki-laki
berseragam yang berdiri di pertokoan sambil
membetulkan kaca mata hitam dan pistolnya
"sebab sejarah yang mengharuskan kita saling
bercinta" teriak matahari di ujung jalan
sambil menghitung sudah berapa banyak kendaraan
melanggar rambu-rambu atas nama kepentingan
"ayo kita galang ketertiban" teriaknya
di sela-sela angin menyeruakan peluit
"stop ada penguasa lewat" teriak orang-orang
berseragam hitam sambil membawa bendera

"Indramayu"


Kamis, 03 Mei 2012

puisiku

angin pada komposisi 4

angin kugambarkan senyumu pada desir angin
agar dapat kusinggahi tunas-tunas dalam nurani
seperti para penziarah membangun mimpi-mimpi
yang disemayamkan anak cucu adam
kau pun berbisik selirih angin
menusuk-nusuk daun kersen
terserak di halaman


"Indramayu"

Rabu, 02 Mei 2012

puisiku

angin pada komposisi 3

angin senantiasa menggugurkan kerinduan
milik kita hanyalah seberkas kenangan
pada pekarangan rumah dan kelembutan senyummu
menawarkan kehangatan aroma bulan purnama
sebelum subuh mengasingkan perhelatan cinta
pesta perkawinan dalam lingkaran kedudukan
kedudukan baru sepanjang pantai
dan kuhirup napas kehidupan yang tergusur
oleh gemuruh pabrik-pabrik. Disini angin
senantiasa menggugurkan kerinduan


"Indramayu"

Selasa, 01 Mei 2012

puisiku

angin pada komposisi 2

di kelengangan malam yang suntuk
daun pun jatuh di luar pagar pekarangan
seperti ada kerinduan yang tertinggal
di antara hembusan harum nafasmu
dan bulan membiarkan begitu saja

"Indramayu"